Negara Wajib Memulihkan Lingkungan Setelah Kasus di Pengadilan Selesai
Negara tidak hanya memiliki kewajiban menggugat pelaku perusak lingkungan, tetapi juga memulihkan lingkungan yang dirusak tersebut dengan uang ganti rugi tergugat. Namun, hal ini masih kerap terabaikan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sampai saat ini, sudah banyak korporasi atau pelaku perusak lingkungan yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan membayar ganti rugi. Setelah ganti rugi dibayar, negara masih memiliki kewajiban untuk memastikan dan memulihkan lingkungan yang dirusak oleh pelaku tersebut.
Guru Besar Bidang Hukum Lingkungan Universitas Indonesia Andri Gunawan Wibisana mengemukakan, negara perlu menggugat dalam kasus lingkungan karena memiliki kewajiban untuk mencegah pencemaran atau kerusakan lingkungan. Negara juga wajib melakukan perbaikan ketika sudah terjadi pencemaran atau kerusakan lingkungan.
”Negara punya hak untuk menggugat ketika pencemaran atau kerusakan lingkungan sudah terjadi. Tujuan menggugat bukan untuk memperoleh uang dan masuk ke kas negara. Namun, uang atau ganti rugi dari tergugat bertujuan untuk memulihkan lingkungan yang tercemar atau rusak,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Kerangka Hukum Pemulihan Lingkungan Pasca-Putusan Pengadilan”, Rabu (15/12/2021).
Dalam kasus lingkungan, pembayaran ganti rugi dari tergugat baru setengah jalan. Sementara setengah jalan lainnya adalah kewajiban pemulihan lingkungan dari pemerintah.
Andri menjelaskan, proses pemulihan lingkungan bisa dilakukan melalui gugatan ataupun lewat perintah dengan mekanisme di luar pengadilan. Bahkan, pemulihan lingkungan melalui skema perintah khususnya untuk gambut serta limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) terkadang juga lebih efektif karena sudah terdapat mekanismenya.
Menurut Andri, proses hukum antara negara dengan pelaku pencemar atau perusak lingkungan memang sudah selesai saat uang ganti rugi telah dibayarkan. Namun, negara masih memiliki kewajiban kepada rakyatnya untuk memastikan dan memulihkan lingkungan yang dirusak oleh pelaku dari uang ganti rugi tersebut.
”Kewajiban inilah yang tidak dilakukan di Indonesia. Jadi, banyak gugatan yang dimenangi negara, tetapi berhenti saat ganti rugi sudah dibayarkan. Dalam kasus lingkungan, pembayaran ganti rugi dari tergugat baru setengah jalan. Sementara setengah jalan lainnya adalah kewajiban pemulihan lingkungan dari pemerintah,” tuturnya.
Berkaca dari kasus lingkungan di Eropa dan Amerika, proses gugatan diajukan ke pelaku perusak lingkungan karena pemerintah negara tersebut sudah memiliki dasar rencana pemulihan. Sedangkan untuk kasus lingkungan di Indonesia, Andri memandang bahwa saat pemerintah menggugat, belum memiliki rencana dan jangka waktu pemulihan secara detail.
Penghitungan kerugian ini di Indonesia telah diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup akibat Pencemaran atau Kerusakan Lingkungan Hidup. Pasal 3 peraturan menteri (permen) tersebut mengatur kerugian lingkungan ke dalam empat tipe.
Tipe A untuk kerugian karena dilampauinya baku mutu lingkungan hidup, seperti emisi atau limbah B3, dan Tipe B untuk penggantian biaya pelaksanaan penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Sementara Tipe C kerugian untuk pengganti biaya penanggulangan pencemaran atau kerusakan lingkungan serta Tipe D merupakan kerugian ekosistem.
Meski demikian, Andri menilai sejumlah ketentuan dalam Permen LH No 7/2014 perlu diubah. Sejumlah perubahan yang mendesak dilakukan di antaranya terkait rumus penghitungan kerugian serta prosedur penghitungan biaya pemulihan dan pembuatan metode penilaian ekonomi (CVM) atau metode lainnya.
”Perlu ada penegasan juga dalam peraturan bahwa uang yang diperoleh pemerintah dari hasil gugatan hanya dapat ditujukan untuk pemulihan lingkungan. Kemudian perlu juga aturan terkait permintaan ganti kerugian lingkungan yang tidak harus melalui pengaidlan, tetapi dapat melalui perintah dengan dasar rencana pemulihan,” ucapnya.
Valuasi lingkungan
Kepala Kajian Ekonomi Lingkungan Universitas Indonesia Alin Halimatussadiah mengatakan, semua yang terdapat di dunia, termasuk air, udara, tanah, dan lingkungan, perlu valuasi. Secara sederhana, valuasi lingkungan merupakan upaya untuk menempatkan nilai atau harga pada barang dan jasa lingkungan yang tidak tecermin harganya di pasar.
”Tujuan valuasi ini adalah untuk memperkirakan biaya dari peluang yang didapat, contohnya hutan lindung yang menyimpan emas. Keduanya mempunyai nilai, tetapi yang memiliki harga di pasar hanya emas. Tanpa valuasi lingkungan, nilai dari hutan dengan segala manfaatnya tidak akan tecermin,” katanya.
Alin menegaskan, pemerintah sebagai regulator sejak awal harus mengetahui valuasi lingkungan atau nilai dari suatu lanskap sehingga dapat mengalokasikan sesuai hak yang ditetapkan. Selain itu, valuasi lingkungan juga bisa mengestimasikan segala macam keuntungan dari investasi hingga program kebijakan pemerintah.