Statuta Universitas Indonesia Dianggap Membuat Kampus Bernuansa Politis
Statuta Universitas Indonesia dikhawatirkan bakal membuat kampus bernuansa politis. Salah satu alasannya karena partai politik boleh menjadi anggota Majelis Wali Amanat UI.
Oleh
Sekar Gandhawangi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2021 tentang Statuta Universitas Indonesia masih menyisakan polemik. Peraturan itu dianggap membuat kampus bernuansa politis. Sejumlah pihak pun mendesak agar Statuta UI dicabut.
Ketua Aliansi #CabutStatutaUIPP75/21, Reni Suwarso, Rabu (8/12/2021), di Jakarta, mengatakan, PP No 75/2021 setidaknya melanggar empat undang-undang. Keempat UU tersebut meliputi UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dan UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Aliansi #CabutStatutaUIPP75/21 antara lain terdiri dari dosen, tenaga pendidik, guru besar, dan alumni UI.
Polemik tentang PP No 75/2021 bermula dari sorotan publik terhadap Rektor UI Ari Kuncoro yang merangkap jabatan sebagai komisaris PT Bank Rakyat Bank Indonesia Tbk. Hal tersebut melanggar PP Nomor 68 Tahun 2013 tentang Statuta UI yang melarang rektor menjadi pejabat di badan usaha milik negara maupun daerah (BUMN/BUMD).
Setelah preseden tersebut, PP No 75/2021 dikeluarkan, menggantikan PP No 68/2013. PP No 75/2021 ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 2 Juli 2021.
Statuta UI yang baru ini dinilai cacat formil dan materiil. Salah satu alasannya karena Statuta UI baru yang ditandatangani berbeda dengan draf Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Statuta UI baru.
Selain itu, proses penyusunan Statuta UI baru disebut tidak melibatkan empat organ secara penuh. Keempatnya adalah Dewan Guru Besar (DGB) UI, Majelis Wali Amanat (MWA), Rektorat, dan Senat Akademik.
Ada sejumlah perubahan pada Statuta UI yang baru. Larangan rektor dan wakil rektor merangkap jabatan sebagai pejabat BUMN/BUMD diubah menjadi direksi pada BUMN/BUMD.
”Selain itu, partai politik kini dibolehkan menjadi MWA UI di Statuta UI yang baru. Padahal, sudah ada beberapa menteri sebagai anggota MWA,” kata Reni.
Hal itu dikhawatirkan bakal membuat kampus bernuansa politis dan mengganggu independensi kampus. Reni mengatakan, pemerintah selama ini punya 35 suara untuk menentukan rektor dan itu sudah cukup.
”Anggaran UI setiap tahun Rp 3 triliun. Dari angka itu, sekitar 60 persennya diperoleh dari (uang kuliah) mahasiswa, 20 persen dari negara, dan 10 persen sisanya hasil kerja sama kampus dengan pihak lain. Artinya, UI sebenarnya milik publik,” ucap Reni.
Aliansi #CabutStatutaUIPP75/21 dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) seluruh UI pun mengajukan sejumlah tuntutan. Pertama, mencabut PP No 75/2021. Kedua, menurunkan rektor UI saat ini. Ketiga, membubarkan MWA UI.
Sebelumnya, pihak aliansi dan BEM telah menyurati rektor UI terkait hal ini. Selain itu, ada juga aksi unjuk rasa dan audiensi. Audiensi terakhir dilakukan dengan perwakilan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada Rabu siang.
”Kami akan mengawal seluruh proses yang berlangsung di Kemendikbudristek terkait rapat bersama empat organ UI dalam penyelesaian polemik Statuta UI. Kami juga mendesak Kemendikbudristek dan empat organ membatalkan Statuta UI,” kata Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat (BEM FKM) UI Wawan.
Musyawarah
Saat dihubungi terpisah, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek Nizam mengonfirmasi audiensi dengan aliansi dan BEM UI. Menurut dia, penyelesaian polemik sudah diatur dalam Statuta UI yang lama maupun yang baru. Ia pun berencana mengundang pimpinan empat organ UI untuk bermusyawarah dalam waktu dekat.
”Semoga semua pihak di UI dapat membangun komunikasi yang baik, saling asah, asih, dan asuh untuk memajukan UI, serta membangun kemajuan bangsa,” kata Nizam melalui pesan singkat.