Perubahan Iklim Akan Picu Semakin Banyak Pengungsi Lingkungan
Perubahan iklim akan membuat masyarakat pesisir kehilangan tempat tinggal dan mata pencarian. Ke depan, jika tidak ada upaya mitigasi dan adaptasi, jumlah pengungsi ekologis akan semakin banyak .
Peradaban kota-kota di Indonesia bermula dari pesisir pantai. Bermula dari pelabuhan dagang dengan pusat keramaian ada di sekitar pesisir pantai. Dalam perkembangannya, membentuk kawasan permukiman yang berkembang menjadi kota.
Pengendapan lumpur di tepi pantai (akresi) mengubah garis pantai kota sehingga luasan kota semakin lebar ke laut. Kota-kota besar pesisir seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya berkembang di atas dataran aluvial yang landai sebagai muara beberapa sungai.
Dalam perkembangannya dataran rendah yang menempati tanah lunak ini semakin padat oleh aktivitas penduduk. Lahan pesisir disesaki oleh fungsi lahan permukiman, industri, dan komersial. Area rawa dan hutan bakau pun ikut beralih fungsi menjadi permukiman ataupun industri.
Pertambahan penduduk juga tidak diimbangi dengan ketersediaan air perpipaan oleh PDAM. Data Badan Peningkatan Penyelenggaraan Sistem Penyediaan Air Minum (BPPSPAM) menunjukkan, pemenuhan air minum di kota-kota di pantura baru sekitar 40-60 persen. Inilah yang membuat penduduk kota lebih banyak menggunakan air tanah dibandingkan air perpipaan.
Eksploitasi air tanah, kompaksi alamiah dataran alluvial, serta adanya beban berat infrastruktur fisik, mengakibatkan penurunan tanah di wilayah pesisir. Penurunan tanah ini semakin memperparah kondisi kota-kota pesisir saat ada ancaman kenaikan air laut akibat dampak perubahan iklim.
Penurunan tanah ini menurut Heri Andreas, pakar Geologi ITB, lajunya 20 kali lipat dibandingkan kenaikan muka laut. Adapun kenaikan air laut di Indonesia rata-rata 6 mm per tahun.
Penelitian Heri Andreas tersebut menyebutkan, kota besar di pantura seperti Semarang, Jakarta mengalami penurunan hingga 15 cm per tahun. Adapun kota di pesisir timur Sumatera dan pesisir selatan Kalimantan, lebih rendah, yakni 3-8 cm per tahun.
Dengan berkonsentrasinya penduduk di kota-kota besar pesisir, kenaikan air laut dan penurunan muka tanah akan semakin meningkatkan potensi munculnya para migran lingkungan atau pengungsi ekologis di masa depan.
Kota besar di pantura seperti Semarang, Jakarta mengalami penurunan hingga 15 cm per tahun. Adapun kota di pesisir timur Sumatera dan pesisir selatan Kalimantan, lebih rendah, yakni 3-8 cm peer tahun.
United States Agency for International Development (2017) dikutip dari publikasi BPS ”Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir 2020” menyebutkan, ancaman gelombang ekstrem, banjir rob, dan abrasi harus dihadapi 42 juta penduduk Indonesia yang tinggal kurang dari 10 meter di atas permukaan laut
Pengungsi lingkungan
Ancaman kenaikan muka air laut ini nyata. Beberapa desa di pesisir utara Demak tenggelam. Penghuninya perlahan pergi meninggalkan desa, mencari tempat tinggal yang lebih aman. Meski demikian, ada juga yang masih bertahan.
Kajian KIARA mengenai ”Dampak Kenaikan Air Laut di Pesisir Indonesia” menyebutkan, ada lima desa yang tenggelam di Kabupaten Demak. Dimulai dari Desa Tambaksari yang tenggelam pertama kali tahun 1997. Sebelumnya, tercatat sebanyak 70 keluarga mendiami desa ini dan tersisa 10 keluarga yang masih bertahan pada 2019.
Selanjutnya, Desa Senik yang dihantam abrasi sejak tahun 2000. Sebanyak 300 keluarga dari desa ini menerima ganti rugi sebesar Rp 1 juta per keluarga melalui Proyek Bedol Desa (2000-2005). Hingga tahun 2019 menurut penjelasan Parid Ridwanudin, Deputi Pengelolaan Pengetahuan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) tersisa 1 keluarga yang bertahan tinggal.
Desa Bedono mulai dihantam abrasi sejak 2005, kemudian menyusul Desa Mondoliko dan terakhir Desa Timbulsloko. Sejak 2015 tercatat 101 hektar luas wilayah desa Timbulsloko mulai terendam dan terus berlangsung hingga hari ini.
Di pesisir utara Kabupaten Bekasi ada satu kampung yang tenggelam. Kampung Enclek, bagian dari Desa Pantai Bahagia, perlahan daratannya berkurang. Awalnya kampung di ujung utara Desa Pantai Bahagia tersebut dihuni 20 keluarga, tapi sekarang hanya tersisa satu keluarga, yakni Saman (76) dan Ocah, istrinya.
Penduduk Desa Pantai Bahagia dari data BPS Kabupaten Bekasi 2019 pun berkurang hingga 20 persen atau 1.515 jiwa dibandingkan tahun 2014 lalu
Masyarakat desa Senik, Bedono, Mondoliko, Timbulsloko, dan Kampung Enclek yang bermigrasi keluar desanya tersebut merupakan bagian dari environmental migration. Menurut penjelasan Parid, ke depan akan lebih banyak pengungsi ekologis yang diprediksi akan lebih banyak dari pengungsi perang.
Enviromental migration atau migrasi yang dilakukan karena degradasi lingkungan menurut laman enviromentalmigration adalah masyarakat yang harus meninggalkan rumah atau memilih untuk pindah karena kondisi lingkungan yang memengaruhi kehidupannya.
Migrasi tersebut, sifatnya bisa pindah sementara ataupun permanen. Lokasi kepindahan pun bisa antar daerah, bahkan antar negara.
Kerentanan sosial
Kompas melakukan kajian kerentanan sosial terhadap 21 kota pesisir melalui data simulasi kenaikan muka laut tahun 2050 dari Lembaga Climate Central. Hasilnya, 8,6 juta jiwa bakal terdampak dari wilayah huniannya yang akan tenggelam. Sebanyak 8,6 juta jiwa tersebut berpotensi melakukan migrasi ke lain tempat.
Penduduk terdampak terbanyak ada di Kota Banjarmasin. Hampir 85 persen penduduknya akan terdampak jika terjadi kenaikan air laut dan banjir pasang pada 2050 mendatang.
Air pasang laut masuk ke Kota Banjarmasin masuk melalui Sungai Barito dan Sungai Martapura yang mengalir masuk ke kota melalui anak-anak sungainya. Genangan semakin luas saat terjadi penurunan tanah di Banjarmasin.
Dampak yang ditimbulkan memang tidak langsung, tapi perlahan-lahan menimbulkan kerugian ekonomi. Apalagi Banjarmasin juga menghadapi banjir kiriman dari hulu.
Banjir awal tahun lalu adalah contohnya. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, 14.785 KK dan 47.519 jiwa terdampak banjir yang menggenangi kota dua minggu tersebut. Kerugian ekonomi saat itu tercatat di BNPB mencapai Rp 269 miliar.
Upaya antisipasi sudah dilakukan pemkot berupa pengerukan serta pembersihan aliran sungai yang mengalami pendangkalan. Namun, Pemkot Banjarmasin memerlukan bantuan anggaran untuk membangun tanggul, rumah pompa, dan pintu air untuk upaya adaptasi banjir rob lebih lanjut.
Bagaimana dengan Jakarta? Tahun 2050 nanti diperkirakan 46 persen atau 4,5 juta jiwa warga Jakarta huniannya bakal terendam.
Hasil simulasi menunjukkan, seluruh wilayah Jakarta Utara akan tergenang banjir rob, termasuk kawasan reklamasi. Genangan diperkirakan juga akan sampai di Jakarta Pusat hingga Bundaran HI. Di sisi Barat, genangan akan sampai batas Jalan Tol Kebon Jeruk dan di sisi timur, hingga Pulogadung Trade Centre.
Meski hanya separuh kota Jakarta yang akan terendam, hal itu akan tetap mengacaukan sistem perkotaan Jakarta. Apalagi, pusat perekonomian mayoritas berlokasi di sisi utara Jakarta.
Kondisi sekarang ada beberapa bagian wilayah utara Jakarta yang setiap hari dilanda genangan rob. Di antaranya, Blok Empang, Muara Angke Kampung, yang terletak di muara Kali Adem tersebut setiap malam kebanjiran.
”Air mulai naik habis maghrib. Kadang-kadang malam sampai pagi. Pukul 03.00-an turun,” cerita Danisem (48), yang sehari-hari bekerja sebagai pengupas kerang.
Di sisi utara lainnya, tepatnya di Kampung Pojok Muara Baru, ibu Yanti (37) berkisah. Setiap sore, rumahnya yang berada di samping tanggul laut Muara Baru, Pluit, juga terendam. ”Ini karena tanggul bocor, tiap sore rumah saya terendam,” ceritanya.
Danisem dan Yanti memilih bertahan di tempat tinggalnya sekarang. Namun, mereka berharap ada upaya penanganan dari pemerintah, seperti pembuatan tanggul atau rumah panggung di Blok Empang dan rumah susun di Muara Baru.
Kisah penduduk yang terdampak banjir rob juga ada di Semarang. Dari hitungan Kompas, Semarang masuk dalam kerentanan sedang. Tahun 2050 nanti, diperkirakan akan ada 18 persen atau 313.642 jiwa penduduk yang terdampak.
Kondisi sekarang, ada beberapa kampung, seperti Tambak Lorok dan Bandarharjo, yang setiap hari dilanda banjir rob. Warga di dua kampung tersebut masih bertahan dengan meninggikan rumah dan secara periodik karena mayoritas bekerja sebagai nelayan.
Namun, ke depan saat air terus meninggi, mereka bisa jadi akan bermigrasi, seperti warga Desa Bedono dan Timbulsloko, Demak.
Makin banyak
Saat ini bencana hidrometeorologis berdasarkan data Internal Displacement Monitoring Centre (IDMC)—lembaga nonprofit yang menjadi bagian dari lembaga PBB yang menangani pengungsi—menjadi faktor penyebab terbesar manusia kehilangan tempat tinggal secara global, termasuk di Indonesia. Untuk tahun 2020, bencana tersebut secara umum lebih banyak membuat manusia kehilangan rumah (30,7 juta orang) ketimbang konflik dan kekerasan (9,8 juta orang).
Direktur Jenderal International Organization for Migration (IOM) 2008-2018, lembaga PBB di bidang migrasi, William L Swing menyebut bahwa selama 30 tahun terakhir, jumlah kejadian badai, kekeringan, dan banjir telah meningkat tiga kali lipat. Jumlah orang yang terdampak bencana ini kini juga sudah meningkat dua kali lipat; 1,6 miliar orang dibandingkan 718 juta.
Data IDMC pun menunjukkan bahwa selama satu dekade terakhir (2011-2020); dari 5,3 juta orang di Indonesia yang kehilangan rumahnya akibat bencana, sebanyak 3,6 juta atau 68 persennya akibat bencana yang berhubungan dengan cuaca seperti banjir, badai, dan tanah longsor. Sisanya 1,7 juta (32 persen) akibat bencana geofisika seperti gempa bumi dan erupsi gunung berapi.
Dalam laporan IOM tahun 2015 berjudul ”Migration, Environment, and Climate Change”, bencana yang berjalan lambat (slow-onset disaster)—seperti kenaikan air laut dan degradasi air lebih besar—lebih mungkin untuk membuat orang kehilangan rumah secara permanen ketimbang bencana yang tiba-tiba.
Efek yang lebih permanen dari slow-onset disaster disebabkan oleh faktor nonfisik seperti prospek sosial-ekonomi yang lebih baik dan akses terhadap uang. Hal ini karena slow-onset disaster dapat secara langsung memengaruhi pendapatan keluarga, misalnya di bidang agrikultur yang dipengaruhi oleh kondisi alam.
”Pengungsi ekologis ini akan semakin banyak. Tentu di antara penyebabnya ada pengaruh dari pilihan-pilihan pembangunan kita selama ini. Saya kira, apa yang terjadi hari ini bukan hanya yang alami, tetapi juga ada intervensi manusia,” kata Parid .
Pengungsi ekologis ini akan semakin banyak. Tentu di antara penyebabnya ada pengaruh dari pilihan-pilihan pembangunan kita selama ini. Saya kira, apa yang terjadi hari ini bukan hanya yang alami, tetapi juga ada intervensi manusia.
Angka pengungsi akibat lingkungan ini bisa jadi akan semakin besar di masa depan. Perubahan iklim akan meningkatkan frekuensi cuaca ekstrem yang dapat menjadi bencana.
Saat ini sejumlah dampak ini sudah dirasakan oleh sebagian warga pesisir Indonesia. Sejumlah kampung dan desa seperti di Demak dan Kabupaten Bekasi telah ditinggalkan karena terendam air.
Lalu, apa yang bisa dilakukan bagi mereka yang saat ini mulai terancam dan bagaimana mencegah lebih banyak orang mengalami hal yang sama pada 50-80 tahun ke depan? Tugas besar telah menanti kita.