Menyiapkan Asuransi bagi Pemulihan Terumbu Karang di Indonesia
Terumbu karang merupakan aset alam negara yang memiliki banyak manfaat penting bagi masyarakat. Di sisi lain, ekosistem ini rentan mengalami kerusakan. Ketika terjadi kerusakan, dibutuhkan pembiayaan yang cepat.
Ekosistem terumbu karang menyediakan jasa layanan ekosistem yang sangat penting bagi Indonesia yang berada di pusat segitiga terumbu karang dunia. Perlindungan serta pemulihan karang saat terjadi kerusakan sangat penting dan membutuhkan pembiayaan cepat.
Kepastian atau jaminan pembiayaan ini pernah diwacanakan Sri Mulyani, Menteri Keuangan, saat berkegiatan penanaman karang di Bali pada Oktober 2018. Ia melontarkan keinginan untuk membuat asuransi bagi perlindungan karang di Indonesia.
Wacana yang telah bergulir selama tiga tahun tersebut menarik untuk dipersiapkan dan diimplementasikan. Alasannya sederhana, kerusakan karang di Indonesia, terutama yang disebabkan langsung oleh ulah manusia, acapkali sulit untuk diperbaiki. Bukan karena metode atau teknis ilmiahnya, melainkan karena kebutuhan biaya yang relatif besar.
Ambil contoh kasus kapal pesiar Caledonia Sky yang kandas di hamparan terumbu karang di Raja Ampat pada tahun 2017 ataupun berulang kali kejadian serupa saat kapal-kapal ponton pengangkut batubara menabrak karang di Karimunjawa, Jawa Tengah, ataupun di banyak tempat lain bisa menjadi pembelajaran.
Meskipun pemerintah memiliki niat membawa kasus perusakan karang tersebut dengan menuntut ganti rugi, toh mekanismenya sangat panjang di peradilan serta hasilnya hingga bertahun-tahun tak jelas.
Ada lagi kasus tumpahan minyak Montara yang membuat terumbu karang serta mangrove di sejumlah daerah di Nusa Tenggara Timur rusak. Hingga kini 12 tahun kejadian pilu tersebut berlalu, tak jelas ganti ruginya, khususnya bagi warga setempat yang menggantungkan hidup dari jasa layanan ekosistem karang, seperti perikanan dan wisata.
Selain ”bencana” akibat ulah manusia seperti dicontohkan itu, terumbu karang pun juga terancam berbagai bencana alam. Sebut saja gelombang, badai, gempa, tsunami, sedimentasi, aktivitas vulkanik, dan terdampak perubahan iklim yang membuat air laut menghangat dan mengalami pengasaman.
Indonesia yang memiliki 2,5 juta hektar ekosistem terumbu karang dengan keunikan dan kondisi geografis serta ancaman bencana masing-masing memiliki perhitungan risiko dan valuasi sendiri-sendiri.
Gangguan badai tropis terhadap terumbu karang relatif baru untuk Indonesia yang berada di garis khatulistiwa. Namun bukti empirisnya, badai Seroja yang menghantam Nusa Tenggara Timur (NTT) awal April 2021 kemarin menunjukkan sapuannya menyisakan kerusakan hebat serta menimbulkan korban jiwa.
Di bawah lapisan laut pun dampaknya juga pada terumbu karang. Badai berkecepatan 75 kilometer per jam itu, menurut kajian Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kupang Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), dampaknya sangat terlihat di sejumlah tempat di Teluk Kupang dan Rote Ndao.
Kerusakan berat ditandai dengan potongan-potongan karang masif, bercabang, dan foliose yang berserakan dan menumpuk membentuk gundukan memanjang sejajar garis pantai.
Kerusakan-kerusakan terumbu karang akibat bencana alam ini umumnya dibiarkan saja dan menanti kemurahan pemulihan dari alam. Di sisi lain, kerugian akibat kerusakan terumbu karang ini langsung dirasakan warga pesisir yang menggantungkan hidup padanya, seperti mencari ikan dan bisnis wisata ataupun perlindungan dari gelombang yang diberikan langsung oleh keberadaan karang.
Karena itulah, pemulihan karang perlu dilakukan secepatnya. Itu bisa dilakukan dengan intervensi pemulihan dari manusia yang diharapkan dapat mempercepat pemulihannya.
Contoh mudahnya, ketika kondisi karang berantakan karena dihantam badai, pemulihannya secara alami tak mudah. Larva-larva karang membutuhkan tempat menempel untuk bisa tumbuh. Namun ketika kondisi karang yang patah-patah berantakan, larva sulit menemukan tempat aman untuk berlindung dari predator ataupun gelombang yang kini tak lagi memiliki penahan.
Manusia bisa melakukan intervensi dengan berbagai metode restorasi. Misalnya transplantasi karang ataupun memantik dengan penanaman terumbu buatan. Hanya saja, intervensi manusia ini tak mudah dan berelasi dengan banyak hal. Untuk membayar dan menggerakkan personel dan belanja material serta biaya operasionalnya membutuhkan biaya tak sedikit. Belum lagi pertanyaannya, siapa yang akan membiayainya?
Asuransi seperti yang pernah dilontarkan Sri Mulyani bisa menjadi pilihan. Setidaknya, mekanisme perlindungan asuransi ini sudah ada contoh penerapannya di Meksiko.
Di Quintana Roo, para pengelola hotel dan wisata menyisihkan pendapatannya untuk dikelola oleh semacam dana lembaga pengelola dana manajemen wilayah pesisir (CZMT). Sebagian dana ini dibelikan premi asuransi ke Swiss Re serta sebagian lagi digunakan untuk perawatan rutin terumbu karang ataupun keadaan darurat.
Catatannya, asuransi ini hanya meliputi kejadian bencana badai tropis yang berkecepatan lebih dari 100 knot. Apabila kecepatan badai di bawah 100 knot ataupun kerusakan karang akibat bencana lainnya, tentu perusahaan asuransi tidak membayar dan biaya pemulihannya diambilkan dari dana darurat.
Baca juga: Jelajah Terumbu Karang Kompas
Fernando Secaira, dari The Nature Conservancy Meksiko, dalam webinar 2 September 2021, mengatakan, persiapan dalam membuat mekanisme ini harus didasari data yang kuat. Misalnya, data historis badai di daerah tersebut dan wilayah mana saja yang mau diasuransikan serta skenario bencana besar dan kecil.
Asuransi yang dimulai sejak tahun 2018 ini pernah dirasakan manfaatnya. Seperti saat tahun lalu terjadi tiga badai yang melanda Quintana Roo. Dari ketiga badai, terdapat Badai Delta yang berkecepatan lebih dari 100 knot sehingga memicu pembayaran klaim asuransi sebesar 800.000 dollar AS atau setara Rp 12 miliar (kurs Rp 15.000). Dana ini yang digunakan untuk membiayai pemulihan terumbu karang.
Risiko di Indonesia
Indonesia yang memiliki 2,5 juta hektar ekosistem terumbu karang dengan keunikan dan kondisi geografis serta ancaman bencana masing-masing memiliki perhitungan risiko dan valuasi sendiri-sendiri. Sebagai penjajakan dan memberi bayangan mengenai risiko bencana pada terumbu karang ini, YKAN bersama Yayasan Cerdas Antisipasi Risiko Bencana (CARI!) melakukan kajian awal di wilayah Pandeglang, Makassar, Raja Ampat, Rote Ndao, Klungkung, Wakatobi, dan Berau.
Riset historis bencana, termasuk gempa, tsunami, gelombang, badai atau angin kencang, gangguan akibat perubahan iklim, dan aktivitas vulkanik selama 20 tahun, ditelusuri pada masing-masing lokasi. Hasilnya, pada periode 2000-2020 terdapat 1.523 kejadian bencana di ketujuh lokasi itu. Lalu ada 123 kejadian akibat ulah manusia secara langsung, yaitu tumpahan minyak dan perikanan merusak.
Riset itu menunjukkan daerah Berau relatif aman dari gempa. Lalu dari sisi perubahan iklim, peta NOAA menunjukkan pemutihan karang terjadi di perairan Pandeglang, khususnya di Ujung Kulon, Banten. Lalu catatan lagi, badai tropis yang seharusnya tidak terjadi di wilayah khatulistiwa, ternyata awal April lalu terjadi di NTT, dan khususnya Rote Ndao mengalami kerusakan karang.
Barli Suryanta, Kepala Riset dan Bisnis Keuangan Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (ITB), mengatakan, pembiayaan asuransi terumbu karang dimungkinkan dilakukan di Indonesia. Mekanisme dan kelembagaannya bisa oleh semacam lembaga pendanaan konservasi (conservation trust fund/CTF). Di Indonesia, regulasi yang tersedia melalui Badan Layanan Umum.
Format CTF ini juga dinilai lebih fleksibel dalam mencari dana hibah dan menggunakan banyak instrumen, seperti debt for nature swab (penghapusan utang) dan obligasi. Ia mencontohkan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang memiliki mekanisme serupa.
Baca juga: Sedimentasi di Teluk Manado Merusak Terumbu Karang
”Pada trust fund instrumen pendanaan dirancang menampung kontribusi dan partisipasi publik, swasta, hibah asing yang melengkapi pendanaan kawasan konservasi perairan yang dianggarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), serta pemerintah daerah,” tuturnya.
Dari perhitungannya, secara umum perkiraan biaya restorasi dan pemeliharan karang selama 1 tahun untuk 2 hektar atau 20.000 meter persegi (100.000 bibit) sebesar 72.884 dollar AS. Sekitar 70.000 dollar AS di antaranya untuk belanja pegawai yang bertugas mengumpulkan karang dan perawatan 1 tahun, perlengkapan selam, dan biaya kapal.
Dalam mekanisme pembiayaan ini, faktor tingkat risiko agar dipertimbangkan sebagai reward and punishment. Karena itu, hanya kondisi terumbu karang yang sehat yang menjadi aset tertanggung. Bila kondisi kerusakan karang kecil, maka tanggungan lebih kecil. Sebaliknya bila kondisi di situ terjadi kerusakan yang sangat besar atau luas, tanggungan menjadi lebih besar.
Hal ini mengikuti pakem asuransi kesehatan, yaitu asuransi pada orang yang berumur dan rentan akan dikenai pembayaran premi lebih tinggi.
Di Indonesia, tantangannya berupa ancaman terumbu karang bervariasi di tiap daerah. Selain bervariasi jumlah, tiap ancaman juga memiliki bobot kerusakan yang berbeda-beda. Hal itu akan menentukan pilihan apakah asuransi menggunakan basis kerugian (indemnity) atau parametrik. Masing-masing memiliki konsekuensi, keuntungan, dan kemudahan.
Pertanyaan berikutnya, siapa yang akan membayar preminya serta berapa preminya? Ini tentu membutuhkan diskusi dan kajian lebih lanjut. Yang jelas, di Indonesia, seluruh sumber daya alam, termasuk di dalamnya ekosistem terumbu karang secara konstitusi dikuasai negara.