Kepunahan ikan belida lopis sudah cukup menjadi pelajaran berharga untuk memberikan perlindungan maksimal pada spesies ikan belida lain. Kini seluruh jenis belida telah dilindungi penuh.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
Salah satu spesies ikan asli Indonesia, yakni ikan belida lopis, pada awal tahun 2021 telah dinyatakan punah oleh Badan Konservasi Dunia atau IUCN. Meningkatkan status perlindungan penuh pada seluruh spesies ikan belida menjadi upaya yang mutlak dilakukan untuk membuat populasi ikan ini tetap terjaga.
Ikan belida merupakan ikan jenis sungai air tawar yang tergolong dalam suku Notopteridae atau ikan berpunggung pisau. Ikan ini memiliki morfologi punggung meninggi sehingga bagian perut tampak lebar dan pipih. Belida aktif pada malam hari dan mencari makanan pada sore. Ukuran dewasa ikan belida dapat mencapai 1 meter dan berat 10 kilogram.
Nama belida diambil dari nama salah satu anak sungai Musi di Sumatera Selatan. Lokasi utama sebaran ikan ini terdapat di Danau Ranau dan Sungai Musi. Ikan belida merupakan ikon Sumatera Selatan. Namun, ikan ini juga dapat ditemui di seluruh Sumatera, Kalimantan, dan Jawa.
Populasi ikan belida semakin menipis karena penangkapan yang berlebihan dan penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.
Indonesia tercatat memiliki empat spesies ikan belida, yakni belida borneo (Chitala borneensis), belida sumatera (Chitala hypselonotus), belida lopis (Chitala lopis), dan belida jawa (Notopterus notopterus). Belida lopis merupakan spesies dengan ukuran paling besar dan dapat mencapai 1,5 meter.
Dari empat spesies tersebut, belida lopis telah dinyatakan punah oleh IUCN berdasarkan laporan dan penelitian ahli ikan air tawar dari National University of Singapore, Heok Hee Ng. Dalam laporannya, Heok menyatakan belida lopis tidak pernah terlihat lagi di perairan air tawar Pulau Jawa sejak spesimennya dikoleksi oleh Pieter Bleeker tahun 1851.
Sejumlah hasil penelitian menunjukkan bahwa populasi ikan belida semakin menipis karena penangkapan yang berlebihan dan penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Penangkapan masih terus terjadi mengingat ikan belida memiliki nilai ekonomi tinggi dan menjadi bahan baku sejumlah makanan, seperti pempek hingga kerupuk.
Di Palembang, ikan belida bahkan kian terancam karena penangkapan dilakukan dengan menggunakan listrik atau zat kimia berbahaya. Nelayan menilai cara tersebut merupakan metode paling ampuh untuk mendapatkan ikan secara mudah dan cepat (Kompas.id, 28/1/2019).
Keragaman genetik ikan belida juga tergolong rendah dengan kisaran antara 0 sampai dengan 0,125. Fakta ini tertuang dalam kajian ”Identifikasi Struktur Stok Ikan Belida dan Implikasinya Untuk Manajemen Populasi Alami” yang dilakukan oleh peneliti Balai Riset Perikanan Perairan Umum dan Penyuluhan Perikanan, Arif Wibowo dan rekan.
Hasil kajian yang dilakukan selama tahun 2006 di perairan Riau, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Selatan tersebut menyatakan bahwa konservasi merupakan upaya penting untuk keberlanjutan spesies ikan belida. Konservasi ikan diprioritaskan pada populasi yang terdapat di Sungai Kampar Kiri, Sungai Ogan, Kerinci, dan Pangkalan Buluh.
Konservasi yang dilakukan di setiap wilayah memiliki pendekatan yang berbeda. Upaya konservasi pada populasi Sungai Kampar Kiri, Sungai Ogan, dan Kerinci adalah dengan translokasi atau restocking. Sementara untuk Pangkalan Buluh dilakukan penetapan wilayah konservasi sehingga populasi dapat berkembang tanpa restocking.
Semakin menipisnya populasi ikan belida membuat semua spesies ikan ini mendapat status perlindungan penuh. Ketentuan ini tertuang dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Nomor 1 Tahun 2021 tentang Jenis Ikan yang Dilindungi.
Koordinator Kelompok Perlindungan dan Pelestarian Jenis Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan Pingkan K Roeroe menyatakan bahwa masyarakat wajib melepaskan ikan belida yang tidak sengaja tertangkap. Sebab, pemerintah telah jelas menetapkan status perlindungan penuh bagi ikan belida.
Jika masyarakat diketahui menangkap ikan belida dengan disengaja, mereka dapat dikenai Pasal 100 juncto Pasal 7 Ayat 2 Huruf C Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan dengan denda maksimal Rp 250 juta.
Sementara untuk pengepul atau penadah dan mereka yang mendistribusikannya dikenai Pasal 92 junto Pasal 26 Ayat 1 dengan denda mencapai Rp 1,5 miliar. Sanksi pidana juga diberikan apabila pelanggar terbukti melakukan usaha tanpa izin atau penyelundupan ikan.
Upaya melindungi dan meningkatkan stok ikan asli Indonesia ini di semua wilayah habitat memang sudah sepatutnya dilaksanakan. Namun, pengawasan dan pembinaan juga menjadi faktor kunci lainnya mengingat ketergantungan nelayan maupun pengusaha makanan masih sangat tinggi terhadap jenis ikan ini.