Sejumlah Makanan Cepat Saji di AS Mengandung Bahan Aditif Plastik
Dari sejumlah gerai makanan populer di Amerika Serikat, para peneliti menemukan aneka makanan cepat saji, seperti nugget, burger, dan piza, mengandung ftalat, bahan kimia berbahaya.
Oleh
Ichwan Susanto
·4 menit baca
Praktis dan cepat tersedia membuat aneka jenis makanan cepat saji menjadi idola dan pilihan bagi anak-anak, remaja, dan dewasa. Makanan ini tetap digemari meski sejumlah riset menunjukkan temuan kandungan garam, kolesterol, hingga kalori yang terlalu tinggi pada aneka makanan cepat saji.
Namun, bagaimana respons Anda bila makanan cepat saji itu ternyata juga mengandung bahan kimia seperti ftalat (phthalates)? Pada banyak literatur disebutkan dampak ftalat (bahan aditif untuk membuat plastik bersifat lentur) ini bila masuk ke dalam tubuh manusia bisa berdampak buruk bagi kesehatan, mulai dari berkurangnya kesuburan hingga gangguan pertumbuhan dan gejala gangguan mental (ADHD) pada anak.
Makanan cepat saji seperti nugget ayam, burrito, burger, dan piza yang mengandung ftalat serta sejumlah bahan kimia lain ini ditemukan di Amerika Serikat oleh para periset di George Washington University (GW). Mereka membeli makanan cepat saji dari gerai populer di sana dan menemukan 10 dari 11 bahan kimia dalam sampel yang berpotensi membahayakan tubuh.
Bahan kimia tersebut ftalat, grup bahan kimia industri yang biasa digunakan untuk membuat plastik bersifat lunak dan fleksibel. Ftalat pun dikenal luas bisa mengganggu sistem endokrin, jaringan kelenjar yang menghasilkan dan melepaskan hormon untuk mengontrol fungsi tubuh.
Sarung tangan penanganan makanan yang dikumpulkan dari restoran yang sama juga mengandung bahan kimia ini.
”Kami menemukan ftalat dan bahan pembuat plastik tersebar luas di makanan cepat saji yang tersedia di rantai makanan cepat saji AS, temuan yang berarti banyak konsumen mendapatkan bahan kimia berpotensi tidak sehat bersama dengan makanan mereka,” kata Lariah Edwards, penulis utama studi dan postdoctoral ilmuwan di GW, dalam siaran pers kampus itu, 27 Oktober 2021.
Ia merekomendasikan peraturan yang lebih kuat diperlukan untuk membantu menghindarkan bahan kimia ini dalam rantai pembuatan makanan. Hasil penelitian ini diterbitkan dalam Journal of Exposure Science & Environment Epidemiology pada hari yang sama.
Sebelumnya, tim peneliti GW yang dipimpin Ami Zota, profesor kesehatan kerja dan lingkungan, melihat konsumsi makanan cepat saji dalam survei nasional. Di situ, peneliti menemukan orang yang melaporkan makan lebih banyak makanan cepat saji memiliki tingkat ftalat yang lebih tinggi.
Saat itu, tidak ada yang melihat hubungan antara makanan cepat saji dan plastisiser (plasticiser yaitu bahan untuk membuat material bersifat lentur) non-ftalat, yang digunakan sebagai pengganti ftalat yang dilarang atau dibatasi dalam kemasan dan peralatan pemrosesan makanan.
Dalam penelitian ini, Edwards dan Zota serta rekan mereka membeli 64 makanan cepat saji dari berbagai restoran dan meminta tiga pasang sarung tangan penanganan makanan yang tidak digunakan. Tim menguji bahan makanan dan sarung tangan untuk 11 jenis ftalat dan plastisiser.
Dari situ, mereka menemukan sejumlah hal penting. Pertama, sejumlah 81 persen sampel makanan yang diteliti mengandung ftalat yang disebut DnBP dan 70 persen mengandung DEHP. Kedua bahan kimia ini telah dikaitkan dalam banyak penelitian dengan masalah kesuburan dan reproduksi pada manusia. Ftalat ini juga dapat meningkatkan risiko gangguan belajar, perhatian, dan perilaku di masa kanak-kanak.
Kedua, sejumlah 86 persen makanan mengandung plastisiser pengganti yang dikenal sebagai DEHT. Bahan kimia ini perlu dipelajari lebih lanjut untuk menentukan dampaknya terhadap kesehatan manusia.
Ketiga, makanan yang mengandung daging, seperti burger keju dan burrito ayam, memiliki tingkat bahan kimia yang dipelajari lebih tinggi. Keempat, burrito ayam dan burger keju memiliki tingkat DEHT tertinggi. Para peneliti mencatat bahwa sarung tangan penanganan makanan yang dikumpulkan dari restoran yang sama juga mengandung bahan kimia ini. Kelima, piza keju memiliki kadar paling rendah dari sebagian besar bahan kimia yang diuji.
Ftalat dan plastisiser pengganti merupakan bahan kimia yang digunakan untuk membuat plastik lunak dan dapat berpindah dari plastik ke dalam makanan, yang tertelan. Beberapa sumber plastik termasuk sarung tangan penanganan makanan, tabung industri, konveyor makanan, dan kemasan luar yang digunakan untuk membungkus makanan cepat saji yang tersedia di restoran.
Penelitian sebelumnya oleh tim Zota menunjukkan, orang yang mengonsumsi makanan yang dimasak di rumah memiliki kadar bahan kimia lebih rendah dalam tubuh mereka. Kemungkinannya, juru masak rumahan tidak menggunakan sarung tangan penanganan makanan atau kemasan plastik. Untuk menghindari bahan kimia industri ini, konsumen dapat beralih ke sebagian besar makanan yang dimasak di rumah, yang sering kali lebih sehat daripada makanan cepat saji, kata Edwards.
Baik Edwards maupun Zota mengatakan, riset mereka menunjukkan perlunya pengawasan lebih besar dan regulasi bahan kimia yang digunakan untuk membuat makanan. Mereka menunjukkan, plastisiser pengganti makin banyak digunakan untuk menggantikan ftalat yang dilarang atau dibatasi tetapi penelitian yang diperlukan untuk menunjukkan bahwa mereka aman belum dilakukan.
Studi ini juga menimbulkan kekhawatiran bahwa kelompok ras/minoritas tertentu mungkin terpengaruh secara tidak proporsional oleh bahan kimia ini. Karena itu, ia menyarankan agar ada penelitian tambahan untuk mengetahui apakah orang yang tinggal di gurun makanan seperti itu berisiko lebih tinggi terkena bahan kimia berbahaya ini.
”Lingkungan yang kurang beruntung sering memiliki banyak gerai makanan cepat saji, tetapi akses terbatas ke makanan sehat seperti buah-buahan dan sayuran,” kata Zota.