Komitmen Indonesia dalam Menurunkan Deforestasi Tidak Boleh Surut
Indonesia perlu mengedepankan pendekatan regulatif dalam mengatasi deforestasi dan degradasi hutan seiring berakhirnya kerja sama program REDD+ dengan Norwegia.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Indonesia diminta tetap berkomitmen dan konsisten untuk mengurangi deforestasi meski telah mengakhiri kerja sama program Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan atau REDD+ dengan Kerajaan Norwegia sejak 10 September 2021. Indonesia juga perlu mengedepankan pendekatan regulatif dalam mengatasi deforestasi dan degradasi hutan.
Dinamisator Nasional Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK), Muhammad Ichwan, menyampaikan, meski kerja sama REDD+ dengan Norwegia telah berakhir, Pemerintah Indonesia harus tetap konsisten menurunkan laju deforestasi dan degradasi hutan dengan berbagai upaya yang konkret serta terukur. Salah satu upaya yang dapat dilakukan yaitu memperpanjang kebijakan moratorium sawit yang akan berakhir pada 19 September.
”Seluruh pihak juga harus menjalankan dan memperkuat moratorium hutan yang sudah di tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2019. Di samping itu, pemerintah perlu segera memberikan pengakuan atau legalisasi kepada masyarakat hukum adat yang selama ini telah menjaga hutan dari praktik deforestasi,” ujarnya di Jakarta, Senin (13/9/2021).
Ichwan memandang, ke depan upaya dalam menurunkan deforestasi akan menghadapi tantangan besar karena adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sebab, dalam UU tersebut terdapat ketentuan untuk memperbolehkan perizinan berusaha di hutan lindung.
Perubahan tutupan hutan di Indonesia masih terjadi setiap tahunnya yang disebabkan oleh pembangunan sektor non-kehutanan, pembukaan perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan, pertambangan, perambahan, pembalakan liar, dan kebakaran hutan.(Muhammad Ichwan)
Menurut Ichwan, JPIK mengapresiasi atas penurunan laju deforestasi di Indonesia yang disampaikan oleh pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Maret 2021. Namun, JPIK menilai perubahan tutupan hutan di Indonesia masih terjadi setiap tahunnya yang disebabkan oleh pembangunan sektor non-kehutanan, pembukaan perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan, pertambangan, perambahan, pembalakan liar, dan kebakaran hutan.
Program lumbung pangan (food estate) di Kalimantan Tengah merupakan salah satu contoh proyek yang mengubah tutupan hutan. Sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 24 Tahun 2020 tentang Food Estate, lokasi proyek ini berada di kawasan hutan produksi dan hutan lindung. Saat ini, lokasi lumbung pangan yang diperuntukkan bagi perkebunan singkong bahkan sudah dilakukan pembukaan lahan.
Selain perubahan tutupan hutan, masalah kehutanan lainnya dari hasil pemantauan JPIK yaitu masih ditemukannya pelanggaran dalam implementasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) di tingkat hulu. Bahkan, pemegang konsesi dan industri primer bekerja sama melakukan praktik pembalakan liar di luar konsesi.
Ketua Jaringan Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia (APIK Indonesia Network) Mahawan Karuniasa menilai, adanya pemutusan kerja sama program REDD+ dengan Norwegia membuat Indonesia perlu mengedepankan pendekatan regulatif dalam mengatasi deforestasi dan degradasi hutan.
Meski demikian, upaya yang dilakukan tidak hanya sekadar menetapkan dan memperpanjang moratorium perizinan. Namun, yang perlu dilakukan yaitu memperkuat upaya regulatif dengan pengendalian di tingkat tapak. Hal ini dipandang lebih berkonsep dan efektif dibandingkan hanya berhenti di tataran moratorium izin.
”Indonesia perlu menargetkan zero deforestation (nol deforestasi). Apalagi sektor kehutanan dan tata guna lahan di strategi jangka panjang memiliki target net sink pada 2030,” katanya. Net sink adalah upaya agar emisi yang dikeluarkan di sektor kehutanan dan tata guna lahan lebih kecil dari serapannya.
Tidak ada kemajuan
Pemutusan hubungan kerja sama program REDD+ antara Pemerintah Indonesia dan Norwegia ini disampaikan dalam rilis yang dikeluarkan Kementerian Luar Negeri, Jumat (10/9/2021). Pengakhiran pernyataan kehendak (letter of intent/LoI) REDD+ tersebut disampaikan melalui Nota Diplomatik, sesuai ketentuan Pasal XIII LoI REDD+ kepada Kedutaan Besar Kerajaan Norwegia di Jakarta.
Dalam siaran pers dari Kemenlu, pemutusan kerja sama diambil karena Pemerintah Norwegia dianggap tidak ada kemajuan konkret untuk merealisasikan pembayaran berbasil hasil (result based payment/RBP) atas keberhasilan Indonesia mengurangi emisi pada 2016/2017. Padahal, penurunan emisi ini telah diverifikasi oleh lembaga internasional.
Pada 2016-2017 Indonesia tercatat berhasil mengurangi emisi melalui kegiatan REDD+ ini yaitu 11,23 juta ton setara karbon dioksida sehingga estimasi nilai pembayaran berbasis hasil sebesar 56 juta dollar AS atau sekitar Rp 812 miliar.
Pemerintah Indonesia menjamin bahwa pemutusan kerja sama REDD+ dengan Norwegia tidak akan memengaruhi komitmen dan target pengurangan emisi. Indonesia bahkan telah mencatatkan kemajuan yang signifikan dalam memenuhi kewajiban Perjanjian Paris, termasuk merealisasikan sasaran pembangunan berkelanjutan. Beberapa hal yang dicapai Indonesia di antaranya menurunkan laju deforestasi serta kebakaran hutan dan lahan.