Dari hasil pemikiran Hariadi Kartodihardjo, persoalan lingkungan dan kehutanan tidak hanya bisa diperbaiki dari aspek teknis, tetapi juga politis yang menyangkut tata kelola dan kepemimpinan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagai akademisi dan praktisi, Hariadi Kartodihardjo terus merangkum pemikirannya tentang persoalan lingkungan dan kehutanan di Indonesia. Dari hasil pemikirannya selama ini, persoalan lingkungan dan kehutanan ini tidak bisa hanya diperbaiki dari aspek teknis, tetapi juga politis yang menyangkut tata kelola dan kepemimpinan.
Hal itu mengemuka dalam diskusi daring dan peluncuran buku Dosa dan Masa Depan Planet Kita: Percikan Pemikiran tentang Tata Kelola, Kebijakan, serta Politik Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Sabtu (4/9/2021). Buku tersebut berisi kumpulan artikel karya Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University Hariadi Kartodihardjo.
Rektor IPB University Arif Satria menyampaikan, ada dua pendekatan besar dalam merespons perubahan lingkungan dan hutan, yaitu modernisasi ekologi dan politik ekologi. Modernisasi ekologi mengedepankan aspek teknis dan ekonomi yang rasional, sedangkan politik ekologi menekankan aspek tata kelola atau birokrasi.
”Persoalan tata kelola sumber daya alam termasuk hutan terletak di sistem dan kepemimpinan. Di negara maju, porsi kepemimpinan semakin kecil karena sistem kian kuat. Profesor Hariadi sudah memberikan kontribusi pemikirannya untuk memperkuat sistem dengan prinsip keadilan dan dirasakan semua kalangan,” ujarnya.
Manajer Program Wildlife Conservation Society Jeni Pareira mengatakan, melalui buku Dosa dan Masa Depan Planet Kita, Hariadi ingin menguji sejauh mana para pemimpin Indonesia memiliki strategi mewujudkan kesejahteraan yang nyata dengan fokus lingkungan hidup dari aspek ilmu pengetahuan. Setiap artikel yang disajikan menunjukkan betapa kompleksnya persoalan tata kelola, kebijakan, serta politik kehutanan dan lingkungan hidup di Indonesia.
”Melalui artikel dalam buku ini, Profesor Hariadi berhasil membenturkan kenyataan yang lazim dengan penalaran yang kritis dan menggelitik pembaca untuk bisa berpikir lebih mendalam dengan kacamata ilmu pengetahuan dan etika,” katanya.
Menurut Jeni, setiap artikel yang tertuang dalam buku tersebut juga berhasil menunjukkan bahwa persoalan lingkungan hidup dan keadilan sosial lebih dekat dengan urusan etika dibandingkan kebenaran dan hal-hal teknis. Sebab, tanpa etika yang kokoh, seluruh pihak akan selalu melanggar hukum dan orang lain terutama dalam mendapat hak atas lingkungan bersih dan berkelanjutan.
Berbagai pendapat yang disampaikan dalam setiap artikel didukung dengan data dan informasi yang komprehensif. Referensi atau teori yang digunakan untuk mengupas suatu masalah dan solusi yang ditawarkan bahkan sangat jelas menunjukkan karakter Hariadi sebagai seorang akademisi serta praktisi dalam isu kehutanan.
”Dalam hampir setiap artikel di buku ini, kita diajak melihat kontestasi narasi, diskursus, dan jaringan aktor serta kepentingan yang memengaruhi proses pembuatan kebijakan hutan dan lingkungan. Profesor Hariadi mengajak untuk memahami lebih jauh siapa yang harus bertanggung jawab dan ke mana publik harus menuntut dalam proses perbaikan lingkungan,” ujarnya.
Guru Besar Manajemen dan Perencanaan Hutan Universitas Pattimura Agustinus Kastanya mengemukakan, pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan lingkungan akan mengalami kehancuran. Hal ini juga dirasakan Hariadi dalam proses pembangunan saat ini.
”Selain kerusakan lingkungan dan deforestasi, hal krusial lain yang kita hadapi dan tertuang dalam buku ini, yakni kehadiran masyarakat adat yang tidak mendapat tempat semestinya. Jika masyarakat adat benar-benar mendapatkan perhatian, masalah kemiskinan dan lingkungan bisa menjadi potensi yang dapat dibangun dengan baik,” tuturnya.
Sudut pandang
Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Agus Justianto mengatakan, hasil pemikiran Hariadi selalu mengedepankan masalah yang terjadi dalam berbagai aspek kehidupan. Sudut pandang tersebut diambil dari sisi tata kelola dan kebijakan politik.
Menurut Agus, pemikiran yang disampaikan Hariadi tidak semua dari sudut pandang sama dengan pemerintah, bahkan sebaliknya kerap menyampaikan pemikiran yang bertolak belakang dengan pemerintah. Namun, pemikiran itu merupakan cara untuk membangun sinergitas pengelolaan sumber daya alam antara kementerian/lembaga dengan partisipasi masyarakat luas, termasuk akademisi dan organisasi non-pemerintah.
”Sinergi dengan berbagai pihak ini sangat diperlukan untuk menyamakan arah dan tujuan. Sinergi diwujudkan dengan peran pemerintah sebagai pelaksana kebijakan dan akademisi sebagai pemikir yang memberi sumbangan untuk membantu pelaksana kebijakan pengelolaan sumber daya alam,” katanya.