Pembangunan Berkelanjutan di Asia Terancam Krisis Iklim
Laporan WMO yang menyebut Asia titik panas 2020 menunjukkan berbagai ancaman yang telah dan akan melanda di kawasan ini, termasuk Indonesia. Pembangunan berkelanjutan yang telah dibangun menjadi tantangan.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
Asia merupakan titik panas dalam krisis iklim dengan tahun 2020 menjadi tahun terpanas sepanjang sejarah, bahkan lebih panas dibandingkan rata-rata global. Selain penyumbang emisi utama karena besarnya populasi dan pertumbuhan ekonomi, kawasan Asia juga termasuk paling rentan terdampak pemanasan global.
Ini terungkap dalam laporan terbaru Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dirilis pada Selasa (26/10/2021) secara khusus memotret kawasan ini. Laporan bertajuk ”Keadaan Iklim di Asia 2020” memaparkan bahwa Asia mengalami tahun terpanas dan serangkaian cuaca ekstrem pada tahun 2020. Fenomena ini menyebabkan hilangnya ribuan nyawa, jutaan orang telantar, dan kerugian ekonomi ratusan miliar dollar AS.
Laporan tentang iklim Asia 2020 ini memberikan gambaran tentang suhu daratan dan lautan, curah hujan, penurunan gletser, penyusutan es laut, kenaikan permukaan laut, dan cuaca buruk. Kajian ini pun memperlihatkan dampak sosial ekonomi pada tahun ketika penduduk di Asia juga berjuang melawan pandemi Covid-19, yang pada gilirannya memperumit penanganan bencana.
Di dalam laporan tersebut ditampilkan setiap bagian Asia terpengaruh, dari puncak Himalaya hingga daerah pesisir dataran rendah maupun dari kota-kota berpenduduk padat hingga gurun pasir dan dari Kutub Utara hingga laut Arab.
Dengan beragam fenomena ini, dikhawatirkan pembangunan berkelanjutan di Asia bakal terancam. Rangkaian kejadian ekstrem telah memicu kerawanan pangan dan air, risiko kesehatan, dan degradasi lingkungan. Laporan tersebut juga mengungkapkan total kerugian rata-rata tahunan akibat bahaya terkait iklim.
Jika digabungkan, sederet perubahan iklim ini berdampak signifikan pada pembangunan berkelanjutan jangka panjang, dan khususnya kemajuan menuju Agenda 2030 PBB dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Asia.
Sekretaris Eksekutif UNESCAP Armida Salsiah Alisjahbana mengatakan, di tengah pandemi, negara-negara sedang dilanda berbagai bencana dan harus menghadapi dampak perubahan iklim yang semakin merusak. Ia menyebut kurang dari 10 persen dari target SDGs berada di jalur yang akan dicapai pada tahun 2030.
”Yang paling mengkhawatirkan adalah tren kemunduran aksi iklim (Tujuan 13) dan kehidupan di bawah air (Tujuan 14): keduanya terkait dengan ketahanan bencana,” katanya.
Dalam peluncuran laporan tersebut, Sekretaris Jenderal WMO Petteri Taalas menyebutkan bahaya cuaca dan iklim, terutama banjir, badai, dan kekeringan, memiliki dampak yang signifikan di banyak negara di kawasan Asia. Dampaknya yaitu memengaruhi pertanian dan ketahanan pangan, berkontribusi pada peningkatan perpindahan dan kerentanan migran, pengungsi, dan orang telantar, memperburuk risiko kesehatan, dan memperburuk masalah lingkungan dan hilangnya ekosistem alam.
Musim hujan yang tidak biasa melanda Asia Timur dan hujan lebat di Asia Selatan terjadi selama musim kemarau.
Suhu rata-rata di Asia untuk tahun 2020 telah mencapai 1,39 derajat celsius di atas rata-rata 1981-2010. Rentang suhu ini berkisar 1,29 derajat celsius dan 1,55 derajat celsius. Suhu permukaan tanah, suhu permukaan laut, dan kandungan panas laut di wilayah tersebut menunjukkan tren pemanasan jangka panjang yang lebih besar daripada rata-rata global.
Dengan tren pemanasan ini, gletser di pegunungan tinggi Asia mengalami kehilangan massa dengan cepat. Luasan es laut minimum di wilayah ini pada tahun 2020 adalah yang terendah kedua sejak 1979.
Suhu permukaan laut rata-rata di Samudra Hindia, Samudra Pasifik, dan Samudra Arktik juga mencapai rekor tertinggi. Suhu permukaan laut dan pemanasan laut di dan sekitar Asia ini meningkat lebih dari rata-rata global, bahkan mencapai tiga kali lipat dalam kasus Laut Arab.
Kenaikan suhu permukaan laut di beberapa bagian Samudra Arktik juga mencapai tiga kali lipat dari rata-rata global selama periode 1982-2020. Laut Barents di Arktik utara, khususnya, diidentifikasi sebagai titik panas (hotspot) perubahan iklim, dengan hilangnya es laut pada gilirannya menyebabkan lebih banyak pemanasan laut.
Permukaan laut rata-rata global telah meningkat pada tingkat 3,3 milimeter per tahun sejak awal 1990-an. Samudra Hindia utara dan Samudra Pasifik barat laut mengalami kenaikan permukaan laut secara signifikan lebih tinggi dari rata-rata global.
Cuaca ekstrem
Deretan perubahan ini pada akhirnya telah memicu terjadinya cuaca yang semakin ekstrem. Musim hujan yang tidak biasa melanda Asia Timur dan hujan lebat di Asia Selatan terjadi selama musim kemarau. Situasi ini dikombinasikan dengan aktivitas siklon tropis yang semakin sering terjadi membawa banjir, tanah longsor, dan dampak sosial ekonomi.
Topan yang intens, hujan monsun, dan banjir melanda daerah yang sangat terbuka dan berpenduduk padat di Asia Selatan dan Asia Timur menyebabkan perpindahan jutaan orang di China, Bangladesh, India, Jepang, Pakistan, Nepal, dan Vietnam pada tahun 2020.
Topan Amphan, salah satu topan terkuat yang pernah tercatat, melanda wilayah Sundarbans antara India dan Bangladesh pada Mei 2020, menggusur 2,4 juta orang di India dan 2,5 juta orang di Bangladesh. Respons terhadap dampak Amphan menjadi lebih sulit dilakukan karena pembatasan mobilitas yang diberlakukan seiring terjadinya Covid-19.
Pada tahun 2020, banjir dan badai memengaruhi sekitar 50 juta orang di Asia dan mengakibatkan lebih dari 5.000 kematian. Dari sisi korban jiwa, jumlahnya berada di bawah rata-rata tahunan dalam dua dekade terakhir di mana 158 juta orang terkena dampak dan sekitar 15.500 kematian.
Hal ini menjadi bukti keberhasilan sistem peringatan dini di banyak negara di Asia, sekalipun demikian kerugian ekonomi akibat bencana cenderung meningkat. Siklon tropis, banjir, dan kekeringan menyebabkan perkiraan kerugian tahunan rata-rata beberapa ratus miliar dollar AS. China menderita sekitar 238 miliar dollar AS, diikuti oleh India sebesar 87 miliar dollar AS, Jepang dengan 83 miliar dollar AS, dan Korea Selatan 24 miliar dollar AS.
Namun, ketika ukuran ekonomi dipertimbangkan, kerugian tahunan rata-rata tertinggi dialami Tajikistan yang kehilangan 7,9 persen dari produk domestik bruto. Berikutnya, Kamboja kehilangan 5,9 persen dan Laos kehilangan 5,8 persen. Kerugian ekonomi tertinggi ini berhubungan dengan kekeringan.
Kekeringan, selain banjir, menjadi ancaman nyata bagi pertanian dan produksi pangan di Asia. Ini terlihat dari kemajuan ketahanan pangan dan gizi telah melambat. Pada tahun 2020, sebanyak 48,8 juta orang di Asia Tenggara, 305,7 juta di Asia Selatan, dan 42,3 juta di Asia Barat diperkirakan mengalami kekurangan gizi. Asia menyumbang lebih dari setengah dari total global kekurangan pangan.
Dampak sebenarnya dari Covid-19 terhadap ketahanan pangan dan gizi belum dapat dipastikan. Namun, dibandingkan dengan tahun 2019, jumlah orang kurang gizi pada tahun 2020 meningkat sebesar 6 persen di Asia Tenggara dan Asia Barat, dan sebesar 20 persen di Asia Selatan. Bencana terkait iklim ini jelas memperparah masalah.