Bukti Kaitan Konsumsi Daging Merah dengan Kanker Kolorektal Ditemukan
Kaitan konsumsi daging merah dan risiko kanker kolorektal secara biologis baru terungkap. Hal ini terdeteksi dari kerusakan DNA yang muncul.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Penjual daging sapi di Pasar Tomang Barat, Jakarta Barat, Senin (10/5/2021). Beberapa hari menjelang Lebaran, harga sejumlah komoditas pangan, seperti daging ayam, daging sapi, bawang merah, dan cabai, mengalami kenaikan. Daging sapi di sejumlah pasar di Jakarta dijual Rp 140.000-Rp 160.000 per kilogram.
JAKARTA, KOMPAS — Makan lebih sedikit daging merah telah lama menjadi saran medis untuk mencegah kanker kolorektal walaupun tidak semua ahli yakin ada hubungan yang kuat di antara keduanya. Kajian terbaru berhasil menyingkap keterkaitan konsumsi daging merah dan meningkatnya risiko kanker kolorektal ini.
Keterkaitan konsumsi daging merah dan peningkatan risiko kanker kolorektal itu terungkap dalam penelitian yang ditulis Carino Gurjao dari Dana-Farber Cancer Institute dan timnya yang dipublikasikan secara daring di jurnal Cancer Discovery pada 17 Juni 2021. Kajian ini berhasil mengidentifikasi pola spesifik kerusakan DNA yang dipicu oleh diet kaya daging merah.
Sejumlah penelitian sebelumnya yang menetapkan hubungan antara daging merah dan risiko kanker sebagian besar bersifat epidemiologis. Artinya, orang-orang yang mengembangkan kondisi tersebut disurvei tentang kebiasaan makan mereka dan para peneliti melihat hubungan dengan kejadian kanker kolorektal.
Sebelumnya, para ilmuwan juga telah lama menemukan bahwa bahan kimia dalam asap rokok telah menjadi penyebab kanker dan sinar UV yang menembus kulit dapat memicu mutasi pada gen yang mengontrol bagaimana sel tumbuh dan membelah. Namun, kaitan kanker dan daging konsumsi daging merah belum terjelaskan secara biologis.
Pada tahun 2019, tim peneliti yang dipimpin ahli onkologi dari Dana-Farber Cancer Institute, Marios Giannakis, mulai meneliti aspek biologis dan medis kaitan konsumsi daging merah dan kanker kolorektal. ”Ketika kita mengatakan daging merah bersifat karsinogenik dan berdampak pada timbulnya kanker, pasti ada beberapa cara yang masuk akal untuk menjelaskannya,” kata Giannakis, kepada AFP.
Untuk mengatasi kesenjangan pengetahuan, Giannakis dan rekan-rekan mengurutkan data DNA 900 pasien dengan kanker kolorektal yang diambil dari kelompok yang jauh lebih besar, yaitu 280.000 petugas kesehatan, dalam studi gaya hidup selama bertahun-tahun.
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO
Penghapusan obat kanker Bevacizumab dan Cetuximab yang berguna untuk pengobatan kanker kolorektal atau kanker usus besar dan rektum akan merugikan penyintas. Keputusan penghapusan tersebut ditentang oleh BPJS Watch, Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Digestif Indonesia, dan Komunitas Penyintas Kanker, Rabu (20/2/2019), di Jakarta.
Seperti detektif
Analisis yang dilakukan mengungkapkan tanda mutasi yang berbeda pada mereka yang mengonsumsi daging merah. Pola yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya ini menunjukkan jenis kerusakan DNA yang disebut ”alkilasi”.
Tidak semua sel yang mengandung mutasi ini akan menjadi kanker dan tandanya juga ada pada beberapa sampel usus besar yang sehat. Tanda mutasi secara signifikan terkait dengan asupan daging merah, baik yang diproses maupun yang tidak diproses, sebelum pasien didiagnosis kanker, tetapi tidak dengan asupan unggas, ikan, atau faktor gaya hidup lainnya yang diperiksa.
”Dengan daging merah, ada bahan kimia yang bisa menyebabkan alkilasi,” jelas Giannakis.
Senyawa spesifik tersebut adalah senyawa nitroso yang dapat dibuat dari partikel heme yang banyak terdapat pada daging merah serta nitrat yang banyak terdapat pada daging olahan.
Pola mutasi ini sangat terkait dengan bagian bawah usus yang mengarah ke saluran anus yang menurut penelitian sebelumnya menjadi tempat munculnya kanker usus besar. Terlebih lagi, di antara gen yang paling terpengaruh oleh pola alkilasi adalah gen yang dianggap sebagai salah satu pemicu kanker kolorektal yang paling umum ketika mereka bermutasi.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Ahli gizi dan Ketua Tim Ahli Pengembang Modul ”Isi Piringku”, Sri Anna Marliyati, pada pemaparan daring, Jumat (27/2/2021). Isi Piringku memberi panduan pada publik untuk konsumsi makanan bergizi. Idealnya, satu piring terdiri dari karbohidrat, protein, vitamin, dan mineral.
Deteksi dini
Berdasarkan temuan ini, para peneliti menyebutkan, pasien dengan tanda mutasi dengan tingkat kerusakan alkilasi tinggi bisa memiliki risiko kanker kolorektal 47 persen lebih besar dibandingkan dengan pasien dengan tingkat kerusakan yang lebih rendah.
Menurut Giannakis, pada masa depan, penelitian ini diharapkan bisa membantu dokter mengidentifikasi pasien mana yang secara genetik cenderung untuk mengumpulkan kerusakan alkilasi, kemudian menasihati mereka untuk membatasi asupan daging merah.
Ketika kita mengatakan daging merah bersifat karsinogenik dan berdampak pada timbulnya kanker, pasti ada beberapa cara yang masuk akal untuk menjelaskannya
Mengidentifikasi pasien yang sudah mulai mendapatkan tanda mutasi bisa membantu mengidentifikasi siapa yang berisiko lebih besar terkena kanker atau terkena penyakit pada tahap awal. Jumlah kerusakan alkilasi juga dapat menjadi penanda biologis untuk menetapkan prognosis penyakit dan kelangsungan hidup pasien.
Akhirnya, memahami jalur biologis kanker kolorektal membuka jalan bagi obat-obatan yang mengganggu atau membalikkan proses terjadinya penyakit. Giannakis menekankan bahwa menghentikan secara total konsumsi daging merah juga bukan solusi terbaik. ”Rekomendasi saya adalah moderasi dan diet seimbang adalah kuncinya,” lanjutnya.
Menurut dia, tingkat kerusakan alkilasi tumor yang tinggi hanya terlihat di antara pasien yang makan rata-rata lebih dari 150 gram (5 ons) daging merah dalam sehari. Sejumlah negara, seperti Inggris, sebagaimana ditulis dalam laman National Health Services (NHS), merekomendasikan agar masyarakatnya mengurangi asupan daging merah hingga maksimal 70 gram dalam sehari.
Disebutkan, ”Jika Anda makan lebih dari 90 gram daging merah dan olahan pada hari tertentu, Anda dapat makan lebih sedikit pada hari-hari berikutnya atau memiliki hari bebas daging sehingga jumlah rata-rata yang Anda makan setiap hari tidak lebih dari 70 gram.”