Hutan punya peran sangat penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Melindungi hutan bukan hanya demi menjaga iklim global, tetapi juga untuk menjaga kehidupan rakyat saat ini.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
DRAWING/ILHAM KHOIRI
Ahmad Arif, wartawan Kompas
Hutan memiliki peran sangat penting dalam krisis iklim. Dia bisa bertindak sebagai penyumbang, sekaligus penyerap emisi gas rumah kaca. Karena peran unik inilah hutan selalu menjadi isu panas selama berlangsungnya negosiasi tahunan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)-Perserikatan Bangsa-Bangsa terkait Iklim (COP-UNFCCC).
Kontribusi hutan dalam perubahan iklim sudah dibahas dalam sebuah laporan dari Panel Antarpemerintah mengenai Perubahan Iklim (IPCC) sejak tahun 2001. Laporan yang dikenal dengan Third Assesment Report (TAR) itu menyebutkan, perubahan tata guna lahan sejak dekade 1980-an hingga saat itu menyumbang seperempat lebih emisi global. Penyumbang terbesar dari perubahan tata guna lahan itu adalah deforestasi.
Laporan itu juga menyatakan, sejak tahun 1850 diperkirakan hutan dunia hilang sebesar 20 persen yang menyumbang 90 persen emisi karbon. Laporan ini menginisiasi lahirnya ”Marrakesh Accord” dalam COP 7 tahun 2001 di Maroko, yang memasukkan hutan dalam strategi mitigasi perubahan iklim.
Hingga pada COP 11 di Montreal pada 2005, UNFCCC mengeluarkan kebijakan strategi pengurangan emisi dari deforestasi di hutan tropis. Dalam pertemuan iklim saat itu pula, Kosta Rika dan Papua Niugini mengusulkan mekanisme pengurangan emisi gas rumah kaca akibat deforestasi atau yang dikenal sebagai Reducing Emissions from Deforestation (RED).
Baru pada COP 13 di Bali pada 2007, upaya mencegah deforestasi menjadi materi perundingan. Saat itu dihasilkan Bali Action Plan yang berisi insentif bagi pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di negara berkembang sehingga lahir istilah Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD), yang belakangan menjadi REDD+.
Indonesia membuka tangan lebar masuknya sektor hutan dalam mitigasi perubahan iklim. Pada tahun 2010, Pemerintah Norwegia menandatangani kesepakatan untuk berkontribusi 1 miliar dollar AS atau sekitar 14,26 triliun kepada Indonesia atas pengurangan emisi melalui REDD+.
Strategi REDD+ seolah sederhana: negara-negara industri kaya akan membayar negara berkembang untuk melestarikan hutan. Dalam implementasinya, skema ini dapat melibatkan swasta yang menghasilkan ”kredit karbon” untuk dijual kepada perusahaan yang ingin mengimbangi emisi.
Namun, membuat REDD+ berhasil ternyata sama sekali tidak sederhana, sebagian karena belum jelasnya pasar karbon global yang dimaksudkan untuk membayarnya. Selain itu, inisiatif itu kerap memicu protes dan berkonflik dengan masyarakat lokal. Tak hanya di Indonesia, proyek ini di beberapa negara lain, termasuk Kamboja, Peru, dan Republik Demokratik Kongo, juga bermasalah.
Hingga pada September 2021, Pemerintah Indonesia memutuskan untuk mengakhiri perjanjian REDD+ dengan Norwegia. Langkah itu diambil setelah Indonesia menganggap Norwegia tidak memenuhi kewajibannya sebagai pembayar dana. Sementara di sisi lain, Indonesia mengklaim berhasil menurunkan deforestasi.
Pada Maret 2021, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) merilis angka deforestasi Indonesia pada tahun 2019-2020 turun drastis hanya sebesar 115.459,8 hektar.
Meski demikian, Yayasan Madani Berkelanjutan dan sejumlah organisasi lingkungan mengkritisi data ini. Di antaranya, adanya kecenderungan bahwa deforestasi yang masih terjadi bergeser ke Indonesia timur, yang selama ini menjadi benteng terakhir hutan alam kita. Sebanyak tiga dari lima provinsi penyumbang deforestasi hutan alam tertinggi pada 2019-2020 berada di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur.
Selain itu, data dan metode penghitungan deforetasi di Indonesia juga disoal. Bahkan, definisi hutan dan deforestasi yang dipakai Indonesia, termasuk pengategorian hutan tanaman ke dalam kategori kelas lahan hutan. Dalam kajian Yayasan Madani Berkelanjutan (2020), hutan tanaman seharusnya tidak masuk ke dalam kelas lahan hutan karena sifatnya yang monokultur.
WILEM HENGKI
Warga Desa Kinipan beridir di teras rumahnya yang terendam banjir, Senin (7/9/2020). Bertahun-tahun lamanya mereka tak pernah merasakan banjir. Banjir terjadi karena deforestasi yang masif di wilayah desa mereka.
Masuknya Hutan Tanaman ke dalam kelas lahan hutan juga dikhawatirkan dapat menutupi penggundulan hutan alam yang dikonversi menjadi hutan tanaman, terutama hutan tanaman industri, yang merupakan salah satu pendorong hilangnya hutan alam di Indonesia.
Dalam pidatonya di COP 26 di Glasgow pada Senin (1/11/2021), Presiden Joko Widodo kembali membanggakan deforestasi di Indonesia yang disebut terendah dalam 20 tahun terakhir. Tak hanya itu, Presiden Jokowi juga menargetkan penyerapan bersih (net sink) dari penggunaan hutan dan lahan (FoLU) pada 2030. Bersama lebih dari 120 negara lain, Indonesia pun bergabung dalam Deklarasi Glasgow yang di antaranya berkomitmen untuk menghentikan kehilangan hutan pada tahun 2030.
Akan tetapi, baru sehari setelah pernyataan Presiden Jokowi di Glasgow, harapan tentang berhentinya deforestasi kembali pupus. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, Selasa (2/11/2021), dalam diskusi yang diadakan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Greater Glasgow dan United Kingdom menegaskan, net sink FoLU 2030 bukan berarti deforestasi nol atau deforestasi berhenti pada tahun 2030 (Kompas, 4/11/2021).
Sikap ini dipertegas Siti Nurbaya melalui pernyataannya di akun Twitter resminya pada Rabu (3/11/2021), ”Pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi.”
Pembukaan hutan untuk pembangunan sebenarnya bukan hal baru. Soal ini sudah mengemuka sejak periode awal penebangan hutan di masa Orde Baru. Kita sama-sama tahu ujung dalih ini: atas nama pembangunan hutan dibabat, masyarakat adat dipinggirkan, dan perusahaan bisa menambang serta menanam sawit di lahan bekas hutan.
Pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi.
DOKUMENTASI GREENPEACE
Hasil investigasi Greenpeace yang menemukan deforestasi di Papua yang dijadikan kebun kelapa sawit
Membenturkan deforestasi dengan pembangunan sebenarnya tidak lagi relevan dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang kerap digaungkan pemerintah. Apalagi, jika pernyataan ini dikeluarkan Menteri LHK, yang mestinya bertugas menjaga lingkungan dan hutan.
Apalagi, data KLHK sendiri juga menunjukkan, pada 2014-2020 izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) untuk kegiatan non-tambang, seperti untuk jalan tol, jaringan telekomunikasi, migas, dan geotermal, hanya sekitar 14.410 hektar, sedangkan untuk tambang saja seluas 117.106 hektar.
Masalahnya, selain menjadi komoditas hangat selama negosiasi iklim, hutan juga memiliki peran sangat penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Deforestasi jelas bisa memicu bencana, sebagaimana terjadi hari-hari ini, sederet banjir, banjir bandang, dan longsor melanda negeri. Jadi, melindungi hutan sebenarnya bukan hanya demi menjaga iklim global, tetapi juga menjaga kehidupan rakyat kita saat ini.