Diabetes bisa menjadi pintu masuk berbagai penyakit tidak menular yang membutuhkan biaya tinggi. Upaya penanganan diabetes pun harus menjadi perhatian bersama.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Diabetes melitus telah menjadi persoalan global, termasuk di Indonesia. Upaya pengentasan penyakit tersebut harus dilakukan secara maksimal dengan melibatkan seluruh pihak. Untuk itu, pemerintah menyusun peta jalan penanganan diabetes melitus nasional.
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono mengatakan, diabetes melitus bisa menjadi faktor pemicu timbulnya berbagai komplikasi penyakit lain yang lebih berat. Itu seperti stroke, gagal ginjal, jantung koroner, infeksi (gangren) pada kaki, dan disfungsi seksual.
”Ketika mengobati diabetes melitus, mencegahnya supaya tidak terkena komplikasi menjadi hal penting. Diabetes harus dikelola dengan baik agar tidak sampai terkena stroke, jantung, dan jangan sampai harus diamputasi,” ujarnya, di Jakarta, Senin (15/11/2021). Diskusi itu jadi bagian rangkaian acara Hari Diabetes Sedunia yang diperingati setiap tanggal 14 November.
Penyakit yang dipicu oleh diabetes tersebut, lanjut Dante, merupakan penyakit dengan pembiayaan terbesar dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat. Selain itu, penyakit-penyakit tersebut menyebabkan tingginya angka kematian di masyarakat.
Deteksi dini menjadi bagian penting dalam upaya penanganan diabetes melitus. Dengan begitu, pengobatan bisa segera dilakukan sehingga tidak sampai terjadi komplikasi. Namun, sayangnya, tidak sedikit pasien diabetes yang tak terdeteksi.
Ketika mengobati diabetes melitus, mencegahnya agar tak terkena komplikasi jadi hal penting. Diabetes harus dikelola dengan baik agar tidak sampai kena stroke, jantung, dan harus diamputasi.
Laporan Riset Kesehatan Dasar menunjukkan, prevalensi diabetes melitus secara nasional pada 2018 sebesar 8,5 persen. Provinsi DKI Jakarta memiliki prevalensi tertinggi, yakni 3,4 persen atau sekitar 250.000 penduduk yang menderita diabetes. Kasus diabetes yang tinggi tersebut nyatanya belum menunjukkan situasi yang sebenarnya.
”Ketika survei diabetes melitus dilakukan pada populasi orang sehat ternyata dua per tiga yang disurvei tidak mengetahui jika mereka menderita diabetes. Artinya, ini seperti fenomena gunung es yang harus diwaspadai,” ucap Dante.
Langkah komprehensif
Ia menuturkan, upaya penanganan diabetes memerlukan langkah yang komprehensif, mulai dari hulu hingga hilir. Berbagai pihak juga harus terlibat secara optimal. Untuk memperkuat upaya penanganan diabetes dan mendorong komitmen yang berkelanjutan, peta jalan penanganan diabetes pun disusun.
Dalam peta jalan ini akan diatur strategi penanganan diabetes pada upaya preventif, promotif, surveilans, dan perawatan kasus. Langkah preventif dilakukan dengan mengedukasi masyarakat untuk melakukan diet gula, sekaligus garam dan lemak.
Pada upaya surveilans, Dante mengatakan, program penapisan diabetes sedang disusun bersama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Nantinya, setiap penduduk yang memiliki faktor risiko diabetes dapat menjalani pemeriksaan gula darah secara rutin yang masuk tanggungan di program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat atau JKN-KIS.
Pelaksana Tugas Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Elvieda Sariwati menambahkan, dalam peta jalan penanganan diabetes juga akan diatur terkait dengan pencantuman kandungan gula, serta garam dan lemak pada kemasan makanan dan minuman. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk membatasi konsumsi gula, garam, dan lemak.
Saat ini logo pangan yang lebih sehat sudah disertakan. Logo tersebut menjadi tanda bahwa makanan atau minuman kemasan tersebut memiliki kandungan gula, garam, dan lemak dalam batas yang lebih aman.
”Semua upaya ini memerlukan komitmen bersama dari lintas sektor. Pada pencantuman kandungan gula, garam, lemak, misalnya, hal itu tidak hanya bisa dilakukan oleh sektor kesehatan, tetapi juga industri. Diharapkan road map (peta jalan) ini bisa segera dijalankan,” ucapnya.
Deteksi dini
Ketua Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni) Tri Juli Edi Tarigan mengatakan, warga bisa menjalani deteksi awal diabetes dengan melihat gejala yang dialami. Sejumlah gejala khas diabetes melitus, di antaranya sering merasa lapar, haus, kerap buang air kecil, dan mengalami penurunan berat badan. Sementara gejala tak khas, antara lain, badan lemas, mata kabur, kesemutan, bisul, badan gatal, mudah mengantuk, dan sering sakit kepala.
Ketika gejala-gejala tersebut kerap terjadi, pemeriksaan lebih lanjut harus segera dilakukan. Ini terutama pada seseorang yang memiliki faktor risiko, seperti berusia lebih dari 45 tahun, berat badan lebih, hipertensi, jarang melakukan aktivitas fisik, riwayat prediabetes, keturunan, perokok, dan memiliki penyakit kardiovaskular.
Secara normal, kadar gula darah puasa seseorang kurang dari 100 miligram per desiliter (mg/mL) dan kadar gula darah dua jam setelah makan kurang dari 140 mg/dL. Sementara seseorang disebut mengalami kondisi prediabetes jika kadar gula darah puasa sebesar 100-126 mg/dL dan kadar gula darah setelah makan 140-199 mg/dL.
Seseorang baru dikatakan mengalami diabetes jika kadar gula puasa mencapai lebih dari 126 miligram per desiliter dan kadar gula darah setelah makan lebih dari 200 mg/dL. Jika sudah dalam kondisi diabetes, tata laksana harus segera dilakukan. Pengaturan nutrisi harian, aktivitas fisik, konsumsi obat rutin, dan monitoring harus dilakukan dengan baik.
”Pemeriksaan gula darah harus dilakukan secara rutin setidaknya 1-3 tahun sekali. Idealnya, screening (penapisan) diabetes mulai dilakukan pada usia 40-45 tahun. Namun, jika memiliki faktor risiko sebaiknya tetap screening dilakukan secara rutin sebelum menunggu usia 40 tahun,” kata Tri.