Kenaikan Permukaan Laut Ekstrem Kian Sering Terjadi di Dunia
Banjir besar seratus tahun sekali yang belakangan terjadi di sebagian wilayah pesisir dunia diperkirakan menjadi agenda tahunan atau lebih sering lagi di masa mendatang. Fenomena alam ini juga mengancam Indonesia.
Oleh
Ichwan Susanto
·4 menit baca
DELFT, SENIN — Studi terbaru memprediksi kenaikan permukaan laut yang ekstrem di sepanjang garis pantai di seluruh dunia, termasuk Indonesia, akan terjadi 100 kali lebih sering pada akhir abad ini. Hal itu selaras dengan hasil laporan jurnalisme data Kompas baru-baru ini yang menunjukkan 199 kota pesisir di Indonesia bakal terkena banjir rob tahunan pada 2050.
Harian Kompas dalam laporan jurnalisme datanya pada 20 Agustus 2021 menunjukkan, sekitar 8,6 juta warga di Indonesia terdampak banjir rob tahunan pada 2050. Banjir rob tersebut melanda 199 kota pesisir di berbagai daerah di Tanah Air.
Penelitian terbaru yang terbit dalam jurnalNature Climate Changeedisi 30 Agustus memprediksi bahwa akibat meningkatnya suhu bumi, kenaikan permukaan laut yang ekstrem di sepanjang garis pantai di seluruh dunia akan terjadi 100 kali lebih sering pada akhir abad ini.
Hal itu diprediksi bakal terjadi di setengah dari 7.283 lokasi yang dijadikan penelitian. Kenaikan permukaan laut secara ekstrem sebagai dampak kenaikan suhu bumi yang semula diprediksi terjadi setiap 100 tahun sekali kini akan lebih sering terjadi hingga lebih dari satu kali setiap tahun di sepanjang akhir abad ini.
Meski para peneliti mengatakan ada banyak ketidakpastian mengenai iklim di masa depan, kemungkinan terbesar pola kenaikan permukaan laut ini akan terus terjadi bersamaan dengan meningkatnya suhu global menjadi 1,5 derajat celsius atau 2 derajat celsius dibandingkan dengan temperatur bumi pada masa pra-industri.
Para peneliti memperkirakan suhu tersebut sebagai situasi terparah yang mungkin terjadi akibat pemanasan global. Perubahan itu kemungkinan akan terjadi lebih cepat lagi di akhir abad ini dengan banyaknya lokasi yang mengalami peningkatan kenaikan permukaan laut 100 kali lipat dari yang pernah diprediksi terjadi sebelum tahun 2070.
Peta dampak
Roshanka Ranasinghe dari IHE Delft dan Deltares (Belanda) melakukan rancangan studi pertama di dunia ini bersama penulis utama Claudia Tebaldi dari Laboratorium Nasional Pacific Northwest National Department of Energy AS. Studi ini menyatukan tim peneliti internasional dari Amerika Serikat, Belanda, Italia, dan Australia, yang pernah memimpin riset besar sebelumnya tentang permukaan laut ekstrem dan efek kenaikan suhu permukaan laut.
Tim tersebut mengumpulkan data dan memperkenalkan metode sintesis baru dengan melakukan perkiraan alternatif untuk memetakan kemungkinan efek kenaikan suhu mulai dari 1,5 derajat celsius hingga 5 derajat celsius dengan dibandingkan dengan masa pra-industri. Kisaran suhu ini belum pernah dianalisis dalam penelitian sebelumnya.
Para ilmuwan menemukan hal yang tidak terduga bahwa dampak kenaikan air laut pada frekuensi yang ekstrem akan terasa paling parah di wilayah tropis dan umumnya di garis lintang yang lebih rendah dibandingkan dengan garis lintang utara. Lokasi paling mungkin terkena dampak besarnya ialah belahan bumi selatan, daerah di sepanjang Laut Mediterania dan Semenanjung Arab, Pantai selatan Pasifik Amerika Utara termasuk Hawaii, Karibia, Filipina, dan Indonesia.
Sementara wilayah yang tidak terlalu terpengaruh kenaikan permukaan air laut ialah wilayah bagian garis lintang yang lebih tinggi, seperti Pantai Pasifik utara Amerika Utara dan Pantai Pasifik Asia.
”Salah satu pertanyaan utama kami yang mendorong penelitian ini adalah seberapa tinggi pemanasan suhu bumi untuk membuat dampak yang biasanya terjadi 100 tahun sekali menjadi bencana tahunan. Jawaban kami tidak lebih dari apa yang telah terdokumentasikan saat ini,” ujar Ranasinghe. Ia pun mencatat dunia telah menghangat sekitar 1,1 derajat celsius dibandingkan dengan masa pra-industri.
Studi baru ini selaras atau mencerminkan pernyataan dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) baru-baru ini yang menyatakan bahwa peristiwa naiknya permukaan air laut ekstrem akan menjadi jauh lebih sering dan meluas di seluruh dunia pada akhir abad ini karena dampak pemanasan global.
”Ini bukanlah sebuah kejutan dan tidak mengherankan bahwa pada pemanasan suhu 1,5 derajat celsius akan memiliki efek substansial pada frekuensi dan besarnya kenaikan permukaan laut yang ekstrem,” kata Ranasinghe.
Studi ini disebut memberikan gambaran yang lebih lengkap di seluruh dunia. Dengan menggabungkan beberapa set data, peneliti dapat melihat rentang tingkat pemanasan yang lebih luas dengan detail spasial yang sangat halus.
Ini bukanlah sebuah kejutan dan tidak mengherankan bahwa pada pemanasan suhu 1,5 derajat celsius akan memiliki efek substansial pada frekuensi dan besarnya kenaikan permukaan laut yang ekstrem.
Skenario terbaik dan terburuk yang diajukan para penelitian ini bervariasi. Hal itu disebabkan banyak kemungkinan yang disajikan para peneliti yang dicatat dengan sangat rinci. Dalam satu skenario, misalnya, pada kemungkinan yang sangat pesimistis, 99 persen dari lokasi yang diteliti akan mengalami peningkatan kejadian ekstrem 100 kali lipat pada tahun 2100 dengan pemanasan 1,5 derajat celsius.
Di sisi lain, pada kemungkinan yang lebih optimistis, sekitar 70 persen lokasi tersebut terlihat tidak akan mengalami banyak perubahan bahkan dengan kenaikan suhu 5 derajat celsius.
Para peneliti ini berharap akan ada banyak studi lebih lanjut untuk memahami lebih tepat bagaimana perubahan akan memengaruhi komunitas tertentu. Mereka menegaskan bahwa perubahan fisik yang dijelaskan dalam studi mereka akan memiliki dampak bervariasi pada skala lokal, bergantung pada beberapa faktor, termasuk fitur geomorfologi lokal, kerentanan daerah tersebut terhadap kenaikan air laut, dan kesiapan masyarakat wilayah itu untuk menghadapi perubahan.
Selain Tebaldi dan Ranasinghe, penulis jurnal ini ialah Michalis Vousdoukas (European Joint Research Center di Italia), DJ Rasmussen (Universitas Princeton), Ben Vega-Westhoff dan Ryan Sriver (University of Illinois di Urbana-Champaign), Ebru Kirezci (Universitas Melbourne di Australia), Robert E Kopp (Universitas Rutgers), dan Lorenzo Mentaschi (Universitas Bologna, Italia).