Mungkin para pemimpin negara belum memberi komitmen yang memuaskan. Namun, setidaknya COP telah terus membangkitkan antusiasme tentang pencegahan perubahan iklim di seluruh kalangan di banyak negara.
Oleh
A Tomy Trinugroho
·4 menit baca
Puluhan ribu orang mengikuti demonstrasi di Glasgow, Skotlandia, Jumat (5/11/2021). Mereka mengkritik para pemimpin negara karena dinilai tak cukup responsif saat menghadapi ancaman perubahan iklim.
Bersama tokoh aktivis belia Greta Thunberg, demonstrasi berlangsung di luar arena pertemuan para anggota delegasi Konferensi Perubahan Iklim Glasgow. Udara dingin dan angin kencang di kota pelabuhan itu tak menghalangi pendemo untuk berjalan sambil menyuarakan keprihatinan terhadap perubahan iklim akibat aktivitas manusia.
Demonstrasi tak terpisahkan dari Konferensi Perubahan Iklim atau Konferensi Para Pihak (Conference of the Parties/COP) yang digelar hampir tiap tahun. Para pihak yang dimaksud dalam perhelatan ini ialah negara-negara yang meneken kesepakatan pada 1992 untuk mengatasi ancaman perubahan iklim. Jumlah negara pengadopsi kesepakatan terus bertambah dan kini mencapai 197 negara. COP Glasgow merupakan COP yang ke-26, dengan COP pertama di Berlin, 1995.
COP per tahun menjadi semacam organ eksekutif terhadap pelaksanaan konvensi mengenai langkah-langkah menghadapi ancaman perubahan iklim. Namun, COP sesungguhnya berfungsi lebih luas. Selain pertemuan resmi anggota delegasi serta negosiasi di antara mereka untuk merumuskan kerja sama, seperti pembiayaan pengurangan emisi karbon, COP juga ajang untuk membangkitkan kepedulian luas terhadap iklim.
Beribu-ribu pemimpin korporasi dari berbagai penjuru dunia datang. Beribu-ribu aktivis lembaga swadaya masyarakat juga datang. Belum lagi perwakilan kelompok warga asli, seperti suku di Hutan Amazon, Amerika Selatan.
Di arena pameran yang digelar berbarengan dengan COP 26 di Scottish Event Campus, Glasgow, ada ratusan stan yang mewakili negara, LSM internasional, dan sebagainya.
Stan Arab Saudi dihiasi peta bercahaya yang menampilkan tampak atas negara itu dengan dipenuhi hijau pohon, bukan warna coklat muda seperti biasanya. Ada pula stan Bank Pembangunan Asia (ADB) yang terlihat ringkas, dan tiap saat tampak mereka yang mengikuti seminar atau diskusi di situ.
Stan tuan rumah, Inggris, menempati areal luas. Mereka menyediakan, antara lain, virtual reality (VR). Pria berjas dengan ramah akan menawarkan pengunjung untuk menggunakan alat itu. Ada sembilan program yang siap dinikmati pengunjung setelah memasang alat VR di kepala. Salah satunya, upaya Inggris mengembangkan pesawat terbang bebas emisi karbon. Pekerjaan di bengkel untuk menyiapkan pesawat dan sebagainya ditampilkan dengan baik. Sangat menarik.
Paviliun Indonesia berada di sebelahnya. Dengan hiasan berupa bambu, Paviliun RI juga padat dengan seminar. Di sisi depan ada meja untuk menyediakan makanan serta minuman. Hampir tiap hari, warga sejumlah negara antre demi makanan-minuman gratis. Makanan yang disediakan, salah satunya, martabak.
Antusias
Kegairahan membicarakan upaya perubahan iklim sangat terasa di lokasi acara, termasuk di Paviliun Indonesia. Sesi demi sesi membahas rencana, target, serta pencapaian lembaga pemerintah dan korporasi dalam mengurangi emisi karbon.
Bahkan, pada Senin pekan lalu ada lebih dari delapan menteri datang ke Paviliun Indonesia untuk membicarakan strategi menghadapi perubahan iklim, termasuk Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto.
Managing Director RGE, induk grup korporasi April, Anderson Tanoto, di sela-sela kegiatan di Paviliun Indonesia, mengatakan, dibandingkan dengan COP Paris 2015, antusiasme pada COP Glasgow jauh lebih tinggi. Ada lebih banyak orang dan tokoh yang datang. Ia juga datang pada COP Paris untuk berbicara tentang mitigasi perubahan iklim.
Pada Senin lalu, Anderson berbicara pada sebuah sesi di Paviliun Indonesia. Topiknya mengenai upaya Grup April, induk besar perusahaan serat, pulp, dan kertas, untuk mengurangi emisi karbon di setiap tahap produksi.
Grup April juga diwakili dua pejabat lain, yakni Sihol Aritonang, Presiden Direktur PT Riau Andalan Pulp & Paper, serta Basrie Kamba, Direktur Asia Pasific Rayon. Mereka bicara soal pembangunan sel surya di perkebunan serta pemberdayaan warga desa dalam pencegahan kebakaran lahan.
Ada pula Direktur PT PLN (Persero) Zulkifli Zaini yang berbicara tentang target perusahaan itu untuk mengakhiri pembangkit batubara pada 2060. Tahapan-tahapannya dipaparkan dengan detail.
Kegairahan membicarakan upaya perubahan iklim sangat terasa di lokasi acara, termasuk di Paviliun Indonesia.
Tony Wenas, CEO PT Freeport Indonesia, serta Febriany Eddy, CEO PT Vale Indonesia, juga datang dan memberikan pemaparan strategi penurunan emisi karbon.
Ilyas Asaad, Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, di Glasgow, menyebut, baru pada COP 26 ada perusahaan tambang yang hadir. Bagi Ilyas, antusiasme dan kehadiran perusahaan tambang sangat positif. Setidaknya isu pengurangan emisi karbon telah menjadi perhatian dan dimasukkan dalam perencanaan transisi.
Febriany mengaku gembira bisa datang ke COP 26. Ia mendapat banyak pengalaman, masukan, serta pandangan baru tentang perubahan iklim.
Ada 20.000 orang yang datang ke Glasgow untuk COP 26. Warga dari sejumlah negara bertemu, makan siang bersama, berdiskusi tentang perubahan iklim, dan sebagainya.
Mungkin para pemimpin negara belum memberi komitmen yang memuaskan. Namun, setidaknya COP telah terus membangkitkan antusiasme tentang pencegahan perubahan iklim. Sedikit banyak semoga semua itu mendorong upaya pengurangan emisi dengan kian luas dan masif.
Ngobrol, berdiskusi, itu sifat dasar manusia. Mungkin lewat cara itulah perubahan besar pelan-pelan tercapai.