Air Laut Naik, Tekan Emisi Gas Rumah Kaca Lebih Ambisius
Kenaikan muka air laut di sebagian pesisir Indonesia telah terjadi dan bisa kian parah di masa mendatang. Penurunan emisi yang lebih ambisius jadi pilihan mutlak bila ingin mengerem dampak perubahan iklim ini.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Menurunkan emisi gas rumah kaca secara ambisius kini menjadi kebutuhan Indonesia. Dampak perubahan iklim bakal membawa permasalahan serius berupa kenaikan muka air laut bagi negara kepulauan yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia ini.
Selain dampak lingkungan, kenaikan muka air laut juga membawa permasalahan sosial dan ekonomi. Tanpa mitigasi yang ambisius dan adaptasi yang kuat, berbagai hasil pembangunan tak bertahan lama.
Hasil analisis dampak kenaikan air laut dari tim jurnalisme data Harian Kompas menunjukkan sebanyak 199 kabupaten/kota pesisir di Indonesia terancam terkena banjir rob tahunan pada 2050. Guna mencegah hal ini, pemerintah daerah didesak untuk meningkatkan komitmen dan program kerja terkait adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Kompas menganalisis kerentanan 21 kota yang merupakan ibukota provinsi. Hasilnya, sebanyak tujuh kota masuk kategori kerentanan tinggi, sembilan kota kerentanan menengah, dan lima kota lainnya kategori rendah. Tingkat kerentanan ditentukan berdasarkan dampak fisik, sosial, ekonomi, dan adaptasi pemerintah daerah.
Hasil analisis juga menunjukkan, pada 2050 sekitar 118.000 hektar wilayah akan terendam air laut dan terdapat 8,6 juta warga yang terdampak. Adapun total kerugian dari kenaikan air laut ini bagi seluruh wilayah-wilayah di Indonesia mencapai Rp 1.576 triliun.
Kepala Kampanye Iklim Greenpeace Asia Tenggara Tata Mustasya menyatakan hasil analisis Kompas ini mengonfirmasi bahwa permasalahan kenaikan permukaan air laut akan dihadapi semua wilayah pesisir. Permasalahan ini tidak hanya mengancam aspek lingkungan, tetapi juga ekonomi dan sosial masyarakat.
“Temuan ini juga mengonfirmasi bahwa kita tidak bisa lagi mengharapkan pembangunan yang memisahkan antara aspek ekonomi dengan lingkungan dan manusianya. Kita harus melakukan transisi energi, moratorium batubara, menyelamatkan hutan Papua, dan menetapkan net zero emission pada 2050,” ujarnya di Jakarta, Jumat (20/8/2021).
Analisis sama
Greenpeace regional Asia juga melakukan studi untuk mengetahui dampak perubahan iklim dan kenaikan muka air laut terhadap kota-kota di Asia. Dari hasil kajian yang terbit Juni 2021 itu, Jakarta menjadi salah satu kota di Asia yang terdampak kenaikan muka air laut dengan luasan terdampak mencapai 109,38 kilometer persegi dan kerugian 68,2 miliar dollar AS.
Temuan ini juga mengonfirmasi bahwa kita tidak bisa lagi mengharapkan pembangunan yang memisahkan antara aspek ekonomi dengan lingkungan dan manusianya.
Mengingat dampak kenaikan permukaan air laut ini tidak hanya akan terjadi di Jakarta, maka peran dan antisipasi seluruh pemerintah daerah (pemda) sangat diperlukan. Menurut Tata, daerah harus memiliki inisiatif untuk melakukan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, termasuk mendesak pemerintah pusat untuk menyelamatkan hutan-hutan yang masih tersisa di wilayah mereka.
Tata memandang saat ini banyak pemda yang kurang antisipatif pada isu perubahan iklim karena mayoritas kepala daerah hanya fokus menjalankan program kerja yang berorientasi jangka pendek. Sementara adaptasi dan mitigasi perubahan iklim merupakan program jangka panjang yang hasilnya juga belum dirasakan dalam waktu dekat.
Meski demikian, daerah yang memiliki komitmen mengurangi emisi dan menanggulangi perubahan iklim juga dinilai akan terkendala karena Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sebab, dalam UU tersebut banyak kewenangan daerah tak terkecuali yang menyangkut aspek lingkungan dilimpahkan ke pusat.
Ketua Ikatan Ahli Perencana (IAP) DKI Jakarta Dhani Muttaqin mengatakan, pihaknya terus memberikan masukan terhadap rencana pembangunan DKI Jakarta untuk lebih fokus terhadap isu peningkatan air laut dan penurunan muka air tanah. Pemprov DKI juga perlu menerapkan instrumen rencana tata ruang dan program regenerasi Jakarta.
“Ke depan, dukungan data dan hasil riset dapat digunakan untuk menyusun policy paper mengenai isu terkait adaptasi dan mitigasi serta dampaknya terhadap rencana tata ruang. Ini akan kami coba lakukan audiensi juga dengan gubernur DKI,” ucapnya.
Komitmen kota
Sementara itu, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Laksmi Dhewanthi mengaku telah membaca analisis dari Kompas tersebut. Namun, KLHK belum bisa memberikan tanggapan karena perlu berkoordinasi dengan bagian humas.
Sebelumnya, sepuluh kota di Indonesia telah menegaskan komitmennya dalam mengatasi perubahan iklim melalui penandatanganan Proyek Climate Resilient and Inclusive Cities (CRIC) yang dikelola oleh Asosiasi Pemerintah Kota/Daerah se-Asia Pasifik (UCLG ASPAC). Sepuluh kota tersebut yakni Cirebon, Bandar Lampung, Pangkal Pinang, Pekanbaru, Banjarmasin, Samarinda, Mataram, Kupang, Gorontalo, dan Ternate.
Sekretaris Jenderal UCLG ASPAC Bernadia Irawati Tjandradewi mengatakan, hampir 65 persen dari tujuan pembangunan berkelanjutan harus dilaksanakan di tingkat lokal. Oleh karena itu, peran pemerintah daerah sangat penting dalam mengatasi perubahan iklim
Direktur Adaptasi Perubahan Iklim KLHK Sri Tantri Arundhati menyatakan, proyek CRIC yang menggandeng sepuluh kota percontohan dapat turut berkontribusi pada agenda ketahanan iklim maupun mendukung Program Kampung Iklim (Proklim). Aksi dan praktik dari sepuluh kota ini bisa direplikasi di tingkat kota maupun regional.