Pandemi Covid-19 telah membalikkan capaian upaya eliminasi tuberkulosis selama ini. Target eliminasi tuberkulosis global pada 2030 pun terancam tidak tercapai.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 telah membalikkan kemajuan global selama bertahun-tahun dalam penanganan tuberkulosis atau TBC. Untuk pertama kalinya dalam lebih dari satu dekade, kematian akibat tuberkulosis meningkat.
Laporan Global Tuberkulosis tahun 2021 dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang dirilis pada Kamis (14/10/2021) menunjukkan, selama tahun 2020 lebih banyak orang meninggal karena penyakit TBC. Sekitar 1,5 juta orang telah meninggal karena TBC pada tahun 2020, termasuk 214.000 di antaranya orang HIV-positif.
Jumlah itu lebih tinggi dibandingkan korban jiwa akibat TB pada tahun 2019 yang sebesar 1,4 juta orang. Sebanyak 208.000 korban jiwa karena TB di tahun 2019 berstatus HIV-positif.
Laporan TBC tahun ini juga memperkirakan bahwa ada sekitar 4,1 juta orang saat ini yang menderita TBC, tetapi belum terdiagnosis atau belum secara resmi melaporkan kepada otoritas nasional. Angka ini naik dari 2,9 juta pada 2019.
”Laporan ini menegaskan ketakutan kami bahwa gangguan layanan kesehatan penting karena pandemi dapat menghancurkan kemajuan bertahun-tahun melawan tuberkulosis,” kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus.
Menurut Tedros, laporan tersebut harus menjadi peringatan global akan kebutuhan investasi dan inovasi untuk menutup kesenjangan dalam diagnosis, pengobatan, dan perawatan bagi jutaan orang yang terkena penyakit kuno, tetapi dapat dicegah dan diobati ini.
Laporan ini menyoroti tantangan pertama yang menyebabkan tingginya kematian akibat TB, yaitu gangguan akses ke layanan dan pengurangan sumber daya. Di banyak negara, sumber daya manusia, keuangan, dan sumber daya daya lainnya dalam penanganan TBC dialihkan untuk respons Covid-19 sehingga layanan TBC terganggu.
Tantangan berikutnya adalah bahwa orang-orang dengan TBC yang telah berjuang mencari perawatan terhambat kebijakan pembatasan atau karantina. Sebagian pasien TBC juga menunda ke rumah sakit karena takut dengan risiko Covid-19.
Laporan ini menegaskan ketakutan kami bahwa gangguan layanan kesehatan penting karena pandemi dapat menghancurkan kemajuan bertahun-tahun melawan tuberkulosis.
Tantangan dalam menyediakan dan mengakses layanan TBC esensial membuat banyak orang dengan TBC tidak terdiagnosis pada tahun 2020. Jumlah orang yang baru didiagnosis dengan TBC dan yang dilaporkan ke pemerintah turun dari 7,1 juta pada 2019 menjadi 5,8 juta pada 2020.
Layanan TB termasuk di antara banyak layanan yang terganggu oleh pandemi Covid-19 pada tahun 2020. Akan tetapi, dampaknya terhadap TBC sangat parah.
Peningkatan jumlah kematian akibat TBC terutama terjadi di 30 negara dengan beban penyakit TBC tertinggi. Proyeksi pemodelan WHO menunjukkan, jumlah orang yang terinfeksi TBC dan meninggal akibat penyakit ini bisa jauh lebih tinggi pada tahun 2021 dan 2022 akibat terjadinya underreporting.
Negara-negara yang paling berkontribusi terhadap penurunan global dalam diagnosis dan pelaporan kasus TBC antara 2019 dan 2020 adalah India (41 persen), Indonesia (14 persen), Filipina (12 persen), dan China (8 persen). Padahal, negara-negara ini dan 12 negara lainnya menyumbang 93 persen dari total penurunan global dalam pemberitahuan.
Selain itu, ada juga pengurangan dalam penyediaan pengobatan pencegahan TBC. Sekitar 2,8 juta orang pasien TBC mengakses obat ini pada tahun 2020, menurun 21 persen dibandingkan 2019. Selain itu, jumlah pasien TBC resisten obat yang mendapat pengobatan juga turun 15 persen dari 177.000 pada 2019 menjadi 150.000 pada 2020 atau setara dengan sekitar 1 dari 3 orang yang membutuhkan.
Dengan kata lain, pembalikan kemajuan yang sedang berlangsung menghambat upaya pencapaian target global eliminasi TBC. Meski demikian, ada beberapa keberhasilan. Secara global, penurunan jumlah kematian akibat TBC antara tahun 2015 dan 2020 hanya 9,2 persen, sekitar seperempat dari pencapaian tahun 2020 yang sebesar 35 persen.
Secara global, jumlah orang yang jatuh sakit akibat TBC setiap tahun (relatif terhadap populasi) turun 11 persen dari 2015 hingga 2020, lebih dari setengah dari pencapaian 2020 sebesar 20 persen.
Situasi di Indonesia
Indonesia saat ini menjadi negara dengan penderita tuberkulosis terbesar nomor dua di dunia setelah India. Indonesia menyumbang 8,5 persen dari seluruh kasus tuberkulosis di dunia.
Insiden baru kasus tuberkulosis di Indonesia mencapai 845.000 kasus per tahun, yang sebanyak 33.366 di antaranya tuberkulosis pada anak.
Bachti Alisjahbana, ahli penyakit dalam dari Universitas Padjadjaran, dalam kuliah inagurasinya sebagai anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) beberapa waktu lalu menyampaikan, upaya eliminasi tuberkulosis di Indonesia juga berjalan lambat jika dibandingkan negara lain.
Dalam kurun 19 tahun, Indonesia hanya bisa menurunkan insiden tuberkulosis dari 360 per 100.000 penduduk menjadi 314 per 100.000 penduduk. Sementara itu, Vietnam bisa menurunkan insiden dari 300 per 100.000 penduduk hingga 160 per 100.000 penduduk dalam waktu yang sama. Padahal, target kita adalah bisa menurunkan 65 per 100.000 penduduk kasus pada tahun 2030, sama dengan tingkat di Singapura saat ini.
Salah satu kendala terbesar di Indonesia adalah kelemahan dalam deteksi dini, selain pelaporan yang cenderung underreported atau di bawah dari situasi riil. Menurut Bachti, hingga tahun 2019 ada 33 persen kasus yang belum terlaporkan sehingga masih terus menularkan.