Teknologi Cegah Limbah Makanan Menggunung
Salah satu perilaku yang kurang baik adalah membuang makanan atau menyisakan makanan. Mencegah agar setiap produk makanan dikonsumsi secara optimal, sejumlah upaya dilakukan agar makanan tak berakhir di tempat sampah.
Pernah menyimpan makanan di kulkas atau lemari terlalu lama sampai membusuk, mengering, atau kedaluwarsa? Pernah memesan atau mengambil makanan terlalu banyak sampai ada sisa yang tidak termakan? Nasib makanan seperti itu biasanya akan berakhir di tempat sampah. Bayangkan jika setiap hari di seluruh dunia ini ada banyak orang yang juga melakukan hal serupa.
Baca juga : Langkah Sejumlah Negara Cegah Kemubaziran
Laporan Program Lingkungan di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), 4 Maret 2021, menyebutkan sekitar 17 persen atau 1,03 miliar ton makanan di seluruh dunia setiap tahun terbuang. Mayoritas limbah makanan itu, 61 persen, berasal dari rumah tangga. Limbah makanan dari warung, restoran, kafe, dan sejenisnya sekitar 26 persen dan dari ritel 13 persen.
PBB mendorong pengurangan limbah makanan di seluruh dunia dan para peneliti pun tengah memutar otak bagaimana mencegah makanan menjadi limbah sebelum sampai di tangan konsumen. Ekonom pertanian di Cornell University, Chris Barrett, menilai perlu ada perubahan sistem menyeluruh untuk mengurangi limbah makanan mulai dari rumah tangga.
Makanan biasanya dibuang karena dianggap sudah kedaluwarsa, dilihat dari informasi di label tanggal produksinya. Padahal, label tanggal itu tidak selalu berarti makanan tersebut tidak aman dikonsumsi. Label itu diberikan hanya sebagai pengingat kualitas makanannya menurun. Untuk menekan limbah makanan, Pemerintah AS lalu memperbaiki sistem pemberian label itu.
Lihat juga : Limbah Makanan Jepang
Berbagai negara berlomba-lomba mengurangi limbah makanan dengan memanfaatkan teknologi. Di Eropa, ada aplikasi di telepon genggam buatan Jerman, ”Too Good To Go”, khusus untuk penjualan makanan yang belum laku lalu didiskon di toko serba ada pada sore atau malam hari. Dengan aplikasi itu, 14 juta makanan di Eropa berhasil diselamatkan. Sekitar 10 juta orang memanfaatkan aplikasi itu dan 23.300 bisnis makanan ikut bergabung. Di AS juga ada aplikasi serupa, seperti GoodCloud, Karma, dan Olio.
Kecerdasan buatan
Di Jepang, perusahaan-perusahaan juga bergerak cepat dengan memanfaatkan kecerdasan buatan dan teknologi canggih lain untuk ritel. Data Pemerintah Jepang menunjukkan, untuk membuang sekitar 6 juta ton limbah makanan, Jepang mengeluarkan biaya hingga 19 miliar dollar AS setahun. Dengan jumlah limbah makanan per kapita tertinggi di Asia, pemerintah memberlakukan undang-undang baru untuk mengurangi separuh biaya itu dari level 2000 pada tahun 2030.
Salah satu solusi diambil jaringan toko serba ada, Lawson Inc, yang memanfaatkan kecerdasan buatan dari perusahaan DataRobot, AS. Teknologi ini mampu memperkirakan seberapa banyak produk belum terjual atau minim peminat di setiap toko seperti onigiri, telur, dan roti tuna.
Baca juga : Siasat Bahan Pangan Tak Jadi Sampah
Lawson berusaha mengurangi jumlah stok berlebih hingga 30 persen dan mau mengurangi limbah makanan hingga separuh pada 2030 dibandingkan tahun 2018. Biaya terbesar yang dikeluarkan waralaba Lawson ada pada pembuangan limbah makanan dan gaji pegawai.
Produsen minuman Suntory Beverage & Food Ltd juga bereksperimen dengan produk kecerdasan buatan Fujitsu Ltd. Teknologi untuk mengetahui apakah kemasan produk seperti botol minuman teh oolong atau air mineral rusak saat pengiriman. Dengan teknologi kecerdasan buatan, Suntory bisa mengetahui jika ada kemasan rusak, isi atau produk yang rusak dan perlu dikembalikan.
Suntory mau mengurangi jumlah produk yang diretur sampai 30-50 persen, mengurangi biaya limbah makanan, dan mengembangkan sistem standar umum yang bisa juga dipakai oleh produsen makanan lain dan perusahaan pengiriman.
Baca juga : Sisa Makanan Mendominasi Sampah Jakarta
Upaya seperti ini tak hanya dilakukan para pelaku bisnis, tetapi juga individu sejak pandemi Covid-19. Seperti Tatsuya Sekito yang meluncurkan Kuradashi, perusahaan e-commerce yang menangani makanan yang tak terjual dan diberi diskon. Bisnis online ini kian menggeliat sebagian karena ada lonjakan permintaan makanan yang tidak terjual dan didiskon karena sekarang konsumen semakin berhemat gara-gara pandemi.
Kuradashi berjejaring dengan 800 perusahaan, termasuk Meiji Holdings Co, Kagome Co, dan Lotte Foods Co, yang menjual 50.000 produk seperti mi instan, es krim, dan rumput laut.
Banyak perusahaan yang kemudian mengikuti produsen makanan untuk mengembangkan platform teknologi untuk mengurangi limbah makanan sebagai bagian dari upaya global memenuhi target pembangunan berkelanjutan. Seperti NEC Corp yang juga memanfaatkan kecerdasan buatan yang tidak hanya bisa menganalisis data seperti cuaca, kalender, dan tren konsumen untuk memperkirakan tingkat permintaan, tetapi juga memberikan alasan di balik analisisnya.
Baca juga : Mengurangi Sampah Makanan
NEC telah menjalankan tekonologi itu ke beberapa ritel besar dan produsen makanan hingga membantu mengurangi biaya hingga 15-75 persen. NEC berharap membagi dan memproses data melalui platform umum di antara para produsen, ritel, dan logistik, untuk mengurangi ketidaksesuaian dalam rantai suplai.
”Ini membantu dunia usaha meminimalisasi biaya, menangani kekurangan tenaga, merampingkan inventaris, pesanan, dan logistik,” kata Ryoichi Morita, manajer senior yang menangani integrasi digital di NEC.
Tiga tahun lalu juga ada perusahaan peranti lunak Israel, Wasteless, yang membantu mengurangi limbah makanan dan menghemat uang konsumen. Peranti lunak itu membantu toko serba ada mengelola stok dan menurunkan harga makanan. Konsumen juga diharapkan lebih bijak memilih makanan yang segar atau kurang segar yang dijual dengan harga berbeda. Para pengamat menilai mengubah praktik bisnis dan perilaku konsumen jadi kunci penting untuk mengurangi limbah makanan.
Makanan berharga
Rohini Singh, warga AS, mengaku sejak pandemi menjadi lebih sadar untuk berhemat dan tidak membuang makanan. Ia lalu ikut Imperfect Foods yang mengirimkan produk makanan yang sudah tidak layak dijual di toko serba ada hanya karena ”penampilannya” sudah kuyu layu. ”Daripada dibuang, lebih baik dijual dengan harga murah ke konsumen yang tidak mempermasalahkan penampilan luar produknya,” ujarnya.
Rachael Jackson mengelola situs Eat or Toss, situs yang membantu konsumen mendapatkan makanan ”kurang cantik, tetapi aman dimakan” seperti apel atau kentang yang peyot atau kisut, tetapi masih aman. Jumlah permintaan konsumen akan makanan seperti itu naik tiga kali lipat tahun lalu.
Baca juga : Peduli dan Berdonasi Melalui Foto Piring Bersih Tanpa Sisa Makanan
Direktur eksekutif lembaga nonprofit ReFED, Dana Gunders, menilai pandemi membuat perilaku konsumen berubah karena lebih hemat dengan belanja online, makan di rumah, dan tidak membuang makanan.
Studi-studi di sejumlah negara di Eropa menunjukkan limbah makanan menurun. Survei yang dilakukan Euroconsumers terhadap 7.000 orang di Belgia, Italia, Portugal, dan Spanyol menemukan 70 persen orang sudah hampir tidak pernah lagi membuang makanan selama kebijakan pembatasan fisik dan sosial terkait pandemi.
Penasihat khusus makanan dan minuman di organisasi nonprofit Inggris, WRAP, Andrew Parry, menilai ini konsekuensi positif yang tidak disangka dari pandemi. ”Konsumen semakin sadar makanan itu berharga,” ujarnya.
Baca juga : Jangan Buang-buang Makananmu
Pandemi juga membuat restoran lebih sadar untuk mengurangi pembelian bahan makanan agar tidak membuang makanan. Ini diakui Renata Bade Barajas, CEO dan salah satu pendiri start-up GreenBytes di Eslandia yang memanfaatkan kecerdasan buatan untuk memprediksi penjualan dan mengoptimalkan jumlah stok produk makanan.
Banyak restoran juga mulai menawarkan menu makanan dengan porsi lebih sedikit. Seperti di China. Rakyat China bahkan dilarang Pemerintah China memesan makanan terlalu banyak. Padahal, masyarakat China memiliki tradisi memesan banyak makanan saat makan bersama. Pemerintahan Presiden Xi Jinping berjuang menangani limbah makanan dengan ”operasi piring kosong”.
Kelompok katering regional China kini memberlakukan kebijakan ”N-1” yang mewajibkan konsumen grup memesan satu menu makanan lebih sedikit dari jumlah orang yang makan di meja yang sama. Restoran juga diminta menyediakan porsi kecil atau porsi setengah bagi konsumen yang makan sendirian. Laporan Akademi Sains China tahun 2018 menunjukkan konsumen restoran rata-rata meninggalkan 93 gram sisa makanan. Kota-kota besar China membuang 18 juta makanan setiap tahun.
Ubah budaya
Budaya makan banyak bersama-sama tidak hanya ada di China, tetapi juga di seluruh dunia. Arab Saudi termasuk salah satunya. Untuk membantu menekan limbah makanan, ada upaya mendesain ulang piring makanan yang biasanya berukuran besar. Piring desain baru dibuat agar porsi makanan yang ada di piring terlihat lebih banyak.
Menghidangkan banyak makanan dalam porsi besar dan mewah selama ini dianggap sebagai tanda kemurahan hati dan keramahtamahan. Masalahnya, banyak makanan itu yang ujung-ujungnya berakhir di tempat sampah. Keluarga-keluarga di Arab Saudi juga biasanya sehari-hari menyajikan piring besar berbentuk oval dengan nasi yang ditumpuk tinggi. Namun, kemudian banyak yang terbuang percuma karena banyak yang mengambil sedikit saja.
Baca juga : Teknologi dan Pendidikan Konsumen Menjaga Ketahanan Pangan
Pengusaha Mashal Alkharashi lalu memiliki ide membuat piring yang bisa membuat porsi makanan terlihat lebih banyak padahal tidak. Desain piring dibuat ada tonjolan di bagian tengahnya sehingga makanan hanya akan terkumpul di bagian pinggirnya. Jadi, tanpa sadar, jumlah porsi makanan bisa berkurang. ”Bagian tengah dinaikkan dan ini bisa mengurangi 30 persen sisa makanan. Banyak restoran mengaku bisa hemat 3.000 ton beras,” ujarnya.
Limbah makanan di Arab Saudi mencapai 250 kilogram setiap tahun dan ini tinggi jika dibandingkan rata-rata dunia yang mencapai 115 kilogram. Kementerian Lingkungan, Air, dan Pertanian Arab Saudi memperkirakan, akibat limbah makanan itu, biaya yang harus dikeluarkan sekitar 13 miliar dollar AS setiap tahun. Menurut Unit Intelijen Ekonom Arab Saudi, limbah Arab Saudi rata-rata 427 kilogram per tahun dan ini menunjukkan betapa budaya konsumen membuang makanan itu tidak menghargai makanan.
Dalam laporan penelitian di King Saud University di Riyadh tahun lalu disebutkan bahan makanan tersedia melimpah di Arab Saudi dan rakyat mendapat subsidi sehari-hari yang besar dari pemerintah. Ini yang membuat rakyat Arab Saudi menjadi tidak menghargai makanan. ”Limbah makanan dari restoran, acara perayaan, atau acara sosial jumlahnya luar biasa karena ada semacam tradisi untuk menyediakan makanan lebih banyak daripada yang dibutuhkan. Ini yang harus diubah,” sebut laporan penelitian itu. (REUTERS/AFP/AP)