Peningkatan Perdagangan Daging Merah dan Olahan Picu Masalah Kesehatan
Konsumsi daging merah dan olahan daging yang tinggi berkaitan erat dengan kondisi kesehatan.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peningkatan perdagangan daging merah dan daging olahan global selama 30 tahun terakhir terkait dengan peningkatan tajam berbagai masalah kesehatan yang berhubungan dengan pola makan. Dampak terbesar terjadi di Eropa Utara, Eropa Timur, dan negara-negara kepulauan Karibia dan Oseania.
Demikian temuan analisis yang dipublikasikan dalam jurnal BMJ Global Health yang dirilis pada Jumat (19/11/2021). ”Kebijakan kesehatan harus diintegrasikan dengan kebijakan pertanian dan perdagangan di antara negara-negara pengimpor dan pengekspor untuk mencegah biaya pribadi dan sosial lebih lanjut,” tulis Min Gong Chun dari Center for System Integration and Sustainability, Michigan State University, sekaligus penulis pertama kajian ini.
Di antara urbanisasi dan pertumbuhan pendapatan yang berkelanjutan, perdagangan daging merah dan daging olahan global telah meningkat secara eksponensial. Tren ini berimplikasi pada lingkungan karena dampaknya terhadap penggunaan lahan dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Sejumlah kajian sebelumnya juga menemukan, konsumsi daging merah dan olahan yang tinggi juga terkait dengan peningkatan risiko penyakit tidak menular, terutama kanker usus, diabetes, dan penyakit jantung koroner. Dalam kajian ini, para peneliti ingin mengetahui apa dampak perdagangan daging merah dan daging olahan terhadap tren penyakit tidak menular, terutama dalam hal pola makan secara global dan negara mana yang rentan.
Sejumlah kajian sebelumnya juga menemukan, konsumsi daging merah dan olahan yang tinggi juga terkait dengan peningkatan risiko penyakit tidak menular, terutama kanker usus, diabetes, dan penyakit jantung koroner.
Mereka mengambil data produksi dan perdagangan daging 154 negara dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) periode 1993 hingga 2018, dengan fokus pada 14 jenis daging merah yang berasal dari daging sapi, babi, domba, dan kambing, serta enam daging olahan terutama daging sapi dan babi yang diawetkan dengan pengasapan, pengasinan, pengawetan, ataupun bahan kimia.
Para peneliti kemudian menghitung proporsi kematian dan tahun hidup dengan kecacatan (years of life lived with disability/DALY) yang disebabkan oleh diet sebagai akibat dari kanker usus, diabetes tipe 2, dan penyakit jantung pada mereka yang berusia 25 tahun ke atas di setiap negara.
Analisis menemukan, perdagangan daging merah dan olahan global meningkat lebih dari 148 persen dari 10 metrik ton pada 1993-1995 menjadi hampir 25 metrik ton pada 2016-2018.
Sementara jumlah negara pengekspor bersih turun dari 33 pada 1993-1995 menjadi 26 pada 2016-2018, negara pengimpor neto naik dari 121 menjadi 128.
Negara-negara maju di Eropa menyumbang setengah dari total ekspor daging merah dan daging olahan pada 1993-1995 dan 2016-2018. Namun, negara-negara berkembang di Amerika Selatan, seperti Brasil, Argentina, dan Paraguay, mencapai hampir 10 persen pada 2016-2018, naik dari sekitar 5 persen pada 1993=1995.
Negara-negara berkembang juga meningkatkan impor daging mereka sebesar 342,5 persen dari 2 metrik ton pada 1993-1995 menjadi hampir 9 metrik ton pada 2016-2018, dan negara maju menggandakan mereka dari 8 metrik ton menjadi 16 metrik ton.
Meningkat tinggi
Penelitian menemukan, kematian terkait diet dan tingkat DALY yang terkait dengan perdagangan daging global meningkat tiga per empat dari 154 negara antara 1993-1995 dan 2016-2018. Di seluruh dunia, para peneliti menghitung bahwa peningkatan konsumsi daging merah dan olahan sejalan dengan peningkatan perdagangan, menyumbang 10.898 kematian pada 2016-2018 atau naik hampir 75 persen dibandingkan pada periode 1993-1995.
Perdagangan daging global juga berkontribusi pada naiknya kematian yang disebabkan DALY di negara maju antara 1993-1995 dan 2016-2018 masing-masing 55 persen dan 71 persen.
Peningkatan kematian dan penurunan kualitas hidup ini di negara-negara berkembang cenderung lebih tinggi, yaitu masing-masing 137 persen dan 140 persen. Hal ini sebagian besar disebabkan meningkatnya permintaan daging yang didorong oleh urbanisasi yang cepat dan tumbuhnya pendapatan.
Antara 1993 dan 2018, negara-negara kepulauan di Karibia dan Oseania dan negara-negara di Eropa Utara dan Eropa Timur yang mengimpor daging merah dalam jumlah besar menjadi sangat rentan terhadap penyakit yang berhubungan dengan pola makan dan kematian.
Negara-negara kepulauan ini memiliki lahan terbatas untuk produksi daging sehingga sangat bergantung pada impor daging, sementara banyak negara Eropa, seperti Slovakia, Lituania, dan Latvia, diuntungkan dari perjanjian perdagangan regional dan pembebasan tarif setelah bergabung dengan Uni Eropa pada 2003-2004, yang mempercepat impor daging.
Pada 1993-1995, sepuluh negara teratas dengan proporsi kematian tertinggi akibat konsumsi daging merah adalah Tonga, Uni Emirat Arab, Barbados, Fiji, Gabon, Bahama, Yunani, Malta, Brunei Darussalam, dan Saint Lucia.
Pada 2016-2018, sepuluh negara menyumbang sedikitnya 7 persen kematian yang disebabkan oleh diet tinggi daging merah dan daging olahan pada 2016-2018. Negara itu antara lain Belanda, Bahama, Tonga, Denmark, dan Antigua.
Sementara itu, kematian yang disebabkan dan tingkat DALY yang terkait dengan perdagangan daging global antara 1993-1995 dan 2016-2018 turun di 34 negara. Namun, ini sebagian disebabkan oleh pertumbuhan penduduk yang melebihi peningkatan impor daging di 24 negara, sementara produksi daging dalam negeri meningkat di 19 negara. Di lebih dari setengah negara ini (20 negara), jumlah absolut kematian terkait diet dan DALY meningkat seiring dengan peningkatan konsumsi daging antara 1993-1995 dan 2016-2018.
Penelitian ini merupakan studi observasional dan karena itu tidak dapat menentukan penyebabnya. Meski demikian, mereka menyimpulkan, ”studi ini menunjukkan bahwa peningkatan global dalam perdagangan daging merah dan olahan berkontribusi pada lonjakan (penyakit tidak menular) terkait diet,” tulis mereka.
Kajian ini mengingatkan temuan sejumlah peneliti sebelumnya tentang dampak buruk daging merah bagi kesehatan. Misalnya, penelitian yang ditulis Carino Gurjao dari Dana-Farber Cancer Institute dan timnya yang dipublikasikan di jurnal Cancer Discovery pada 17 Juni 2021 mengidentifikasi pola spesifik kerusakan DNA yang dipicu oleh diet kaya daging merah.
Sejumlah penelitian sebelumnya yang menetapkan hubungan antara daging merah dan risiko kanker sebagian besar bersifat epidemiologis. Orang dengan kanker disurvei dan ditanya terkait kebiasaan makan mereka. Para peneliti melihat hubungan konsumsi daging merah dengan kejadian kanker kolorektal.