Pakta Iklim Glasgow Tidak Cukup Kuat Menahan Laju Pemanasan Global
Meski menghasilkan kesepakatan, banyak pihak kecewa dengan hasil yang dicapai dalam COP 26 Glasgow. Upaya untuk mencapai target Kesepakatan Paris masih belum jelas arahnya.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah dua minggu bernegosiasi dalam Konferensi Tingkat Tinggi Iklim atau COP 26 di Glasgow, sebanyak 196 negara menyepakati Pakta Iklim Glasgow pada Sabtu (13/11/2021) malam. Komitmen ini memberi harapan untuk mempercepat berakhirnya subsidi bahan bakal fosil dan pengurangan batubara. Namun, ini dinilai belum cukup kuat untuk menahan peningkatan suhu global tidak melebihi 1,5 derajat celsius.
Salah satu poin penting dari Pakta Iklim Glasgow ini adalah pengakuan bahwa komitmen yang dibuat oleh negara-negara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sejauh ini tidak cukup untuk mencegah pemanasan planet melebihi 1,5 derajat celsius di atas suhu pra-industri. Untuk itu, setiap negara wajib memperkuat target tersebut pada pertemuan iklim akhir tahun depan di Mesir, bukan setiap lima tahun, seperti yang disyaratkan sebelumnya.
Alok Sharma, Presiden KTT COP26, saat menutup sidang mengatakan, ”Saya pikir hari ini kita dapat mengatakan bahwa kita telah menjaga 1,5 (derajat celsius) dalam jangkauan,” katanya. ”Namun, denyut nadinya lemah dan kami hanya akan bertahan jika kami menepati janji kami.”
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres memperingatkan bahwa pekerjaan mendesak lebih lanjut diperlukan. ”Planet kita yang rapuh tergantung pada seutas benang. Kami masih mengetuk pintu bencana iklim. Sudah waktunya untuk masuk ke mode darurat, atau peluang kita untuk mencapai (emisi) nol bersih dengan sendirinya akan menjadi nol,” tuturnya.
Saya pikir hari ini kita dapat mengatakan bahwa kita telah menjaga 1,5 (derajat celsius) dalam jangkauan. Namun, denyut nadinya lemah dan kami hanya akan bertahan jika kami menepati janji kami.
Kembali ke negosiasi tahun depan, memulai proses tahunan merevisi target nasional pada gas rumah kaca akan menjadi proses yang berat karena beberapa negara berpendapat bahwa mereka sudah melakukan yang terbaik. Salah satu ketidaksepakatan paling sengit di jam-jam terakhir perundingan adalah kata-kata ”penghapusan bertahap” batubara, yang akhirnya diintervensi oleh India dan diganti menjadi ”penurunan bertahap”.
Namun, COP 26 telah mengamanatkan agar semua negara mengevaluasi rencana nasional mereka untuk meningkatkan ambisi pemotongan emisi. Rencana baru penurunan emisi yang diajukan tahun depan untuk membatasi emisi pada 2030 itu disepakati harus selaras dengan tujuan 1,5 derajat celsius. Maka, Indonesia termasuk di antara banyak negara yang target penurunan emisinya saat ini dinilai tidak memadai dan perlu diperkuat.
Belum progresif
Edvin Aldrian, ahli iklim dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang juga Wakil Ketua Kelompok Kerja I Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Minggu (14/11/2021), mengatakan, kesepakatan iklim kali ini tidak cukup kuat untuk mencegah bencana besar yang bakal terjadi karena pemanasan global yang terus berlanjut.
”Secara pribadi saya kecewa. Akan tetapi, sebenarnya ini bisa diprediksi, perundingan kali ini tidak akan menghasilkan keputusan cukup kuat untuk menahan laju pemanasan global,” katanya.
Edvin mengatakan, sebagaimana diperingatkan IPCC, komitmen negara-negara di dunia untuk menurunkan emisi saat ini baru sepertiga yang dibutuhkan agar bisa menahan suhu bumi tidak lebih dari 1,5 derajat celsius. ”Memang Paris Agreement sudah ambisius, tetapi masih tidak jelas arah ke sananya bagaimana. Ini yang sebenarnya diharapkan dari COP 26, tetapi ternyata gagal tercapai dan harus menunggu tahun depan lagi,” tuturnya.
Peneliti iklim dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Siswanto, juga pesimistis kita bisa menahan laju pemanasan global tidak lebih dari 1,5 derajat dibandingkan tahun 1850. ”Laporan terbaru dari WMO (World Meteorological Agency), suhu global tahun 2020 sudah bertambah 1,2 derajat celsius. Jadi, ada penambahan 0,1 derajat dibandingkan tahun sebelumnya,” ucapnya.
Siswanto menambahkan, terjadinya La Nina pada 2020-2021, yang seharusnya dalam periode mendinginkan bumi, ternyata tidak bisa menghentikan laju pemanasan global. Demikian halnya, pandemi Covid-19 ternyata hanya sedikit menekan penambahan emisi dan tidak bisa menahan laju peningkatan suhu.
”Melihat tren 10 tahun terakhir, suhu bumi terus meningkat dan memecahkan rekor terpanas. Saya khawatir tren ini akan terus berlanjut, apalagi belum ada keputusan progresif untuk mengurangi emisi,” katanya.
Sebelumnya, menurut Siswanto, dampak pandemi diprediksi bakal menurunkan emisi hingga 8 persen, tetapi ternyata hanya tercapai 6,4 persen dan belakangan juga kembali meningkat. ”Rasanya berat mencapai target penambahan suhu global tidak bertambah tinggi. Agar suhu tidak lebih dari 1,5 derajat celsius, emisi harus turun dengan laju 7,6 persen per tahun setidaknya selama 10 tahun. Dengan pandemi kemarin saja, kita tidak bisa mencapai angka itu,” tuturnya.