Perlu Strategi agar Produk Halal Jadi Tuan di Negeri Sendiri
Pelaku industri dalam negeri harus bersaing dengan produk halal impor yang kerap dijual dengan harga lebih murah. Pengusaha lokal pun harus berinovasi dan mencari strategi untuk menjadi tuan di negeri sendiri.
Oleh
Agnes Theodora & Ismail Zakaria
·4 menit baca
Jakarta, Kompas -- Indonesia merupakan negara konsumen produk halal terbesar, dengan jumlah penduduk muslim terbanyak di dunia. Namun, pelaku industri dalam negeri harus bersaing dengan produk halal impor yang kerap dijual dengan harga lebih murah. Pengusaha lokal pun harus berinovasi dan mencari strategi untuk menjadi tuan di negeri sendiri.
Laporan State of Global Islamic Economy Report 2020-2021 menyebut Indonesia sebagai negara dengan konsumsi produk halal terbesar dengan nilai 214 miliar dollar AS, atau sekitar 10 persen dari pangsa produk halal dunia. Namun, produk halal yang dikonsumsi lebih banyak hasil impor dari luar negeri.
Menurut pendiri dan Direktur PT BeeMa Boga Arta Fransisca Natalia Widowati, merintis penjualan produk halal di pasar dalam negeri sama sulitnya dengan menembus pasar global. Pasalnya, orang Indonesia lebih suka membeli barang impor berlabel halal, karena menganggap mutunya lebih bagus. Selain itu, harga beberapa produk impor kerap lebih murah, apalagi di platform e-dagang.
Orang Indonesia lebih suka membeli barang impor berlabel halal, karena menganggap mutunya lebih bagus. Selain itu, harga beberapa produk impor kerap lebih murah
Fransisca, yang memproduksi dan menjual madu organik premium BeeMa Honey mengatakan, konsumen Indonesia kerap masih menganggap remeh kualitas madu lokal dan lebih memilih membeli madu impor. Selain karena kemasan madu lokal yang dianggap kurang menarik, beberapa madu di pasaran juga dicampur dengan bahan lain lain seperti gula. Kehadiran madu palsu ini menjadi tantangan untuk pelaku usaha madu.
“Di sini pentingnya punya sertifikasi halal, karena begitu kita sudah ada cap halal, proses dari hulu ke hilir terjamin aman, sehat, dan bersih. Strategi pemasaran juga harus terbuka. Semua proses kami, dari memanen sampai memproduksi madu, kami informasikan lewat pameran langsung atau di instagram. Jadi pembeli aware, tahu bahwa madu yang mereka beli memang terjamin,” kata Fransisca yang sudah mendapat sertifikasi halal untuk produknya, pekan lalu.
Senada dengan itu, Sayuk Wibawati, pemilik Nutsafir Cookies Lombok, usaha pengolahan makanan berbahan biji-bijian lokal dari Nusa Tenggara Barat, menegaskan sertifikasi halal dan kualitas yang terjaga menjadi kunci baginya untuk bisa bersaing, termasuk di tengah pandemi.
Menurut Sayuk, kelengkapan legalitas usaha termasuk sertifikasi halal memudahkannya bekerjasama dengan berbagai pihak, misalnya dengan hotel maupun PT Aero Wisata, anak perusahaan PT Garuda Indonesia (Persero).
Selain itu, ia juga tetap memastikan bahan baku, peralatan, proses pengolahan, bahkan alat pelindung diri (APD) yang digunakan karyawan memenuhi kaidah halal. Peraih penghargaan Halal Awards 2017 sebagai UKM Halal terbaik se-Indonesia ini juga terus berinovasi dengan melihat kebutuhan pelanggan. Caranya, antara lain melakukan survei keinginan pasar melalui platform digital.
Kawasan industri halal
Direktur Industri Kecil Menengah dan Aneka (IKMA) Kementerian Perindustrian Gati Wibawaningsih mengatakan, Indonesia sudah terlalu lama hanya menjadi pasar dan mengkonsumsi produk halal negara lain. “Kita harus jadi pelaku dan itu harus disiapkan dari jauh-jauh hari. Dimulai dari pasar dalam negeri, supaya pada tahun 2024 kita bisa jadi pemain di pasar halal global,” kata Gati.
Untuk mencukupi permintaan produk halal dari luar maupun dalam negeri, pemerintah sedang mengembangkan pembangunan kawasan industri halal. Kehadiran kawasan halal itu diyakini dapat menjamin rantai nilai halal (halal value chain) yang kuat serta mendukung aspek ketertelusuran (traceability) produk yang menjadi standar sertifikasi halal internasional.
Kehadiran kawasan halal itu diyakini dapat menjamin rantai nilai halal yang kuat serta mendukung aspek ketertelusuran (traceability) produk yang menjadi standar sertifikasi halal internasional.
Saat ini, sudah ada tiga kawasan industri halal yaitu Modern Cikande Industrial Estate di Serang (Banten), Safe n Lock Halal Industrial Park di Sidoarjo (Jawa Timur), dan Bintan Inti Halal Hub di Kabupaten Bintan (Kepulauan Riau). Pembangunan di daerah lain juga sedang dikembangkan.
“Semua produk yang dihasilkan dari kawasan itu ketertelusurannya benar-benar terjamin halal, dari bahan baku, sampai produk akhir. Jadi, seharusnya akan lebih mudah mendapat sertifikat halal. Ini penting dikembangkan, karena sertifikasi aspek yang penting dalam perdagangan halal,” kata Gati.
Sertifikasi halal pun terus digencarkan ke pelaku industri kecil-menengah. Gati mengatakan, saat ini, masih banyak pengusaha IKM yang produknya belum sesuai standar internasional. Untuk mempercepat sertifikasi halal, selama tahun 2012-2021, Kemenperin telah memfasilitasi pemberian sertifikasi halal ke 2.669 IKM. Tahun ini, sudah ada 660 IKM yang didampingi untuk mendapat sertifikat.
Seiring dengan itu, pemerintah juga sedang melakukan pemetaan produk halal yang potensial serta persoalan yang kerap dihadapi pelaku industri di lapangan. Bagi yang terkendala bahan baku, pemerintah akan membantu pusat bahan baku (material center) untuk memudahkan IKM mendapat bahan baku. Bagi yang terkendala teknologi mesin, program restrukturisasi mesin juga kembali digalakkan.
“Pokoknya, pendampingan dan pelatihan terus dilakukan dengan fokus sampai semua produk kita tersertifikasi halal pada tahun 2024 nanti,” ujarnya.