Peran swasta dinilai penting untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs. Sejumlah korporasi pun mulai bergerak ke praktik bisnis yang lebih berkelanjutan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Kompas/Priyombodo
Bentang Hutan Kompas
JAKARTA, KOMPAS — Kontribusi pihak swasta penting untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs, salah satunya dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. Sejumlah korporasi pun mulai menyusun program dan menyesuaikan model bisnis mereka agar selaras dengan tujuan pembangunan berkelanjutan.
”Peran swasta semakin penting karena kami memiliki sumber daya untuk produksi. Namun, itu bisa dimanfaatkan untuk mendukung perbaikan kualitas iklim, alam, dan masyarakat. Ada pula sumber daya untuk investasi ke teknologi dan sebagainya,” kata Direktur Utama PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) Sihol Aritonang di Jakarta, Senin (29/11/2021).
Perusahaannya pun membuat program APRIL2030 untuk berkontribusi ke SDGs. Program ini fokus ke empat hal, yaitu iklim positif, lanskap yang berkembang, kemajuan yang inklusif, dan pertumbuhan berkelanjutan untuk sepuluh tahun ke depan. Program ini dijalankan Asia Pacific Resources International Limited (APRIL) Group. Adapun PT RAPP merupakan bagian dari APRIL Group.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Direktur Utama PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) Sihol Aritonang (kiri) di Jakarta, Senin (29/11/2021).
Program itu menargetkan beberapa hal. Beberapa di antaranya mencapai nol emisi karbon dari penggunaan lahan, mengurangi emisi karbon produk hingga 25 persen, serta membuat sumber energi bersih yang dapat memenuhi 90 persen kebutuhan energi pabrik.
Sihol mengatakan, APRIL berencana memasang 20 megawatt panel surya hingga 2025. Hal tersebut diperkirakan dapat memenuhi 2-3 persen kebutuhan energi perusahaan. Hingga kini, ada 1 megawatt panel surya yang telah dipasang. Panel surya 4 megawatt akan dipasang pada 2022.
Program itu juga menargetkan pemulihan 98 persen bahan kimia yang digunakan perusahaan saat produksi. Menurut Sihol, persentase pemulihan bahan kimia pada 2020 telah mencapai 96 persen. Sebanyak 2 persen sisanya diharapkan bisa tercapai pada 2030.
Kompas
Pengurus Kelompok Tani Hulun Hyang memperagakan penanaman bibit edelweis yang siap dipindah ke dalam pot di desa wisata edelweis di kawasan Gunung Bromo, tepatnya di Desa Wonokitri, Tosari, Pasuruan, Jawa Timur, Minggu (7/11/2021). Kelompok Tani Hulun Hyang mengolah lahan adat desa dengan membudidayakan tanaman edelweis.
Ada pula upaya meningkatkan produktivitas lahan dan konservasi lingkungan. Ini dilakukan dengan membuat fasilitas eco-camp untuk mendukung penelitian ilmu lahan gambut tropis, pelepasliaran satwa, hingga restorasi dan konservasi hutan di area konsesi perusahaan dan mitra. Kegiatan konservasi melibatkan masyarakat sekitar.
”Per 2020, sudah 81 persen (konservasi lahan) dilakukan. Ada sekitar 450.000 hektar hutan produksi yang kami kelola dan 365.000 hektar di antaranya sudah dikonservasi bersama mitra,” kata Sihol.
Unilever menyatakan berkomitmen untuk membantu mengatasi masalah sampah, khususnya sampah plastik di Indonesia. Strategi pengurangan sampah pun disusun.
Hingga 2025, Unilever menargetkan untuk mengurangi setengah dari penggunaan plastik baru. Target lainnya adalah mendesain 100 persen kemasan plastik yang dapat didaur ulang atau diubah menjadi kompos. Selain itu, mereka bakal membantu mengumpulkan dan memproses kemasan plastik yang beredar.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Pengepresan botol plastik kemasan di Tempat Pengolahan Sampah Reduce, Reuse, Recycle (TPS3R) di Kompleks Bina Lindung, Kelurahan Jaticempaka, Kecamatan Pondok Gede, Kota Bekasi, Jawa Barat, Jumat (26/11/2021). TPS3R merupakan pola pendekatan pengelolaan sampah pada skala komunal atau kawasan yang melibatkan pemberdayaan masyarakat yang didukung oleh pemerintah.
Head of Sustainabe Environment Unilever Indonesia Foundation Maya Tamimi mengatakan, upaya mencapai target itu harus dilakukan dari hulu ke hilir. Upaya itu mencakup desain ulang produk, edukasi konsumen tentang sampah, hingga membuat titik-titik pengumpulan sampah.
”Baru-baru ini kami meluncurkan gerakan #GenerasiPilahPlastik. Masyarakat diajak menjadi generasi yang lebih peduli lingkungan dan bertanggung jawab terhadap kemasan yang mereka gunakan, terutama kemasan plastik,” ujar Maya pada diskusi berjudul ”Plastik dan Evolusi Perilaku Manusia”, Selasa (16/11/2021).
Pada kesempatan yang sama, Perencana Madya Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Erik Armundito mengatakan, ada lima kunci penanganan dan pengelolaan sampah. Pertama, peraturan yang memadai. Kedua, peningkatan pemahaman masyarakat.
Ketiga, adanya tokoh panutan masyarakat untuk mengelola sampah. Keempat, penyediaan fasilitas pengelolaan sampah. Kelima, penegakan hukum.
”Kelima poin itu sudah masuk dalam RPJMN 2020-2024. Untuk merealisasikannya, perlu kolaborasi semua pihak, termasuk produsen dan konsumen,” kata Erik.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Pekerja menata botol plastik bekas untuk dijual kembali dan didaur ulang di Jalan Layur, Kota Semarang, Jawa Tengah, Rabu (22/9/2021). Mereka dapat menjual sampah plastik dari harga Rp 800 per kilogram hingga Rp 4.000 per kilogram sesuai jenis dan kualitas.
Saat dihubungi terpisah, Manajer Kampanye Keadilan Iklim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Yuyun Harmono mengatakan, pemerintah perlu menunjuk pihak yang bersalah dalam hal perubahan iklim, termasuk korporasi yang bergerak di sektor sumber daya alam. Setelah itu, perusahaan diberi tanggung jawab untuk menurunkan emisi karbon dan berkontribusi mencapai target-target terkait.
Pemerintah perlu menunjuk pihak yang bersalah dalam hal perubahan iklim, termasuk korporasi yang bergerak di sektor sumber daya alam. Setelah itu, perusahaan diberi tanggung jawab untuk menurunkan emisi karbon dan berkontribusi mencapai target-target terkait.
”Tidak cukup dengan CSR (tanggung jawab sosial perusahaan) saja. Swasta juga perlu melakukan transisi model produksi yang sebelumnya tinggi karbon,” ujar Yuyun.
Ia juga mendorong agar pencapaian SDGs dan penurunan emisi karbon dilakukan secara menyeluruh, tidak parsial. Ruang pelibatan masyarakat pun perlu diperluas, misalnya untuk menyusun kebijakan. Ini karena masyarakat paling terdampak perubahan iklim, seperti kehilangan rumah akibat bencana, gangguan kesehatan, hingga kekeringan yang membuat warga gagal panen. Hal ini turut menghambat mereka mencapai SDGs.