Prevalensi Diabetes Meningkat Seiring Banyaknya Restoran Cepat Saji
Para peneliti menemukan kaitan antara ketersediaan restoran cepat saji yang mudah diakses warga dan penyakit diabetes tipe 2. Ini menunjukkan pentingnya mendorong peningkatan makanan sehat di restoran cepat saji.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
NEW YORK, JUMAT — Sebaran restoran cepat saji di lingkungan tempat tinggal ternyata memengaruhi tingkat penyakit metabolik. Sebuah studi berskala besar menunjukkan, di lingkungan dengan ketersediaan gerai makanan cepat saji yang lebih tinggi, prevalensi diabetes tipe 2 juga meningkat.
Temuan juga menunjukkan bahwa ketersediaan lebih banyak pasar atau supermarket yang menjual bahan makanan mentah bisa mengurangi risiko pengembangan diabetes tipe 2. Ini terutama di lingkungan pinggiran kota dan perdesaan.
Laporan studi yang ditulis Rania Kanchi dari Department of Population Health, NYU Langone Health, New York, dan tim ini dipublikasikan di JAMA Network pada Jumat (29/10/2021). Studi ini menggunakan data lebih dari 4 juta veteran yang tinggal di berbagai wilayah Amerika Serikat.
Para peneliti menghitung jumlah restoran cepat saji dan supermarket relatif terhadap gerai makanan lain untuk memeriksa hubungannya dengan prevalensi penyakit diabetes tipe 2 di empat jenis lingkungan yang berbeda. Lingkungan tersebut meliputi perkotaan dengan kepadatan tinggi, perkotaan dengan kepadatan rendah, pinggiran kota, dan perdesaan.
Semakin banyak pembuat kebijakan dapat bertindak dengan meningkatkan campuran pilihan makanan sehat yang dijual di restoran dan gerai makanan atau dengan menciptakan undang-undang zonasi yang lebih baik yang mempromosikan makanan yang optimal bagi penduduk.
”Sebagian besar penelitian yang meneliti lingkungan makanan buatan dan hubungannya dengan penyakit kronis jauh lebih kecil (sampelnya) atau dilakukan dalam skala lokal,” kata Kanchi.
Ia mengatakan, studi ini bersifat nasional dan memungkinkan peneliti untuk mengidentifikasi jenis komunitas tempat orang tinggal, mengarakterisasi lingkungan makanan mereka, dan mengamati apa yang terjadi pada mereka dari waktu ke waktu.
”Ukuran kohort kami memungkinkan generalisasi geografis yang tidak dilakukan di studi lain,” ujarnya.
Proses penelitian
Tim peneliti menggunakan data dari Administrasi Kesehatan Veteran AS yang mendata lebih dari 9 juta veteran yang terlihat di lebih dari 1.200 fasilitas kesehatan di seluruh negeri. Dengan menggunakan data ini, para peneliti kemudian membangun kohort nasional lebih dari 4 juta veteran tanpa diabetes dari catatan kesehatan elektronik (EHR) antara 2008 dan 2016. Status kesehatan setiap veteran diikuti hingga 2018 atau sampai individu tersebut mengembangkan diabetes dan meninggal.
Dalam masing-masing dari empat jenis lingkungan yang berbeda, proporsi restoran yang menjual makanan cepat saji, dan proporsi gerai makanan di supermarket ditabulasikan dalam jarak 1 mil atau sekitar 1,6 kilometer. Ini dengan asumsi jarak itu bisa diakses dengan berjalan kaki di lingkungan perkotaan berkepadatan tinggi serta perjalanan 2 mil atau 3,2 km di lingkungan perkotaan dengan kepadatan rendah. Adapun di pinggiran kota sejauh 6 mil dan di perdesaan 10 mil.
Veteran ini dipantau selama rata-rata lima setengah tahun. Selama waktu itu, 13,2 persen dari kohort baru didiagnosis mengalami diabetes tipe 2. Pria mengembangkan penyakit ini lebih sering daripada wanita, yaitu 13,6 berbanding 8,2 persen.
Orang dewasa kulit hitam non-Hispanik juga memiliki insiden tertinggi, yaitu 16,9 persen dibandingkan dengan kulit putih non-Hispanik 12,9 persen, nonkulit putih Asia dan Hispanik 12,8 persen, penduduk asli Hawaii dan Kepulauan Pasifik 15 persen, dan penduduk asli Amerika dan Indian Alaska 14,2 persen.
Ketika dikelompokkan berdasarkan tipe komunitas, veteran yang tinggal di komunitas perkotaan dengan kepadatan tinggi mengembangkan diabetes tipe 2 paling tinggi, yaitu 14,3 persen. Sementara insiden terendah adalah di antara mereka yang tinggal di komunitas pinggiran kota dan kota kecil sebesar 12,6 persen.
Dipengaruhi lingkungan
Secara keseluruhan, tim menyimpulkan bahwa pengaruh lingkungan makanan pada kejadian diabetes tipe 2 bervariasi menurut seberapa urban lingkungannya dan berapa banyak gerai makanan cepat saji.
”Semakin kita belajar tentang hubungan antara lingkungan, makanan, dan penyakit kronis seperti diabetes tipe 2, semakin banyak pembuat kebijakan dapat bertindak dengan meningkatkan campuran pilihan makanan sehat yang dijual di restoran dan gerai makanan atau dengan menciptakan undang-undang zonasi yang lebih baik yang mempromosikan makanan yang optimal bagi penduduk,” kata Lorna Thorpe, profesor di Departemen Kesehatan Penduduk di NYU Langone dan penulis senior studi tersebut.
Salah satu keterbatasan penelitian, menurut penulis, adalah bahwa penelitian ini mungkin tidak sepenuhnya dapat digeneralisasikan untuk populasi non-veteran karena veteran AS cenderung didominasi laki-laki dan memiliki beban kesehatan dan ketidakstabilan keuangan yang jauh lebih besar daripada penduduk sipil. Mereka juga berisiko lebih besar mengalami kecacatan, obesitas, dan kondisi kronis lainnya.
Tahap berikutnya dari penelitian, menurut Thorpe dan Kanchi, adalah untuk lebih memahami dampak lingkungan binaan pada risiko diabetes oleh subkelompok. Mereka berencana untuk memeriksa apakah hubungan antara restoran cepat saji, supermarket, dan tipe komunitas bervariasi menurut jenis kelamin, ras/etnis, dan status sosial ekonomi.