Potensi Energi Terbarukan di Wilayah Maluku Tinggi
Wilayah Maluku dan Maluku Utara memiliki potensi energi baru terbarukan mencapai 738 gigawatt yang berasal dari energi surya, air, angin, dan biomassa. Namun, potensi ini belum dimanfaatkan secara optimal.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wilayah Maluku dan Maluku Utara memiliki potensi energi baru terbarukan yang cukup tinggi, yaitu 738 gigawatt, yang berasal dari energi surya, air, angin, dan biomassa. Namun, potensi ini belum dimanfaatkan secara optimal.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyampaikan, berdasarkan kajian yang dilakukan IESR, potensi teknis energi surya di Maluku dan Maluku Utara 721 gigawatt (GW), energi air 1,5 GW, dan biomassa 75 megawatt. Sementara untuk potensi energi angin dapat mencapai 15,5 GW di ketinggian 50 meter dan 15,9 GW di ketinggian 100 meter.
”Kami menghitung potensi energi terbarukan di Maluku dan Maluku Utara sebesar 738 gigawatt. Artinya, terdapat potensi besar yang dapat dikembangkan untuk menjadikan wilayah Maluku sebagai renewable super power atau mandiri secara energi,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Cegah Krisis Iklim dengan Energi Bersih”, Rabu (29/9/2021).
Menurut Fabby, diperlukan sistem penyimpanan energi jika ingin memanfaatkan energi terbarukan khususnya dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). IESR mengkaji bahwa penyimpanan energi dengan jenis hidro pompa dapat menyimpan energi sebesar 399 GW per jam dari potensi PLTS di Maluku dan Maluku Utara.
Indonesia juga perlu lebih banyak berperan memanfaatkan potensi karbon biru.
Fabby mengatakan, solusi untuk menghadapi krisis iklim adalah dengan cara mentransformasi sistem energi. Sebab, saat ini dunia telah menghasilkan 40 giga ton emisi gas rumah kaca setiap tahun dan sumber terbesar berasal dari sektor energi, industri, serta transportasi.
”Untuk mencegah kenaikan temperatur global di atas 1,5 derajat celsius, maka mayoritas cadangan bahan bakar fosil tidak boleh terus diekstraksi. Indonesia masih memiliki cadangan batubara, tetapi cadangan ini harus tetap di bawah tanah,” tuturnya.
Laporan terbaru dari Badan Energi Internasional (IEA) menyebutkan, untuk mencapai netral karbon pada tahun 2050 secara global perlu transformasi pada cara pembangkitan, transportasi, dan pemanfaatan energi. Salah satu upaya yang direkomendasikan IEA adalah setiap negara perlu meninggalkan pembangkit listrik tenaga batubara dan beralih ke energi baru terbarukan (EBT).
Sementara kajian IESR juga menunjukkan bahwa secara teknis dan ekonomis, Indonesia dapat mencapai dekarbonisasi di sektor kelistrikan sebelum 2050 tentu dengan upaya ekstra. Indonesia harus mengoptimalkan potensi sumber daya energi terbarukan untuk mengganti energi fosil. Upaya ini memang membutuhkan investasi yang besar tetapi pada akhirnya Indonesia akan mendapatkan harga energi yang jauh lebih kompetitif.
Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim (DPPPI) Sarwono Kusumaatmadja mengatakan, pencapaian penurunan emisi Indonesia sudah dinilai oleh Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC). Hasil penilaian menunjukkan bahwa negara-negara di dunia termasuk Indonesia kurang melakukan upaya yang lebih ambisius dalam menurunkan emisi di bidang energi.
”Sementara prestasi Indonesia dalam menurunkan emisi di bidang lain, seperti kehutanan, sudah cukup baik, terutama mengurangi deforestasi atau memelihara hutan. Prestasi kita dalam mengatasi kebakaran hutan dan lahan juga cukup konsisten sejak 2015,” katanya.
Selain meningkatkan target yang lebih ambisius untuk penggunaan EBT, kata Sarwono, Indonesia juga perlu lebih banyak berperan memanfaatkan potensi karbon biru. Perairan yang masuk segitiga terumbu karang merupakan wilayah di Indonesia yang memiliki potensi karbon biru tinggi.
Agar potensi ini dapat dimanfaatkan dengan baik, Sarwono mendorong agar semua pihak terus meningkatkan intensitas studi atau kajian beserta daya jangkaunya di kawasan Indonesia timur seperti Maluku. Sebab, kawasan Indonesia timur sampai saat ini masih dipandang sebagai daerah yang tertinggal. Padahal, kawasan tersebut bisa menjadi sumber kemakmuran jika dikembangkan dengan paradigma baru.
Komitmen Indonesia
Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Chrisnawan Anditya menegaskan komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi di sektor energi. Komitmen ini ditunjukkan dengan sejumlah upaya mulai dari peningkatan pemanfaatan energi baru terbarukan, pengurangan energi fosil, peralihan kendaraan listrik, hingga penangkapan dan penyimpanan karbon (CSS).
Chrisnawan mengakui bahwa transisi energi di Indonesia saat ini menemui sejumlah tantangan, seperti ketergantungan energi fosil, khususnya batubara, yang masih tinggi. Di sisi lain, pemanfaatan EBT sebagai sumber energi ramah lingkungan masih rendah dan belum optimal. Padahal, Kementerian ESDM mencatat potensi EBT Indonesia mencapai 648 GW.
Dalam lima tahun terakhir, kapasitas pembangkit listrik EBT mengalami peningkatan dengan rata-rata 4 persen per tahun atau total 1.478 megawatt. Sementara sejak Januari-Juni 2021, tambahan kapasitas pembangkit listrik EBT sebesar 172 megawatt.
”Saat ini Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan sedang melihat opsi untuk dapat mempercepat early retirement (penghentian dini) PLTU batubara. Kami sudah mengidentifikasi dan terdapat 12 sampai 19 PLTU yang bisa dilakukan early retirement, tetapi ini membutuhkan dukungan internasional khususnya isu terkait aset,” katanya.