Deforestasi di Berau Picu Kenaikan Suhu 1 Derajat dan Kematian Dini
Penelitian menunjukkan bukti yang solid bahwa deforestasi telah meningkatkan rata-rata suhu harian dan berdampak buruk pada aspek kesehatan.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Deforestasi di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, terbukti telah meningkatkan suhu maksimum harian rata-rata hampir satu derajat celsius dalam 16 tahun. Kenaikan suhu ini dikaitkan dengan meningkatnya risiko kematian dini di populasi hingga 8 persen.
Laporan penelitian tersebut dipublikasikan di jurnal Lancet Planetary Health pada Kamis (11/11/2021) dengan penulis pertama Nicholas H Wolff dari The Nature Conservancy. Dari Indonesia turut dalam penulisan adalah Ike Anggraeni dari Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Mulawarman, Samarinda.
Dalam studi ini, tim peneliti menggunakan data pada resolusi 1 km² untuk membandingkan tutupan hutan dan kondisi suhu di Kabupaten Berau, Indonesia, antara tahun 2002 dan 2018. Penelitian yang disponsori University of Washington Population Health Initiative ini menemukan, dalam periode itu, seluas 4.375 kilometer persegi (km²) hutan di Berau telah dibuka. Ini setara dengan sekitar 17 persen dari luasan lahan di seluruh kabupaten.
Peneliti kemudian menggunakan data satelit, model iklim, dan populasi untuk memperkirakan efek pemanasan global. Ditemukan, deforestasi dalam kurun waktu 16 tahun meningkatkan suhu maksimum harian di kawasan ini rata-rata sebesar 0,95 derajat celsius.
Panas dari deforestasi dan perubahan iklim membunuh pekerja di negara-negara hutan tropis dan menurunkan kemampuan untuk bekerja dengan aman.
Nicholas Wolff, kepada AFP mengatakan, perubahan suhu sebesar itu dalam waktu yang singkat sangat mengejutkan. ”Dunia telah menghangat sekitar satu derajat sejauh ini... tetapi itu butuh waktu lebih dari 150 tahun,” kata Wolff mengacu pada pemanasan global saat ini di atas tingkat pra-industri atau sekitar tahun 1850.
Para peneliti kemudian menggunakan data kesehatan masyarakat tentang kematian terkait panas dari daerah lain untuk menghitung berapa banyak kematian yang mungkin disebabkan oleh panas tambahan di Kabupaten Berau ini. Hasilnya, peningkatan suhu harian ini meningkatkan 7,3-8,5 persen kematian dari semua penyebab atau berkisar 101-118 tambahan kematian per tahun pada 2018.
Selain itu, peningkatan suhu ini juga menyebabkan peningkatan waktu kerja yang tidak aman sebesar 0,31 jam per hari di daerah yang terdeforestasi dibandingkan dengan 0,03 jam per hari di daerah yang mempertahankan tutupan hutan. Hal ini bisa memengaruhi produktivitas bekerja, khususnya di luar ruangan.
Para peneliti kemudian memproyeksikan, dengan tambahan pemanasan global hingga 2 derajat celsius di masa depan relatif terhadap tahun 2018, kawasan yang terdeforestasi dapat mengalami peningkatan kematian akibat semua penyebab mencapai 17-20 persen. Ini setara dengan tambahan 236-282 kematian dini per tahun dan hingga 5 jam pekerjaan yang tidak aman per hari.
”Panas dari deforestasi dan perubahan iklim membunuh pekerja di negara-negara hutan tropis dan menurunkan kemampuan untuk bekerja dengan aman,” kata Wolff. ”Hutan-hutan ini pergi dalam seminggu atau sebulan dan tiba-tiba Anda hanya hidup dalam kenyataan yang sama sekali berbeda.”
Dampak buruk deforestasi
Menanggapi temuan ini, Fajri Fadhillah, Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), yang dihubungi Jumat (12/11/2021), mengatakan, studi ini menambah bukti bahwa buruknya pengelolaan lingkungan hidup terkait langsung dengan hilangnya hak hidup masyarakat.
”Kajian ini juga menunjukkan, jika Pemerintah Indonesia tetap menjalankan pembangunan dengan skenario seperti sekarang, pelanggaran hak hidup dan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat akan dialami bukan hanya generasi sekarang, tapi juga generasi masa depan,” kata Fajri.
Penelitian ini memperkuat pentingnya menghentikan deforestasi di Indonesia, yang menjadi benteng terakhir hutan hujan tropis di dunia. Menurut data Global Forest Watch pada 2001, Indonesia memiliki 93,8 juta hektar hutan primer yang sebagian besar tidak terganggu oleh aktivitas manusia, area ini setara dengan luas Mesir. Namun, pada 2020, area tersebut telah berkurang sekitar 10 persen.
Wolff mengatakan bahwa hutan bertindak sebagai ”penyejuk udara alami” dan sangat penting dalam memitigasi pemanasan global. Oleh karena itu, menumbuhkan kembali kawasan yang terdeforestasi merupakan pilihan penting. Namun, ”pilihan yang lebih penting adalah mempertahankan apa yang tersisa,” katanya.
Sebelumnya, dalam pidatonya di COP 26 Glasgow pada Senin (1/11/2021), Presiden Joko Widodo menyatakan, deforestasi di Indonesia telah menurun dan disebut terendah dalam 20 tahun terakhir. Tak hanya itu, Jokowi menargetkan penyerapan bersih (net sink) dari penggunaan hutan dan lahan (FoLU) pada 2030. Bersama lebih dari 120 negara lain, Indonesia pun bergabung dalam Deklarasi Glasgow yang, antara lain, berkomitmen untuk menghentikan kehilangan hutan pada 2030.