Produk pangan hasil riset telah banyak dikembangkan di Indonesia. Agar dapat bersaing secara global, perlu dilakukan analisis kandungan yang terdapat dalam pangan tersebut dari unsur rasa ataupun manfaat.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berbagai riset dan inovasi tentang pangan yang telah dilakukan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional dapat meningkatkan kualitas kesehatan. Agar dapat bersaing secara global, perlu dilakukan analisis secara komprehensif kandungan yang terdapat dalam pangan tersebut dari unsur rasa ataupun manfaat.
Tenaga Ahli Utama Bidang Pangan dan Kesehatan Organisasi Riset Pengkajian dan Penerapan Tenologi (OR PPT) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Soni Solistia Wirawan mengemukakan, OR PPT-BRIN telah melakukan inovasi teknologi bidang kesehatan dan pangan. Inovasi tersebut dikembangkan melalui Task Force Research and Innovation on Covid-19 (TFRIC-19) tahun 2020 dan 2021.
Sejumlah produk pangan hasil riset yang dikembangkan OR PPT bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan pihak swasta, yakni BiskuNeo atau biskuit berenergi tinggi. Biskuit ini diperkaya dengan vitamin dan mineral untuk imunomodulator atau meningkatkan daya tahan tubuh, khususnya pada masa pandemi.
”Biskuit ini lebih kurang mengandung 500 kalori per 100 gram. Jika selama satu hari kita membutuhkan 2.000 kalori, maka perlu empat bungkus biskuit ini. Biskuit ini dapat menggantikan mi instan untuk kebutuhan konsumsi pada saat terjadi bencana,” ujarnya dalam acara Gelar Riset dan Inovasi (GRIn 2021) secara daring, Rabu (1/12/2021).
Produk riset hingga menjadi komersialiasi merupakan proses yang panjang. Jadi, produk ini hanya 10 persen dari hasil penelitian. Sedangkan invensi atau hasil temuan peneliti belum tentu dikomersialisasi karena sebagian hanya masuk ke jurnal.
Produk pangan lainnya yang dikembangkan OR PPT adalah Stamilic bawang hitam (blackgarlic). Produk ini berupa cairan dari bawang hitam tunggal yang difermentasi selama satu bulan sehingga keluar vitamin. Produk yang dinilai tanpa efek samping ini bermanfaat untuk anti-inflamasi atau mengurangi radang, antidiabetes, dan meningkatkan stamina.
Selain itu, terdapat juga Purula atau abon tabur cegah anemia untuk mendukung penanggulangan tengkes (stunting), beras Fortivit atau beras terfortifikasi dengan vitamin dan mineral, Whole Beta atau suplemen kesehatan untuk meningkatkan daya tahan tubuh, serta sagomee atau mi berbahan baku sagu.
Meski beberapa produk hasil riset pangan sudah dikembangkan, Soni mengakui bahwa proses hilirisasi sampai saat ini masih menemui sejumlah tantangan. Menurut dia, inovasi produk hasil riset harus memiliki aspek keterbaruan yang diperkenalkan pada pasar, seperti keefektifan, produktif, biaya atau murah, dan manfaat.
Hilirisasi produk riset juga masih menemui tantangan di sektor pasar. Sebelum mengembangkan suatu produk, kata Soni, BRIN selalu membahas dan mengkaji peluang di pasaran. Hal ini sekaligus untuk menetapkan konsumen atau industri yang akan menggunakan produk inovasi tersebut dan cara memasarkannya.
Di sisi lain, produk-produk inovasi tersebut tidak akan berkembang tanpa dukungan regulasi. Sebab, produk tersebut harus memenuhi aturan yang telah ditetapkan, seperti izin edar, uji praklinis, hingga standar industri dan kesehatan. Oleh karena itu, perlu dukungan regulasi untuk mempercepat segala rangkaian proses perizinan ataupun tahapan pengujian.
Selain itu, tantangan dari aspek promosi perlu strategi pemasaran yang tepat berupa upaya promotif dan sosialisasi produk. Sementara dari aspek investasi, sampai saat ini produksi massal hasil riset masih perlu dukungan pembiayaan sejak pengembangan awal dari pihak swasta. Selama ini, mayoritas industri hanya mau berinvestasi saat produk sudah jadi dan siap dipasarkan.
”Produk riset hingga menjadi komersialisasi merupakan proses yang panjang. Jadi, produk ini hanya 10 persen dari hasil penelitian. Sedangkan invensi atau hasil temuan peneliti belum tentu dikomersialisasi karena sebagian hanya masuk ke jurnal,” ucapnya.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Fadjry Djufry menambahkan, Balitbangtan juga terus mengembangkan berbagai komoditas. Sejak berdiri pada 1974, Balitbangtan telah menghasilkan 318 varietas padi. Bahkan, telah dikembangkan juga beras yang memiliki berbagai kandungan untuk mengatasi permasalahan tengkes.
”Sebanyak 94 persen varietas unggul baru padi yang ditanam di Indonesia merupakan hasil Balitbangtan, begitu juga hampir 60 persen jagung, dan kedelai 96 persen, serta beberapa komoditas lain. Semua hasil riset dan inovasi yang dihasilkan ini memang diprioritaskan untuk petani dan tidak dikomersialisasikan,” katanya.
Kandungan nutrisi
Asisten Profesor Osaka University, Jepang, Sastia Prama Putri memandang bahwa pengembangan produk riset pangan akan sulit dilakukan jika tidak bisa memetakan dan mengetahui keunggulan produk tersebut secara kuantitatif serta terstandar. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis secara komprehensif kandungan yang terdapat dalam pangan tersebut dari unsur rasa ataupun manfaat.
”Jadi, perlu diketahui kandungan apa saja yang membuat pangan tersebut baik dari segi penampakan, aroma, dan rasa. Hal ini biasanya hasil kombinasi berbagai senyawa yang ada dalam produk pangan tersebut. Seluruh aspek tersebut perlu diketahui jika kita berbicara tentang kualitas sensorik di mana konsumen akan mengapresiasi makanan itu,” katanya.
Menurut Sastia, mengonsumsi pangan juga harus memerhatikan aspek kesehatan. Setiap orang tidak hanya ingin mengonsumsi makanan yang enak, tetapi juga bergizi dan menyehatkan. Cara mengetahui kandungan nutrisi secara komprehensif dalam pangan ini dapat dilakukan dengan analisis atau pendekatan metabolomik.
”Apabila bicara tentang peningkatan kualitas pangan Indonesia, maka diperlukan pemetaan secara karakteristik keunggulan atau aspek penting lainnya. Kualitas pangan Indonesia bisa ditingkatkan dan bersaing di pasar global bila kita mengetahui keunggulan ini,” tuturnya.