Ancaman terendamnya Jakarta dan kota-kota lain di pantai utara Jawa terutama dipicu oleh penurunan tanah. Kondisi itu terjadi karena kesalahan perencanaan tata ruang dan tata kelola lingkungan.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penurunan tanah menjadi ancaman utama yang bisa menyebabkan terendamnya Jakarta dan kota-kota lain di pantai utara Jawa. Kenaikan muka air laut akibat pemanasan global menambah ancaman itu.
”Sesuai dengan data IPCC, kenaikan air laut secara global rata-rata 3,6 mm per tahun. Ini kenaikan muka air laut secara akumulatif dari berbagai penyebab,” kata peneliti iklim Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang juga Wakil Ketua Kelompok Kerja I Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Edvin Aldrian, dalam diskusi daring tentang ”Ancaman Tenggelamnya Kota Pesisir Pantai Utara Jawa”, Kamis (16/9/2021).
Sesuai laporan IPCC atau Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim tahun 2021, kawasan Asia Tenggara akan mengalami dampak kenaikan muka air laut yang lebih parah dibandingkan dengan daerah lain. ”Hilangnya wilayah pesisir dan kemunduran garis pantai di Asia Tenggara telah diamati pada 1984-2015,” katanya.
Meski demikian, lanjut Edvin, dibandingkan kenaikan muka laut, masalah yang dihadapi Jakarta dan kota-kota lain di utara Jawa terutama disebabkan oleh penurunan tanah. ”Kontribusi penurunan tanah di Jakarta sangat besar,” ungkapnya.
Edvin mengatakan, kenaikan muka laut dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Di antaranya karena ekspansi air laut akibat kenaikan suhu muka laut, perubahan salinitas air laut, serta pencairan es di daratan dan gletser di Kutub Selatan, kawasan Greenland, dan Himalaya. Sementara penurunan tanah disebabkan penggunaan air tanah yang berlebihan. ”Biasanya karena terlalu banyak air yang dipompa untuk keperluan sehari-hari,” ujar Edvin.
Peneliti Ahli Utama Bidang Teknologi Penginderaan Jauh BRIN, Rokhis Khomarudin, mengatakan, penurunan muka tanah terjadi di kota-kota di pantai utara Jawa, bahkan yang terparah bukan di DKI Jakarta. Berdasarkan pemantauan citra satelit, penurunan di Jakarta 0,1-8 cm (sentimeter) per tahun, Cirebon 0,3-4 cm per tahun, Pekalongan 2,1-11 cm per tahun, Semarang 0,9-6 cm per tahun, dan Surabaya 0,3-4,3 cm per tahun.
Dibandingkan dengan kenaikan muka laut, masalah yang dihadapi Jakarta dan kota-kota lain di utara Jawa terutama disebabkan oleh penurunan tanah.
Selain pengambilan air tanah, penurunan tanah di Pekalongan juga dipicu oleh hilangnya beting gesik karena dipakai tambak. ”Penurunan tanah di Jakarta sudah banyak diperhatikan, tapi daerah lain belum. Padahal, Pekalongan juga lebih parah. Ini kota yang robnya meluas, bahkan sudah masuk ke perkotaan. Kadang-kadang tidak ada hujan bisa banjir,” ungkapnya.
Peneliti Ahli Utama BRIN Eddy Hermawan juga sepakat, penurunan tanah merupakan kontributor besar yang menyebabkan Jakarta dan kota-kota lain di utara Jawa bisa terendam air laut. ”Cirebon, Pekalongan, Semarang, dan Surabaya adalah kota-kota pesisir utara Jawa yang paling rawan terhadap penurunan tanah ekstrem hingga tahun 2050,” katanya.
Kondisi morfologi daerah pesisir yang relatif datar membuat hampir seluruh aktivitas pembangunan infrastruktur jalan dan perekonomian dipusatkan di utara Jawa. Ini membuat beban tanah karena bangunan dan penyedotan atas penggunaan air tanah menjadi lebih intensif dibandingkan dengan wilayah lain. ”Untuk itu, upaya mitigasi dengan kebijakan penggunaan air tanah, penanaman mangrove, dan pencegahan perusakan lingkungan harus segera dilakukan,” ujarnya.
Tata kelola lingkungan
Menyoroti permasalahan ini, Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Universitas IPB Hariadi Kartodihardjo mengatakan, ancaman yang kini dihadapi Jakarta dan kota-kota di utara Jawa tidak bisa dilepaskan dari kesalahan dalam perencanaan tata ruang dan tata kelola lingkungan.
”Selama ini tata ruang mengikuti kehendak pasar (market) dan sarat kepentingan pihak tertentu. Pemerintah harus memiliki manajemen risiko bencana untuk mewujudkan konsistensi keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan hidup,” katanya.
Menurut Hariadi, perubahan iklim merupakan isu global yang kebijakan mitigasinya harus disusun dan ditaati oleh pemerintah pusat dan daerah dengan melibatkan semua lapisan masyarakat. ”Dengan demikian, semua orang mempunyai tanggung jawab yang sama untuk mengimplementasikan aksi atau gerakan sosial dan adaptasinya untuk meminimalkan risiko bencana,” tuturnya.
Utusan Khusus Gubernur DKI Jakarta untuk Perubahan Iklim Irvan Pulungan mengatakan, ekstraksi air tanah memang sangat masif, terutama di wilayah industri. ”Sidak (inspeksi mendadak) menemukan sumur ekstraksi air, bukan hanya tidak berizin, tapi siluman,” katanya.
Selain upaya penertiban, menurut Irvan, layanan air ke publik juga ditingkatkan agar tidak lagi memakai sumur bor. ”Melalui Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 57 Tahun 2021, Pemprov DKI Jakarta memberikan subsidi air bersih untuk mendorong terwujudnya perluasan layanan air bersih bagi warga Jakarta yang pada akhirnya dapat membantu mengurangi penggunaan air tanah yang mengakibatkan penurunan muka tanah di Jakarta,” ujarnya.
Hariadi menekankan, pemerintah daerah memegang peranan penting untuk menyusun kebijakan perencanaan pembangunan. ”Pemda bisa mengintervensi proyek pembangunan di daerah pesisir pantai. Intervensi ini penting untuk mencegah kerusakan lingkungan. Selain itu, pemda perlu menginformasikan kepada semua pemangku kepentingan tentang faktor pendukung pencegahan kerusakan lingkungan, seperti penggunaan air tanah dan sistem drainase yang baik.”
Menanggapi kebijakan Pemda DKI Jakarta, Hariadi juga mengingatkan pentingnya indikator kinerja yang dapat diawasi oleh akademisi, LSM, media massa, dan masyarakat. ”Kebijakan pemda akan lebih efektif jika mendapatkan pengawasan dari masyarakat. Partisipasi aktif masyarakat bisa memberikan solusi yang efektif untuk tata ruang perkotaan,” katanya.