Komodo ditetapkan International Union for Conservation of Nature dalam status terancam punah di alam liar. Itu jadi alarm melestarikan fauna purba ini.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Dimasukkannya komodo dalam daftar fauna yang terancam punah menuntut penguatan strategi konservasi. Populasi komodo yang kecil dan tempat hidupnya yang terbatas membuat kadal terbesar dari zaman purba ini dianggap sangat rentan terdampak perubahan iklim.
"Komodo ini memang unik. Kalau dari temuan fosil, dulu persebarannya cukup luas lalu jadi mengecil. Jadi, secara alami, tanpa diapa-apakan, komodo memang sudah terancam," kata peneliti komodo dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang juga kurator herpetologi di Museum Zoologi Bogor, Evy Ayu Arida, Minggu (5/9).
Evy menyampaikan hal ini menanggapi penetapan komodo (Varanus komodoensis) dari sebelumnya rentan (vulnerable) menjadi terancam punah (endangered) dalam Daftar Merah dari International Union for the Conservation of Nature (IUCN). Penetapan ini diumumkan dalam kongres di Perancis, pada Sabtu (4/9). Evy termasuk salah satu peneliti dari Indonesia yang datanya dipakai sebagai dasar penetapan status ini.
Status terancam punah ini satu level di bawah sangat kritis (critically endangered) atau dua level sebelum dinyatakan punah di alam (extinct in the wild). Di Indonesia, salah satu binatang yang dinyatakan berada dalam level sangat kritis adalah badak Jawa (Javan rhinoceros).
Dalam rilisnya, IUCN menyebutkan, spesies komodo semakin terancam oleh dampak perubahan iklim. Naiknya permukaan laut diperkirakan akan menggerus habitat dan populasi komodo. "Beberapa tahun lalu ada kajian yang memodelkan mengenai dampak perubahan iklim, salah satunya memang akan berdampak serius terhadap keberlangsungan hidup komodo," kata Evy.
Studi yang dipimpin oleh para peneliti dari University of Adelaide dan Deakin University, Australia itu menemukan bahwa dampak pemanasan global dan kenaikan permukaan laut bisa mempercepat kepunahan komodo yang habitannya kecil.
"Model kami memprediksi pengurangan habitat komodo dengan cakupan luas sebesar 8 – 87 persen pada tahun 2050, yang mengarah pada penurunan hunian habitat sebesar 25 – 97 persen dan penurunan kelimpahan sebesar 27 – 99 persen di seluruh rentang spesies," sebut Alice R. Jones dan tim, dalam paper yang diterbitkan di jurnal Ecology and Evolution pada September 2021.
Pesan penting dari Kongres IUCN kali ini yakni menghilangnya spesies dan kehancuran ekosistem merupakan ancaman yang sejalan dengan perubahan iklim. Spesies yang terancam ini terutama hewan dan tumbuhan endemik yang hidup di pulau kecil atau di titik-titik keanekaragaman hayati tertentu.
Selain komodo, IUCN juga memasukkan banyak spesies hiu dan pari yang kini masuk dalam kategori terancam punah. Setidaknya 37 persen dari 1.200 spesies hiu dan pari yang dievaluasi secara langsung telah terancam punah. Lima spesies ikan hiu todak, yang moncong bergeriginya kerap tersangkut di alat tangkap nelayan dan hiu mako sirip pendek termasuk di antara yang paling terancam.
Namun pembaruan terbaru Daftar Merah untuk spesies terancam punah IUCN ini juga menyoroti potensi restorasi, di antaranya terjadi pada empat spesies tuna. Pemulihan paling spektakuler terlihat pada tuna sirip biru Atlantik, yang keluar dari status terancam punah. masuk ke zona aman (least concern).
"Ini menunjukkan konservasi berhasil, ketika kita melakukan hal yang benar, suatu spesies dapat membaik statusnya. Tapi kita harus tetap waspada. Ini tidak berarti kita bisa bebas menangkap semua spesies tuna ini," kata Jane Smart, Direktur Global Kelompok Konservasi Keanekaragaman Hayati IUCN.
Habitatnya mengecil
Evy mengatakan, komodo juga memiliki mekanisme untuk membatasi perkembangan populasi dengan kanibalisme. "Biasanya anak-anak komodo akan dimakan pejantannya dan yang bisa survive (bertahan hidup) hingga dewasa menjadi sedikit," kata dia.
Biasanya anak-anak komodo akan dimakan pejantannya dan yang bisa survive (bertahan hidup) hingga dewasa menjadi sedikit.
Selain perilaku alami, lanjut Evy, desakan manusia yang mengubah habitat komodo juga menjadi salah satu ancaman. Perubahan lahan dari savana yang menjadi tempat hidup rusa atau pakan komodo lain, menjadi ladang, juga bisa mendesak satwa tersebut.
Sejumlah kajian menunjukkan, fosil komodo dulu juga ditemukan di Pulau Flores bagian tengah, misalnya di Liang Bua, Kabupaten Manggarai. Penggalian arkeologi di Lembah Soa, Kabupaten Ngada juga ditemukan kelimpahan fosil komodo di masa lalu. Bahkan, fosil fauna ini juga ditemukan di Pulau Timor.
"Namun, sekarang komodo hanya ada di beberapa pulau kecil sekitar Flores, yang terbesar populasinya di Pulau Komodo dan Pulau Rinca dan beberapa pulau kecil lain, termasuk juga dulu ada di pesisir Pulau Flores," kata dia.
Dari hasil studi yang dilakukan Evy, keberadaan populasi komodo di Pulau Komodo dan Pulau Rinca yang berada di Taman Nasional Komodo variasi genetiknya masih cukup banyak, sehingga keberlangsungan populasinya dianggap masih relatif baik.
"Namun, populasi komodo yang dianggap rentan terutama di pulau-pulau kecil lain seperti Gili Motang dan Nusa Kode. Di pulau-pulau ini, karena populasinya sangat kecil terancam mengalami genetic drift, sehingga rentan terhadap penyakit dan kepunahan," kata Evy.
Oleh karena itu, perlu ada pendataan dan perlindungan terhadap komodo yang berada di luar wilayah konservasi Taman Nasional Komodo. "Harus ada upaya menuju ke sana, karena kalau yang dilindungi hanya di Taman Nasional Komodo akan berisiko," tuturnya.