Pemulihan Lahan Bekas Tambang Bisa Bawa Manfaat bagi Masyarakat
Mengintegrasikan pemulihan lingkungan khususnya lahan bekas tambang dengan pemberdayaan masyarakat akan mempercepat proses pemulihan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemulihan lahan bekas tambang perlu memerhatikan sejumlah hal mulai dari lokasi, jenis bahan tambang, legalitas, hingga informasi terkait lahan tersebut. Di sisi lain, penting juga mengintegrasikan konsep pemulihan lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kepala Pusat Studi Reklamasi Tambang IPB University Dyah Tjahyandari mengemukakan, pemulihan lahan bekas tambang bertujuan untuk mendapatkan kondisi lahan yang aman, stabil, dan tidak mudah tererosi sehingga dapat dimanfaatkan kembali sesuai peruntukannya. Sebab, hingga kini masih ada isu yang berkembang di Indonesia maupun dunia bahwa lahan bekas tambang tidak dapat dimanfaatkan kembali.
“Kita bisa memanfaatkan lahan bekas tambang sebaik mungkin jika pemulihan lahan bekas tambang dapat dilakukan dengan sebaik mungkin dari sisi teknis, pendekatan hukum, maupun sosial ekonomi dan budaya,” ujarnya dalam webinar bertajuk “Lebih Kenal dengan Pemulihan Lingkungan Berkelanjutan”, Selasa (18/5/2021).
Beberapa studi yang telah menyebut bahwa pendapatan dari sektor pertambangan lebih tinggi dibandingkan pertanian di luar perkebunan. Ini faktor yang memicu banyak pertambangan liar tidak berizin. (Dyah Tjahyandari)
Dyah menjelaskan, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemulihan atau reklamasi ini, beberapa di antaranya menghimpun informasi lahan bekas tambang tersebut seperti lokasi, jenis bahan tambang, dan aspek legalnya. Sebab, lokasi tambang di Indonesia tersebar di berbagai wilayah dengan luasan yang beragam mulai dari setengah hektar sampai puluhan hektar.
“Perubahan kondisi lingkungan sangat dipengaruhi oleh jenis bahan tambang. Kemudian informasi legal aspek dan kepemilikan lahan juga sangat penting karena untuk memulihkan lahan bekas tambang harus jelas agar tidak terjadi konflik,” tuturnya.
Regulasi pemulihan lahan yang sudah terganggu akibat kegiatan penambangan tertuang dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No 41/1999 tentang Kehutanan, serta aturan turunan dari masing-masing UU tersebut.
Sesuai dengan regulasi tersebut, reklamasi lahan bekas tambang mencakup sejumlah alur mulai dari identifikasi jenis tanah atau air. Identifikasi ini bertujuan untuk mengetahui status lahan tambang tersebut dari kawasan hutan atau areal penggunaan lain (APL).
Lahan tambang yang berasal dari kawasan hutan nantinya akan direklamasi sesuai dengan pemilihan jenis tanaman spesifik. Bila lahan tambang yang akan direklamasi merupakan APL, bisa dimanfaatkan dengan berbagai macam peruntukan seperti budidaya, industri, serta pariwisata.
Alur reklamasi ini juga tidak hanya sebatas memulihkan kembali lahan sesuai kondisi awal. Namun, terdapat proses pemeliharaan dan pemantauan yang melibatkan semua pihak. Jadi semua alur reklamasi tidak hanya mencakup aspek teknis, tetapi juga sosial, ekonomi, dan budaya dari masyarakat setempat.
“Harapannya setelah lahan dipulihkan, masyarakat di sekitar lokasi masih bisa memperoleh pendapatan ekonomi yang memadai. Sebab, beberapa studi menyebut bahwa pendapatan dari sektor pertambangan lebih tinggi dibandingkan pertanian di luar perkebunan. Ini faktor yang memicu banyak pertambangan liar tidak berizin,” kata Dyah.
Pemberdayaan masyarakat
Pengajar Departemen Pembangunan Sosial dan Keberlanjutan (PSDK) Universitas Gadjah Mada Krisdyatmoko menyatakan, pemulihan lingkungan yang berbasis pemberdayaan masyarakat terbukti tidak hanya dapat mengembalikan kondisi lahan seperti semula, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini ditunjukkan dari proses pemulihan lingkungan bekas tambang batu kapur atau gamping di Argo Wijil, Gunung Kidul, Yogyakarta.
“Lahan di Argo Wijil ditambang sejak 1980-an hingga 2005 dan terbengkalai selama 11 tahun atau dijadikan lahan tidak produktif. Perekonomian masyarakat kemudian berkembang setelah dibangun pasar ekologis di lahan bekas tambang kapur ini,” ucapnya.
Selain reklamasi lahan bekas tambang, pemulihan lingkungan yang diintegrasikan dengan pemberdayaan masyarakat juga perlu dilakukan saat menerapkan konsep ekoriparian. Ekoriparian yaitu kombinasi kegiatan restorasi sempadan sungai dengan penurunan beban pencemaran untuk dijadikan pusat edukasi lingkungan dan ekowisata sungai.
Ketua Forum Pendidikan Arsitektur Lanskap Indonesia (FPALI) Daisy Radnawati mengatakan, inti dari ekoriparian yaitu memulihkan lahan sungai tetapi tetap memberdayakan masyarakat. Hal ini akan membuka peluang bagi masyarakat untuk turut berkontribusi dalam kegiatan lingkungan dan menggerakkan ekonomi di daerah setempat.