Peneliti BRIN membuat teknologi untuk mendeteksi produk halal dan haram yang terkandung dalam pangan olahan. Hasil deteksi dengan PCR ini dapat dilihat secara ”realtime” dan lebih ekonomis.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·5 menit baca
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional membuat teknologi untuk mendeteksi produk halal dan haram yang terkandung dalam pangan olahan. Teknologi berbasis reaksi berantai polimerase ini mendeteksi kandungan babi dengan menggunakan asam deoksiribonukleat atau DNA sebagai target pemeriksaan.
Indonesia dengan mayoritas penduduk Muslim sangat memperhatikan kandungan bahan dalam pangan olahan sebagai salah satu syariat beragama. Bagi umat Muslim, kandungan bahan nonhalal merupakan hal yang fundamental. Perlindungan terhadap syariat umat Muslim ini juga telah dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal.
Aturan tersebut dikeluarkan mengingat sampai saat ini masih banyak terjadi pemalsuan kandungan bahan pangan, terutama daging sapi, di Indonesia. Para pelaku memalsukan bahan pangan dengan daging yang murah dan mudah didapatkan, salah satunya babi.
Deteksi kandungan babi saat ini memang sudah banyak dikembangkan, khususnya melalui teknik reaksi berantai polimerase (PCR). Deteksi ini dilakukan dengan menargetkan protein ataupun asam deoksiribonukleat DNA yang terkandung dalam pangan. Dibandingkan dengan protein, DNA diketahui memiliki stabilitas yang tinggi dan relatif lebih tahan terhadap pemanasan ataupun tahapan pembuatan pangan olahan lainnya.
Namun, teknologi untuk mendeteksi kandungan bahan pangan tersebut sebagian besar masih mengandalkan produk impor dengan probe atau pelacak genetik sehingga membutuhkan biaya yang lebih mahal. Di sisi lain, kebutuhan untuk mendeteksi kandungan halal dan haram ini sangat tinggi serta sudah menjadi mandat di Indonesia.
Sebagai salah satu solusi atas permasalahan tersebut, peneliti Pusat Riset Bioteknologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) kemudian mengembangkan teknologi PCR (reaksi rantai polimerase) untuk mendeteksi kandungan halal dan haram dalam pangan olahan. Hasil deteksi PCR ini dapat dikeluarkan dalam waktu yang tidak terlalu lama (realtime).
Peneliti dari Pusat Riset Bioteknologi BRIN, Desriani, menjelaskan, teknologi deteksi yang dikembangkan oleh BRIN tidak menggunakan probe berlabel, tetapi pewarna (dye) SYBR Green I dengan sifat universal. SYBR Green I merupakan suatu senyawa berpendar yang biasa digunakan untuk mewarnai DNA.
Keunggulan senyawa SYBR Green I ialah bisa diaplikasikan ke semua mesin PCR realtime. Dengan teknologi realtime PCR, hasil deteksi akan lebih sensitif dan bisa langsung dianalisis tanpa perlu dilakukan elektroforesis atau proses pemisahan molekul. Pemeriksaan pun dapat dilakukan secara masif.
”Semua mesin PCR realtime memiliki teknologi untuk deteksi SYBR Green I. Sementara apabila menggunakan probe berlabel, masih tergantung dari jenis mesin PCR karena tidak semua mesin kompatibel dengan probe untuk mendeteksi kandungan babi. Penggunaan SYBR Green I yang universal akan membuat proses deteksi lebih ekonomis,” ujarnya, Sabtu (11/12/2021).
Cara deteksi
Teknologi yang dikembangkan ini juga bersifat tripleks PCR atau dapat mendeteksi tiga target sekaligus dalam satu tabung. Bahkan, desain tripleks PCR ini dapat mengenali targetnya secara spesifik. Setiap target yang terdeteksi akan bisa dilihat secara jelas melalui pola kurva leleh.
Tiga kontrol yang disediakan pada sistem ini ialah kontrol negatif, positif, dan internal. Kontrol negatif bertujuan memastikan tidak terjadi kontaminasi pada reagen (pereaksi kimia).
Sementara kontrol positif berupa DNA babi atau sapi digunakan untuk mengonfirmasi reagen yang digunakan dalam kondisi baik. Adanya kontrol positif ini sekaligus untuk menghindari penggunaan reagen yang rusak karena disimpan tidak dalam suhu yang sesuai atau sudah kedaluwarsa.
Adapun kontrol internal, yakni 18SrRNA, digunakan untuk memastikan bahwa ekstraksi DNA dari pangan olahan telah berhasil dilakukan. Kontrol internal ini juga bertujuan memastikan integritas DNA tetap terjaga dan tidak terdapat inhibitor atau zat yang penghambat reaksi PCR.
”Adanya kontrol-kontrol ini membuat tingkat kepercayaan kita terhadap hasil dan akurasinya semakin tinggi. Kami menggunakan DNA sebagai target karena relatif lebih tahan dengan pemanasan dibandingkan dengan protein yang lebih tidak tahan terhadap suhu,” kata Desriani.
Sebelum kandungan babi dideteksi dengan tripleks PCR, terlebih dulu dilakukan ekstraksi DNA dalam pangan olahan tersebut. Hasil ekstraksi ini kemudian dimasukkan ke dalam ramuan kit yang dikembangkan BRIN sebelum dianalisis di mesin realtime PCR.
Kami menggunakan DNA sebagai target karena relatif lebih tahan dengan pemanasan dibandingkan dengan protein yang lebih tidak tahan terhadap suhu.
Analisis kandungan pangan tersebut, baik babi, sapi, maupun 18SrRNA, dilakukan dengan melihat nilai pemeriksaan PCR atau cycle threshold (Ct) dan pola kurva leleh yang telah dikembangkan. Angka kurva leleh babi 75,60 derajat celsius, sapi 78,2 derajat celsius, dan 18SrRNA 80,80 derajat celsius. Kurva dengan angka 75,60 derajat celsius menunjukkan bahan pangan olahan tersebut mengandung babi.
Menurut Desriani, dengan menggunakan mesin realtime PCR, hasil deteksi hanya membutuhkan waktu 1,5-2 jam setelah proses ekstraksi dilakukan. Sementara proses ekstraksi bahan pangan membutuhkan 1-2 jam tergantung dari metode yang digunakan.
”Spesifisitas dari teknologi ini juga sudah kami uji. Jadi, kami mencapurkan DNA babi dan DNA sapi dengan proporsi mulai dari 100 persen banding 0. Ternyata, teknologi ini spesifik mengenali adanya DNA babi dan sapi. Teknologi ini juga hanya mengenali satu DNA untuk target yang tidak dicampurkan kandungan lain,” ujarnya.
Kuantifikasi kandungan
Saat ini, teknologi tripleks PCR dari BRIN ini memang belum dapat menunjukkan kuantifikasi atau persentase DNA target. Tripleks PCR ini baru fokus mengenali dan mendeteksi kandungan dalam bahan pangan, khususnya sapi dan babi.
Namun, Desriani mengungkapkan bahwa BRIN sudah meneliti untuk menguantifikasi berapa persen kandungan sapi dan babi dalam bahan pangan. Oleh karena itu, ke depan, dengan mesin realtime PCR sangat memungkinkan untuk mengembangkan teknologi yang dapat menguantifikasi kandungan bahan pangan.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Mastuki beberapa waktu lalu menyampaikan, kehalalan suatu produk tidak boleh dinyatakan sendiri (self declare) oleh pelaku usaha, tetapi harus melalui sejumlah mekanisme.
Pernyataan kehalalan terlebih dulu menggunakan skema ikrar atau akad dari pelaku usaha. Setelah itu, dilakukan verifikasi oleh pendamping yang berasal dari organisasi masyarakat, perguruan tinggi, dan instansi pemerintah atau swasta. Hasil verifikasi kemudian disampaikan kepada komite fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Penerbitan sertifikat halal dari BPJPH baru bisa dikeluarkan seusai produk tersebut mendapat pernyataan atau fatwa halal dari MUI. Mastuki memastikan bahwa pemerintah tidak akan membebankan biaya kepada pelaku usaha mikro dan kecil (UMK) dalam proses self declare atau mendapatkan sertifikat halal.