Populasi satwa endemik Indonesia, seperti komodo, sejumlah spesies primata, dan katak, terancam punah akibat dampak dari perubahan iklim. Di sisi lain, satwa liar lainnya juga menghadapi ancaman perburuan liar.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perubahan iklim tidak hanya mengancam populasi satwa di habitat yang cenderung dingin di daerah kutub, tetapi juga satwa endemik Indonesia, seperti komodo, primata, dan katak. Perlu upaya lebih untuk melakukan konservasi spesies sekaligus memitigasi dampak perubahan iklim untuk menyelamatkan satwa dari kepunahan.
Peneliti herpetologi dan pengajar di Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, Mirza Kusrini, mengemukakan, mayoritas orang masih memandang perubahan iklim hanya mengancam satwa liar, seperti koala dan beruang kutub. Namun, sebenarnya perubahan iklim juga mengancam satwa liar yang terdapat di Indonesia.
”Di Indonesia, perubahan iklim salah satunya mengancam populasi komodo. Dari hasil studi pada 2020 dan pemodelan tahun 2015, populasi komodo dimungkinkan terus menurun. Kita beruntung komodo masih bertahan karena adanya perlindungan habitat di taman nasional,” ujarnya dalam pembukaan Konferensi Internasional Ekologi, Konservasi, dan Manajemen Satwa Liar secara daring, Senin (1/11/2021).
Status komodo yang sangat rentan terhadap perubahan iklim juga ditegaskan oleh Badan Konservasi Dunia (IUCN). IUCN menyebut naiknya permukaan laut diperkirakan menggerus habitat dan populasi komodo. Sementara sejumlah studi telah menunjukkan bahwa perubahan iklim akan menyebabkan tinggi muka air laut semakin meningkat dan mengancam daerah-daerah pesisir di Indonesia.
Di Indonesia, perubahan iklim salah satunya mengancam populasi komodo. Dari hasil studi pada 2020 dan pemodelan tahun 2015, populasi komodo dimungkinkan terus menurun.
Studi tentang distribusi dan monitoring konservasi komodo yang dilakukan pada 2004 juga menyatakan komodo sangat sensitif terhadap perubahan penggunaan lahan khususnya di wilayah yang tidak dilindungi. Oleh karena itu, hilangnya habitat yang berkelanjutan dan konversi lahan dapat memperburuk populasi reptil purba ini.
Selain komodo, kata Mirza, perubahan iklim juga mengancam primata di Indonesia. Menurut studi terbaru yang memprediksi titik dan kawasan lindung untuk primata di Indonesia dalam perubahan iklim, sebanyak 30 spesies primata cenderung akan punah pada 2050. Perjumpaan dengan beragam spesies primata di habitat juga akan menurun satu hingga empat spesies per kilometer.
Perubahan iklim tidak hanya mengancam komodo dan primata di Indonesia, tetapi juga spesies katak endemik yang berhabitat di Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pengrango, Jawa Barat. Hasil studi yang dilakukan Mirza, populasi dan distribusi katak ini diperkirakan menurun selama 40 tahun terakhir.
”Berangkat dari tiga populasi satwa yang terancam tersebut, kita harus benar-benar mengkhawatirkan dampak dari perubahan iklim terhadap satwa liar. Kita tidak memiliki planet Bumi lainnya sehingga perlu upaya lebih untuk konservasi spesies sekaligus memitigasi dampak dari perubahan iklim,” ujarnya.
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wiratno menyatakan, kemitraan konservasi merupakan salah satu strategi yang diterapkan untuk menyelamatkan lingkungan dan satwa sekaligus menyangga sosial-ekonomi masyarakat. Hal ini dilakukan mengingat terdapat puluhan juta masyarakat yang hidup dari hutan dan kawasan lindung.
”Sejak 2015 higga 2021, kemitraan konservasi sudah dilakukan di 254.020 hektar di sejumlah daerah. Kemitraan ini tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan produk hutan dan mengelola komunitas lokal, tetapi juga dapat membantu mengurangi konflik antara manusia dan satwa liar,” ujarnya.
Perburuan liar
Selain perubahan iklim, populasi satwa di Indonesia juga menghadapi ancaman ganda dari aktivitas perburuan liar. Direktur Penegakan Hukum Pidana KLHK Yazid Nurhuda mengakui bahwa keanekaragaman hayati fauna di Indonesia tengah menghadapi ancaman kepunahan.
Berdasarkan data statistik KLHK pada 2017, sebanyak 1.246 spesies satwa terancam punah. Sebanyak 100 penyu dan 500 kakaktua juga diburu secara ilegal setiap tahun. Sementara dalam lima tahun terakhir, 79 harimau telah terbunuh dan 600 gading gajah diselundupkan. Semua aktivitas perburuan liar tersebut diprediksi merugikan ekonomi hingga mencapai 1 miliar dollar AS per tahun.
Perdagangan satwa merupakan salah satu aktivitas ilegal yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Nilai ekonomi dari perburuan liar di dunia diperkirakan mencapai 10 sampai 20 miliar dollar AS per tahun. Ini menjadi nilai ekonomi terbesar keempat dari aktivitas ilegal setelah perdagangan narkoba, senjata, dan orang. Adapun di Indonesia nilai ekonomi dari perburuan liar diperkirakan mencapai Rp 9 triliun.
”Berbagai modus operandi yang dilakukan untuk memudahkan perdagangan satwa liar ini di antaranya penyuapan, pemalsuan dokumen, hingga penyelundupan secara konvensional dan daring,” katanya.
Menurut Yazid, perdagangan satwa liar merupakan tindakan ilegal yang terorganisasi. KLHK kerap menemukan pelaku perdagangan satwa liar tidak berjalan sendiri, tetapi memiliki kelompok tertentu. Para pelaku menjalankan aksinya dengan sangat tertutup dan memiliki rantai pasokannya tersendiri. Bahkan, pelaku juga kerap menggunakan teknologi informasi.
Yazid mengakui bahwa saat ini terdapat sejumlah tantangan dalam memberantas perdagangan satwa liar secara ilegal, terutama dalam sinergi antar-petugas penegak hukum. Di sisi lain, kapasitas aparat penegak hukum juga perlu ditingkatkan terutama untuk melakukan identifikasi spesies, analisis forensik digital, dan teknik penanganan hewan.
”Ke depan, kami akan terus memperkuat patroli siber, meningkatkan kampanye untuk kesadaran publik, dan memperketat sirkulasi hewan di daerah perbatasan. Kami juga akan meningkatkan basis data dan peta distribusi perdagangan hewan sekaligus mengembangkan sistem informasi flora dan fauna untuk memudahkan identifikasi,” ucapnya.