Kematian Massal Penguin Magellan akibat Gelombang Panas
Gelombang panas sebagai dampak perubahan iklim kian bertambah sering terjadi. Para peneliti mengungkap dampaknya pada kematian ratusan penguin.
Gelombang panas pada tahun 2019 terbukti secara ilmiah menewaskan ratusan penguin jenis magellan di Argentina. Hal ini disaksikan dan dilaporkan para peneliti University of Washington, Amerika Serikat, di salah satu koloni pengembangbiakan penguin Magellan terbesar di dunia.
Merujuk siaran pers kampus tersebut, 4 Januari 2022, suhu di lokasi yang berada di Punta Tombo, di pantai selatan Argentina, pada 19 Januari 2019, melonjak hingga 44 derajat celsius. Gelombang panas itu menewaskan sedikitnya 354 penguin.
Hal ini dilaporkan tim peneliti University of Washington (UW) dalam makalah yang diterbitkan di jurnal Ornithological Applications. Para peneliti mencari bangkai-bangkai penguin pada hari-hari setelah rekor suhu tinggi tersebut.
”Peristiwa ekstrem ini terjadi di dekat akhir musim kawin penguin magellan, sehingga membunuh sejumlah besar penguin dewasa, serta anakan. Ini pertama kali kami merekam peristiwa kematian massal di Punta Tombo yang terkait suhu ekstrem,” kata penulis utama Katie Holt, mahasiswa doktoral UW di bidang biologi.
Gelombang panas 19 Januari 2019 adalah suhu tertinggi yang pernah dicatat para peneliti di Punta Tombo, di mana tim UW telah mempelajari penguin magellan sejak 1982 dengan bimbingan P Dee Boersma, profesor biologi UW yang juga rekan penulis.
Suhu di lokasi selama musim kawin biasanya naik dari 10 derajat celsius menjadi 37 derajat celsius. Pada musim kawin kemarin, peneliti mencatat suhu mencapai 43 derajat celsius. Tapi rekor ini tidak terkait kematian massal.
Gelombang panas 2019 menjadi perhatian khusus karena menyebabkan hilangnya sejumlah besar penguin dewasa dalam satu peristiwa.
Panas yang ekstrem pada 19 Januari 2019 memengaruhi penguin dewasa dan anakan secara berbeda. Hampir tiga perempat dari penguin yang mati, yaitu 264 ekor, merupakan penguin dewasa. Banyak di antaranya kemungkinan mati karena dehidrasi, berdasarkan analisis postmortem yang dilakukan oleh para peneliti UW.
Mereka menemukan 27 persen bangkai penguin dewasa di sepanjang jalan keluar dari koloni berkembang biak ke laut, di mana mereka bisa mendapat minuman. Penguin memiliki kelenjar yang bisa menyaring garam dari air laut.
Perjalanan dari koloni ke laut bisa mencapai 1 kilometer dan paling lama memakan waktu 40 menit untuk magellan dewasa. Individu dewasa yang mati sering ditemukan tengkurap dengan kaki dan sirip terentang dan mulut terbuka, pose terengah-engah dan pendinginan yang umum untuk penguin magellan.
Beberapa bagian di Punta Tombo, tempat ribuan penguin magellan berkumpul untuk berkembang biak tiap musim semi dan musim panas di Australia, bernasib lebih buruk daripada yang lain. Di bagian tengah koloni, sekitar 5 persen individu dewasa tewas.
Namun bagian lain melihat sedikit atau tidak ada kematian, menunjukkan iklim mikro dan akses ke laut, serta kesehatan dan nutrisi individu, mungkin memengaruhi tingkat kelangsungan hidup.
Peneliti UW telah mendokumentasikan peristiwa kematian massal masa lalu di Punta Tombo terkait dengan hujan badai parah yang membunuh sebagian besar anakan penguin, termasuk satu tahun di mana banjir membunuh 50 persen keturunan koloni yang baru menetas. Gelombang panas 2019 menjadi perhatian khusus karena menyebabkan hilangnya sejumlah besar penguin dewasa dalam satu peristiwa, menurut Holt.
”Namun yang paling mengkhawatirkan tentang kematian akibat panas adalah hal itu berpotensi membunuh banyak individu dewasa. Kelangsungan populasi burung laut berumur panjang—seperti penguin magellan—bergantung pada rentang hidup panjang. Penguin magellan dewasa bisa hidup lebih lama dari 30 tahun, jadi mereka biasanya memiliki banyak peluang untuk berhasil membesarkan anak. Jika kita kehilangan banyak individu dewasa dari satu peristiwa seperti ini, itu menjadi perhatian utama,” kata Holt.
Jenis kelamin
Berdasarkan pemeriksaan sebagian bangkai penguin, setidaknya 8 dari 10 individu yang mati berjenis kelamin pejantan. Itu kemungkinan mencerminkan tingginya prevalensi penguin magellan jantan di Punta Tombo—kira-kira tiga jantan untuk setiap betina—daripada kemampuan bertahan hidup yang berbeda dalam panas yang ekstrem.
Rasio jenis kelamin koloni yang timpang ini telah berkembang dari waktu ke waktu. Penelitian oleh kelompok Boersma menunjukkan, betina dewasa lebih kecil kemungkinannya kembali ke Punta Tombo untuk berkembang biak. Ini karena mereka diduga lebih kesulitan menemukan makanan yang cukup di laut terbuka di luar musim kawin. Ini kemungkinan telah berkontribusi pada penurunan ukuran koloni secara keseluruhan sejak akhir 1980-an.
Baca juga : Gelombang Panas Super Diperkirakan Bakal Melanda Pertengahan Abad Ini
Sisa 90 kematian dari gelombang panas Januari 2019 adalah anakan penguin. Berdasarkan analisis postmortem, anakan yang mati cenderung diberi makan dengan baik dan tidak menunjukkan tanda-tanda dehidrasi. Mereka mungkin mati dengan perut penuh dan tubuh kecil sehingga anakan ini diduga tidak dapat mengatur suhu tubuh mereka dengan baik dalam panas yang ekstrem, menurut Holt.
Perubahan iklim diperkirakan akan menghasilkan peristiwa cuaca yang lebih ekstrem dari semua jenis secara global, meskipun efeknya akan bervariasi menurut lokasi. ”Penguin bisa memiliki kemampuan untuk mengatasi, seperti pindah tempat berkembang biak. Tapi itu akan memakan waktu untuk menyelidiki apakah adaptasi itu efektif,” kata Holt.
Respons tumbuhan
Selain pada hewan, gelombang panas yang bakal lebih sering terjadi dan lebih lama sebagai dampak perubahan iklim juga akan turut memengaruhi kehidupan tumbuhan.
”Tekanan panas dapat berdampak negatif pada tanaman di habitat alaminya dan mengganggu kestabilan ekosistem, sementara juga secara drastis mengurangi panen tanaman, sehingga mengancam ketahanan pangan kita,” kata Brigitte Poppenberger, Profesor Bioteknologi Tanaman Hortikultura, dalam situs Technical University of Munich (TUM), 4 Januari 2022.
Dijelaskan, untuk bertahan hidup dari tekanan panas tersebut, sel tumbuhan—seperti halnya pada semua organisme—mengaktifkan jalur pertahanan molekuler untuk perlindungan stres panas.
Respons stres panas ini (umum pada semua organisme) melindungi sel dari kerusakan yang disebabkan oleh stres proteotoksik, yang merusak protein. Stres tersebut tidak hanya disebabkan oleh panas, tetapi juga dapat diakibatkan oleh paparan racun tertentu, sinar UV, atau salinitas tanah.
Respons stres panas melindungi sel dengan berbagai cara, salah satunya dengan memproduksi protein stres panas, yang berfungsi sebagai perisai molekuler yang melindungi protein dengan mencegah kesalahan lipatan. Selain itu, tanaman menghasilkan hormon brassinosteroids yang dapat meningkatkan ketahanan stres panas tanaman.
Hormon ini selain mengatur pertumbuhan dan perkembangannya juga memiliki kemampuan menarik lainnya, salah satunya adalah kemampuannya untuk meningkatkan ketahanan terhadap tekanan panas.
Dengan menggunakan tanaman Arabidopsis thaliana, kelompok penelitian yang dipimpin Prof Brigitte Poppenberger dari TUM menjelaskan bagaimana faktor transkripsi tertentu—protein khusus yang bertanggung jawab untuk mengaktifkan atau menonaktifkan bagian tertentu dari DNA—diatur oleh brassinosteroid.
Faktor transkripsi ini, yang disebut BES1, dapat berinteraksi dengan faktor stres panas sehingga memungkinkan informasi genetik ditargetkan untuk meningkatkan sintesis protein stres panas.
Ketika aktivitas BES1 meningkat, tanaman jadi lebih tahan terhadap tekanan panas, dan ketika menurun, mereka menjadi lebih sensitif terhadapnya. Lebih lanjut, kelompok tersebut telah menunjukkan bahwa BES1 diaktifkan oleh stres panas dan bahwa aktivasi ini dirangsang oleh brassinosteroids.
Baca juga : Berlindung dari Sengatan Gelombang Panas
”Hasil ini tidak hanya menarik bagi ahli biologi yang mencoba memperluas pemahaman kita tentang respons sengatan panas, tetapi juga memiliki potensi untuk aplikasi praktis di bidang pertanian dan hortikultura,” kata Prof Poppenberger.
Bio-stimulan yang mengandung brassinosteroid tersedia dan dapat diuji kemampuannya untuk meningkatkan ketahanan terhadap tekanan panas pada tanaman. Zat tersebut adalah produk alami yang disetujui untuk pertanian organik dan dengan demikian dapat digunakan tanpa masalah.
Sebagai alternatif, BES1 mungkin menjadi target yang menarik untuk pendekatan pemuliaan. Ini dapat digunakan untuk membuat varietas yang lebih tahan terhadap cekaman panas dan dengan demikian memberikan hasil yang lebih stabil jika terjadi gelombang panas di masa depan.