Kebutuhan palet balok kayu di Indonesia 100 persen masih diimpor dari China. Pusat Riset Biomaterial BRIN berupaya menghasilkan substitusi produk tersebut yang mampu diproduksi di dalam negeri dan ramah lingkungan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
Limbah kayu menjadi persoalan di sejumlah daerah, terutama di sentra industri mebel berbahan kayu seperti Jepara. Selama ini, limbah dari potongan atau serbuk kayu tersebut hanya dibiarkan atau dibakar. Hal ini justru dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan akibat asap bakaran.
Melalui teknologi dan inovasi, limbah biomassa industri kayu tersebut seharusnya bisa dikembangkan dan dimanfaatkan secara optimal agar bernilai ekonomi. Permintaan pasar pun sebenarnya sudah ada untuk kebutuhan produk dari limbah kayu.
Kibti Marta, pemilik CV Kibti Furniture sempat mencoba untuk menghasilkan produk palet balok dari serbuk kayu atau chip block pallet (CBP) dari serbuk kayu gergaji. “Tapi hasilnya tidak baik, belum sesuai dengan kualitas yang diharapkan,” kata Marta di tengah acara yang diselenggarakan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada 16 Desember 2021.
Atas rekomendasi dari rekannya, Marta akhirnya mencoba menghubungi peneliti di Pusat Riset Biomaterial BRIN untuk bisa mengembangkan limbah di industri kayu milik dia agar diolah jadi produk yang lebih bernilai guna. Selain itu, produk palet balok serbuk kayu yang bisa dihasilkan juga diharapkan bisa lebih berkualitas dan berstandar internasional.
Pengembangan pun mulai dilakukan oleh para peneliti Pusat Riset Biomaterial BRIN pada 2020. Pada pengembangannya, pendanaan dan percepatan komersialisasi didukung oleh BRIN.
Palet balok kayu atau CBP merupakan komponen dari palet kayu. Fungsi dari CBP yakni sebagai bantalan dari balok kayu. Palet balok kayu biasanya digunakan sebagai alas untuk mengangkut barang yang sering ditemukan pada kontainer.
Tidak hanya itu, CBP kini juga banyak digunakan sebagai dekorasi dan produk mebel seperti meja dan kursi. Kebutuhan CBP yang cukup besar sayangnya masih harus dipenuhi dengan cara diimpor. Seratus persen kebutuhan CBP di Indonesia masih diimpor dari China.
Peneliti dari Pusat Riset Biomaterial BRIN, Sukma Surya Kusumah menyampaikan, teknologi yang digunakan untuk membuat palet balok kayu atau CBP cukup sederhana. Cara pembuatannya juga tidak rumit, yakni melalui proses pressing dan pembentukan. Berbagai negara pun sudah banyak yang menghasilkan produk tersebut.
Namun, ia menuturkan, produk CBP yang dikembangkan oleh BRIN memiliki kebaruan dari produk yang selama ini sudah beredar di pasaran. CBP karya BRIN diklaim ramah lingkungan karena dipastikan memanfaatkan limbah dari industri.
Menurut Sukma, sejumlah CBP di pasaran tidak bisa dipastikan unsur ecolabelling atau label produk yang ramah lingkungan. Itu bisa disebabkan karena kayu yang digunakan bisa berasal dari penebangan liar.
“CBP yang kita hasilkan memanfaatkan limbah industri kayu yang jelas sangat ramah lingkungan,” tuturnya.
Ia menambahkan, selain berbahan dasar dari limbah industri kayu, produk CBP ini dinilai ramah lingkungan karena tidak menggunakan bahan perekat formaldehyde (non formaldehyde adhesive). Zat yang terkandung pada perekat formaldehyde memiliki dampak buruk bagi kesehatan pengguna apabila sampai terlepas ke udara. Dengan menggunakan bahan perekat non formaldehyde diharapkan risiko tersebut bisa diminimalisir.
Keunggulan
Sukma mengatakan, produk CBP dari BRIN memiliki beberapa keunggulan lain dari produk yang sudah beredar di pasaran. Dari aspek teknis, CBP ini lebih kuat untuk menahan beban, yakni 2.998 kilogram. Pada produk yang sudah beredar saat ini kekuatannya sekitar 1.900-2.000 kilogram.
Keunggulan lainnya juga terdapat dari sisi efisiensi produk. CBP yang dikembangkan ini lebih sederhana dan efisien karena menggunakan teknologi cold press. Selain itu, kadar perekat yang digunakan juga lebih sedikit yakni tiga persen, sedangkan produk lainnya sekitar lima sampai sepuluh persen.
CBP yang kita hasilkan memanfaatkan limbah industri kayu yang jelas sangat ramah lingkungan. Itu juga tidak akan terbentuk dengan aturan ecolabelling yang diperlukan untuk kebutuhan ekspor.
Pada aspek lingkungan juga dinilai lebih unggul. Daya tahan dari produk ini diklaim lebih tinggi. Dari bentuknya pun lebih stabil. Tidak hanya itu, produk ini juga bebas emisi dari bahan formaldehyde.
Secara teknis, proses yang diperlukan untuk menghasilkan produk CBP yakni mulai dari tahap penapisan (screening)limbah kayu yang akan digunakan sebagai bahan baku. Lalu, selanjutnya tahapan dilanjutkan dengan tahap pengayakan dan pencampuran bahan perekat.
Kemudian dicetak dengan cara ditekan sampai pada tingkat kepadatan yang ditentukan. Baru dilanjutkan dengan proses pengecekan kualitas dan pengujian untuk memastikan kualitas tetap terjaga.
Kini, CBP buatan BRIN sudah menghasilkan paten dan telah diuji coba di pasar. Produk ini juga sudah bisa diterima di pasar ekspor. Selanjutnya, lisensi teknologi juga sedang diproses untuk CV Kibti Furniture. Melalui pemanfaatan ini diperkirakan sekitar 25 persen limbah kayu bisa dimanfaatkan kembali.
“Komersialisasi produk CBP dari limbah kayu ini diharapkan bisa mengurangi ketergantungan pada produk impor,” ucap Sukma.
Meski begitu, ia menyampaikan, sejumlah tantangan masih dihadapi dalam proses produksi CBP ramah lingkungan tersebut. Dengan alat yang dimiliki saat ini, CBP yang bisa diproduksi baru sekitar 100 buah per hari, sementara target yang harus dihasilkan sekitar 45.000 buah per bulan. Oleh karena itu diperlukan mesin dengan kapasitas yang lebih besar yang setidaknya bisa memproduksi CBP sekitar 1.000 buah per hari.
Pelaksana Tugas Deputi Pemanfaatan Riset dan Inovasi BRIN Mego Pinandito menuturkan, teknologi pengolahan limbah kayu menjadi produk komposit ramah lingkungan seperti CBP dapat menjadi contoh pemanfaatan teknologi sebagai solusi dari persoalan nasional. Hasil penelitian ini pula dapat menjadi bukti keberhasilan dari kerjasama industri, peneliti, dan juga pemerintah.
Ia juga menambahkan, teknologi juga dapat meningkatkan nilai ekonomi dari suatu produk. Nilai jual produk CBP yang dihasilkan ini diperkirakan sekitar 150-120 dollar AS per meter kubik. Sementara itu, limbah serbuk kayu yang ada di Indonesia selama ini hanya digunakan sebagai bahan bakar pabrik tahu dengan harga jual Rp 2.000 per karung.
“Komersialisasi produk CBP akan mampu mengurangi ketergantungan impor nasional terhadap produk CBP dari Tiongkok sehingga mampu membuka lapangan pekerjaan baru dan menjadi solusi inovatif bagi penyelesaian masalah lingkungan,” tutur Mego.