Menu makanan yang tersaji di piring kita sehari-hari membawa jejak karbon dari proses produksinya. Besar-kecil jejak karbon yang menjadi pilihan kita itu menentukan keberlangsungan bumi.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
Perubahan iklim telah mengancam ketersediaan pangan global. Sebaliknya, apa yang kita makan bakal berdampak terhadap iklim. Setiap makanan yang kita konsumsi memiliki jejak karbon dan pilihan menu kita bisa sangat menentukan masa depan kehidupan di bumi.
Produksi pangan global bertanggung jawab atas sepertiga dari semua emisi gas rumah kaca (GRK) yang disebabkan aktivitas manusia. Temuan di jurnal Nature Food edisi September 2021 menyebutkan, seluruh sistem produksi pangan, seperti penggunaan mesin pertanian, penyemprotan pupuk, dan pengiriman produk, menyebabkan 17,3 miliar metrik ton GRK per tahun. Jumlah pelepasan yang sangat besar ini mewakili 35 persen dari semua emisi global.
Dari total emisi sektor pangan ini, sebanyak 57 persen berasal dari produksi makanan hewani, sedangkan makanan nabati menyumbang 29 persen. Daging sapi saja menyumbang seperempat dari emisi di sektor pangan. Sisanya berasal dari penggunaan lahan lain, seperti kapas atau karet.
Ini berarti, semakin Anda doyan mengonsumsi pangan hewani, semakin besar emisi karbon yang dilepaskan. Jadi, pilihan menu makan kita bisa sangat menentukan masa depan kehidupan di bumi.
China, India, dan Indonesia memiliki emisi produksi pangan nabati tertinggi. Ini, sekali lagi, terkait dengan pertanian padi serta populasi besar yang menciptakan permintaan makanan yang tinggi.
Hewan ternak membutuhkan banyak lahan, yang umumnya didapatkan melalui penebangan hutan, serta area tambahan yang luas untuk menanam pakan. Penelitian yang dipimpin Xiaoming Xu dari University of Illinois tersebut menghitung bahwa sebagian besar lahan pertanian dunia digunakan untuk memberi makan ternak, bukan manusia. Ternak juga menghasilkan GRK kuat berupa metana (CH4) dalam jumlah besar.
Xu dan tim menghitung, perbedaan emisi antara produksi daging dan tanaman sangat mencolok. Misalnya, untuk menghasilkan 1 kilogram (kg) gandum, dikeluarkan 2,5 kg GRK, sedangkan untuk memproduksi 1 kg daging sapi mengeluarkan 70 kg emisi. Sumber emisi terbesar di antara produk hewani setelah daging sapi adalah susu sapi, daging babi, dan daging ayam.
Kita mungkin tidak bisa memaksa orang agar menjadi vegetarian. Namun, jika orang khawatir tentang perubahan iklim, mereka harus secara serius mempertimbangkan untuk mengubah kebiasaan makan mereka demi keberlangsungan kehidupan di bumi.
Tidak semua tanaman memiliki jejak karbon yang kecil. Padi sawah mengeluarkan sekitar 30 kg emisi untuk memproduksi 1 kg beras, sumber emisi terbesar di antara sumber pangan pokok. Setelah beras, emisi tertinggi yang terkait dengan produksi tanaman berasal dari gandum, tebu, dan jagung.
Tingginya emisi dari tanaman padi sawah ini terutama disumbangkan oleh proses dekomposisi anaerobik bahan organik di sawah yang tergenang yang bisa menghasilkan metana, sedangkan padi ladang memiliki jejak karbon jauh lebih kecil. Jejak karbon dari produksi padi sawah juga bisa lebih dari 10 kali lipat dibandingkan dengan produksi singkong dan ubi yang bisa ditanam di lahan kering.
Adapun kontribusi dari masing-masing wilayah, Asia Selatan dan Asia Tenggara merupakan penghasil emisi GRK teratas secara keseluruhan yang terkait dengan produksi pangan dan satu-satunya wilayah tempat emisi nabati lebih tinggi daripada emisi hewani karena penanaman padi.
Di antara negara-negara ini, China, India, dan Indonesia memiliki emisi produksi pangan nabati tertinggi. Ini, sekali lagi, terkait dengan pertanian padi serta populasi besar yang menciptakan permintaan makanan yang tinggi, yang mendorong lebih banyak konversi lahan menjadi produksi pertanian.
Namun, karena populasinya yang besar, daerah-daerah ini mencatatkan emisi produksi per kapita yang relatif rendah. Emisi per kapita tertinggi dan emisi regional tertinggi kedua secara keseluruhan dari sektor pangan ditemukan di Amerika Selatan karena produksi dagingnya yang relatif besar, terutama daging sapi. Amerika Utara memiliki emisi produksi per kapita tertinggi kedua, diikuti oleh Eropa.
Timbal balik
Hubungan antara iklim dan pangan merupakan relasi yang timbal balik dan manusia memegang peran kuncinya. Studi terpisah oleh Matti Kummu dari Aalto University, Finlandia, dan tim di jurnal One Earth pada Mei 2021 menyebutkan, sepertiga dari produksi pangan global akan terancam pada akhir abad ini jika emisi GRK terus meningkat.
Dengan tren sekarang, suhu bumi bisa lebih tinggi 3,7 derajat celsius pada akhir abad ini dibandingkan tahun 1850. Sebagaimana ditulis Kummu, hanya jika emisi GRK berkurang dan dunia memenuhi tujuan dari Persetujuan Paris (Paris Agreement), untuk membatasi kenaikan suhu maksimal 1,5 derajat celsius atau 2 derajat celsius, produksi pangan global yang terancam bakal mencapai 5-8 persen.
Padahal, laporan terbaru United in Science 2021 menyebutkan, suhu bumi telah mencapai 1,06-1,26 derajat celsius lebih panas dibandingkan rerata tahun 1850-1900 dan diperkirakan bakal melewati titik kritis 1,5 derajat celsius dalam lima tahun ke depan. Melewati ambang ini, akan membawa konsekuensi bencana bagi manusia dan planet tempat kita bergantung (Kompas, 21/9/2021).
Kembali ke soal pangan, sekalipun hal ini bukan satu-satunya sektor yang berkontribusi terhadap krisis iklim, hal itu menjadi salah satu ujian nyata kepedulian terhadap planet ini di level individu. Kita bisa memicu krisis iklim menjadi lebih parah dengan pilihan menu pangan keliru seperti diet tinggi daging.
Bahkan, jika Anda enggan menyelamatkan planet, mengurangi konsumsi daging dan memperbanyak protein nabati dan ikan sebenarnya juga baik bagi kesehatan tubuh.