RUU Energi Baru Terbarukan Berpotensi Munculkan Tumpang Tindih Hukum
Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan dinilai banyak mengulang pasal-pasal yang sudah ada dalam undang-undang sebelumnya sehingga berpotensi memunculkan tumpang tindih hukum.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah makin gencarnya pembahasan Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan di DPR, sejumlah kelompok masyarakat sipil mencatat masih banyak pengulangan pasal-pasal yang sudah ada dalam undang-undang sebelumnya. Hal ini berpotensi memunculkan tumpang tindih hukum.
Deputi Program Lembaga Kajian Lingkungan Hidup Indonesia (ICEL) Grita Anindarini mengemukakan, penyusunan Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) harus dicermati dari kerangka regulasi yang ada. Sebab, dalam naskah akademiknya, RUU ini bertujuan untuk menciptakan kepastian hukum bagi pelaku usaha maupun masyarakat dalam pengembangan EBT.
”Tahun 2015-2019 rencana strategis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sudah memasukkan peraturan pemerintah tentang energi baru terbarukan. Di satu sisi ini akan baik karena dapat menguatkan regulasi, tetapi di sisi lain juga dikhawatirkan terjadi tumpang tindih hukum. Inilah yang kami temukan dalam beberapa pasal,” ujarnya dalam diskusi media secara daring, Jumat (8/10/2021).
Beberapa ketentuan yang berpotensi terjadi tumpang tindih aturan adalah tentang pembentukan badan pengawas, perizinan berusaha nuklir, penyimpanan limbah lestari, pembentukan majelis pertimbangan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN), serta penyediaan, pengusahaan, dan pemanfaatan nuklir. Semua ketentuan dalam RUU EBT tersebut sudah tertuang dalam Undang-Undang Ketenaganukliran, UU Cipta Kerja, dan UU Energi.
Kami melihat sebagian besar pasal yang ada dalam bab tentang nuklir justru pengulangan dari Undang-Undang Ketenaganukliran. Bahkan, beberapa juga sudah diubah dalam Undang-Undang Cipta Kerja.
Salah satu catatan ICEL dalam RUU EBT terkait dengan nuklir. ICEL melihat adanya komitmen politik yang sangat besar dalam pengembangan nuklir ke depan. Dalam RUU EBT, nuklir sangat diutamakan dalam pengembangan energi baru ke depan.
”Namun, kami melihat sebagian besar pasal yang ada dalam bab tentang nuklir justru pengulangan dari Undang-Undang Ketenaganukliran. Bahkan, beberapa juga sudah diubah dalam Undang-Undang Cipta Kerja,” katanya.
Contoh pengulangan pasal itu adalah tentang pengelolaan limbah nuklir. Dalam UU Ketenaganukliran, penyimpanan lestari limbah radioaktif tingkat tinggi disediakan oleh badan pelaksana. Dalam UU Cipta Kerja, tugas untuk menyediakan tempat penyimpanan lestari limbah diubah ada di pemerintah pusat. Ketentuan dalam UU Cipta Kerja tersebut kemudian muncul kembali secara persis dalam RUU EBT.
Menurut Grita, penyimpanan lestari limbah yang dibebankan pada pemerintah pusat akan memicu insentif yang sangat besar dalam pengembangan nuklir ke depan. Sebagai contoh, pembangunan tempat penyimpanan limbah radioaktif tingkat tinggi Onkalo di Finlandia menghabiskan biaya hingga 3,4 miliar dolar AS.
”Contoh lain di Amerika Serikat, pajak masih tetap dibayarkan untuk menanggung tempat penyimpanan limbah radioaktif dalam jangka waktu yang sangat lama meski PLTN sudah tidak beroperasi lagi. Insentif yang sangat besar untuk pengembangan nuklir inilah yang perlu diperhatikan,” katanya.
Gasifikasi batubara
Grita juga menekankan masih terdapat catatan dalam substansi energi baru dalam RUU EBT, khususnya gasifikasi batubara. Menurut Grita, gasifikasi batubara bukanlah solusi untuk Indonesia dalam mengatasi krisis iklim karena emisi yang dihasilkan masih lebih tinggi dari gas alam dan energi terbarukan. Emisi gasifikasi batubara hanya lebih rendah dari batubara konvensional.
”Tren kemudahan untuk energi batubara ini tidak hanya sekali ditemukan dalam RUU EBT. Sudah banyak regulasi yang memberikan kemudahan untuk pengembangan energi baru ini. Sebagai contoh, revisi UU Mineral dan Batubara dalam UU Cipta Kerja yang memberikan royalti 0 persen bagi pelaku usaha yang meningkatkan nilai tambah,” ucapnya.
Kemudahan energi baru batubara juga terlihat dalam kebijakan proyek strategis nasional seperti gasifikasi batubara di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, dan coal to methanol di Kutai Timur, Kalimantan Timur. Energi baru batubara bahkan mendapat beberapa kemudahan instrumen lingkugan hidup berupa relaksasi tata ruang dalam UU Minerba.
Manajer Kampanye Energi dan Perkotaan Walhi Nasional Dwi Sawung mengatakan, adanya ketentuan tentang gasifikasi batubara menunjukkan bahwa RUU EBT masih memberikan ruang pada energi fosil. Padahal, energi fosil sudah jelas memicu emisi yang tinggi.
”Tujuan gasifikasi di China itu untuk menekan harga. Sementara di Indonesia pasokan gasnya cukup, bahkan berlebih. Tahun ini saja gas PLN dari Jawa-Bali dilelang ulang karena kelebihan pasokan. Dari sisi lingkungan jelas tidak ada yang bisa diatasi dari RUU EBT ketika memasukkan ketentuan gasifikasi batubara,” tuturnya.
Manajer Program Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR) Deon Arinaldo menambahkan, untuk mencapai netral karbon pada 2050, Indonesia membutuhkan investasi energi terbarukan dalam jumlah besar dan tersebar di berbagai teknologi. RUU EBT seharusnya bertujuan untuk mendukung transisi energi ini.
”Proses transisi energi akan terhambat jika RUU ini memasukkan elemen energi baru di dalamnya. Dukungan dana yang terbatas, insentif, serta bantuan penelitian dan pengembangan ini seharusnya difokuskan kepada energi terbarukan,” tambahnya.