Kota-kota yang Terendam di Masa Depan
Sebanyak 199 kota pesisir di Indonesia bakal terkena banjir rob tahunan pada 2050. Sekitar 118.000 hektar wilayah akan terendam air laut dan ada 8,6 juta warga terdampak. Kerugian diperkirakan mencapai Rp 1.576 triliun.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F05%2F20210520WEN12_1621488569.jpg)
Area makam Kyai Abdullah Mudzakkir yang dikelilingi air laut di Desa Bedono,Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Kamis (20/5/2021). Kawasan tersebut sebelumnya merupakan area daratan yang lambat laut hilang karena abrasi, penurunan permukaan tanah, hingga perubahan iklim.
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 199 kabupaten/kota pesisir di Indonesia bakal terkena banjir rob tahunan pada 2050. Sekitar 118.000 hektar wilayah akan terendam air laut dan ada 8,6 juta warga terdampak. Kerugian diperkirakan mencapai Rp 1.576 triliun.
Harian Kompas menganalisis dampak kenaikan air laut di 21 ibu kota provinsi. Analisis menggunakan data simulasi kenaikan air laut dari lembaga riset nonprofit Climate Central dengan mengombinasikan analisis spasial, data populasi, ekonomi dan kebijakan pemerintah daerah. Dari analisis tersebut diperoleh skor kerentanan masing-masing wilayah.
Menggunakan simulasi Climate Central, Kompas mengidentifikasi ada 199 dari total 514 kabupaten/kota di Indonesia, termasuk 21 ibu kota provinsi, akan ada di bawah permukaan laut alias tenggelam. Selain itu, wilayah-wilayah tersebut diperkirakan bakal terkena banjir rob tahunan yang meluas.
Secara keseluruhan, dari 21 kota tersebut ada sekitar 118.000 hektar wilayah yang tergenang dan 8,6 juta warga yang akan terdampak. Total kerugian ekonomi diperkirakan mencapai Rp 1.576 triliun.

Simulasi Climate Central menggunakan data ketinggian digital ”Coastal DEM” dengan tingkat akurasi yang bervariasi di berbagai daerah. Lalu, simulasi ini juga menggunakan scenario iklim dengan asumsi dunia menekan polusi secara drastis. Skenario ini oleh IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) disebut sebagai RCP 2.6.
Selain asumsi RCP 2.6, Climate Central menggunakan proyeksi kenaikan air laut dari penelitian ahli iklim asal Amerika Serikat, Robert E Kopp beserta koleganya (2014). Proyeksi Kopp menjadi salah studi kenaikan air laut yang banyak dikutip (highly cited) dan juga diangkat di laporan IPCC. Kopp memproyeksikan rata-rata ketinggian air laut global dapat meningkat 18-33 cm pada 2050 dan 29-82 cm pada 2100.
Baca juga: Ancaman Tenggelamnya Kota-kota Pesisir di Indonesia
Perlu diperhatikan bahwa simulasi Climate Central tidak memperhitungkan keberadaan infrastruktur pengendali baniir. Selain itu, estimasi cakupan banjir rob tahunan dalam simulasi juga memperhitungkan pengaruh cuaca ekstrem.
Kenaikan air laut global juga akan diperparah penurunan tanah yang sudah terjadi di sejumlah daerah.
Analisis ini juga menggunakan simulasi sederhana untuk menghitung ancaman banjir hanya berdasar pada elevasi; tidak menggunakan permodelan banjir dinamis.
Untuk diketahui juga, mengingat karakteristik banjir rob, sebuah lokasi yang berada di bawah ketinggian banjir rob belum tentu akan tergenang, sebab air pasang membutuhkan waktu untuk masuk ke daratan dan dengan segera dapat surut sebelum mencapai lokasi tersebut.
Contoh bagaimana kian parahnya banjir rob dapat terlihat di sejumlah daerah di pantai utara Jawa, terlebih lagi di daerah yang juga mengalami penurunan muka tanah (land subsidence).
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F08%2F43956ecf-99b6-4b71-a1e2-28379f8f7121_jpg.jpg)
Keadaan salah satu rumah di Kampung Beting, Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, seperti yang terlihat pada Rabu (28/7/2021). Warga merasakan frekuensi banjir rob kian sering dibandingkan puluhan tahun yang lalu.
Sebagai gambaran, banjir rob semakin sering terjadi di Desa Pantai Bahagia, Muara Gembong, Kabupaten Bekasi dan Kampung Blok Empang, Muara Angke, Jakarta Utara.
Banjir dengan ketinggian 50 cm hingga 1 meter tersebut tadinya hanya terjadi sebulan sekali. Namun, dua tahun terakhir ini terjadi setiap hari di Muara Angke. Sementara itu di Muara Gembong, meski banjir terjadi dua kali dalam sebulan, tapi air bisa menggenangi rumah dua minggu dalam sebulan dengan ketinggian mencapai 1 meter.
Baca juga:
- Strategi Menghindari Hilangnya Kawasan Pesisir Indonesia
- Mayoritas Wilayah di Palembang Berisiko Terdampak Banjir Rob
- Menangkal Naiknya Air Laut
Skor kerentanan
Skor kerentanan dihitung berdasarkan empat parameter, yakni luas wilayah yang berpotensi di bawah permukaan laut dan tergenang banjir rob pada tahun 2050, penduduk terdampak, kerugian ekonomi, dan kesiapan pemda.
Luasan wilayah tergenang diperoleh dari tumpang susun peta banjir dengan batas administrasi dan peta permukiman dari Badan Informasi Geografis (BIG). Data jumlah penduduk terdampak menggunakan data raster populasi yang disediakan ”Global Human Settlement Layer” (GHSL) tahun 2015.
Untuk memperkirakan nilai kerugian ekonomi digunakan data PDRB per kapita dan jumlah penduduk terdampak. Sementara kesiapan pemda diukur dari ada tidaknya kebijakan untuk mengantisipasi dampak kenaikan air laut.

Nilai dari keempat parameter di atas kemudian distandardisasi dengan mengonversinya ke dalam skala 1, 2, dan 3. Skala 3 mengindikasikan kondisi di suatu parameter berkontribusi besar pada rentannya sebuah kota terhadap banjir rob, sedangkan skala 1 berarti sebaliknya.
Sekitar 118.000 hektar wilayah akan terendam air laut dan ada 8,6 juta warga terdampak. Kerugian diperkirakan mencapai Rp 1.576 triliun.
Setelah itu setiap skala dari masing-masing parameter dijumlah hingga menghasilkan skor total. Skor inilah yang digunakan sebagai penentu tingkat kerentanan dari 21 ibu kota provinsi yang berlokasi di wilayah pesisir.
Hasil analisis kerentanan, dari 21 ibu kota provinsi yang berlokasi di wilayah pesisir, ada 7 kota masuk kategori tinggi, 9 kota masuk level menengah, dan 5 kota mempunyai kerentanan rendah.
Semakin tinggi luas genangan dan luas permukiman yang tergenang, wilayah makin rentan. Semakin banyak jumlah penduduk yang terdampak pun, akan meningkatkan nilai kerentanan.
Hal ini akan membuat nilai kerugian ekonomi semakin tinggi. Nilai kerentanan semakin tinggi saat pemerintah daerahnya belum mempunyai upaya adaptasi untuk mengantisipasi kenaikan air laut.
Banjarmasin
Salah satu kota yang memiliki kerentanan tinggi adalah Banjarmasin. Luas genangan banjir rob di Banjarmasin tertinggi dibandingkan wilayah lainnya, yakni hingga 85,5 persen wilayah. Di sisi lain hampir separuh area Banjarmasin juga diperkirakan ada di bawah permukaan laut pada 2050 mendatang.
Kerentanan semakin tinggi saat 86,6 persen wilayah yang tergenang merupakan permukiman penduduk. Hal ini mengakibatkan sekitar 543.998 jiwa atau 83,6 persen akan kehilangan tempat tinggal. Lebih jauhnya, dari penduduk yang terdampak, diperkirakan potensi kerugian ekonomi diperkirakan mencapai Rp 24,8 triliun.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F04%2F15caa356-ccd6-4342-89a4-bf7eb8f038bd_jpg.jpg)
Warga korban banjir dievakuasi dari rumah mereka di Kelurahan Sungai Lulut, Kecamatan Banjarmasin Timur, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Minggu (17/1/2021).
Meski diperkirakan mempunyai kerawanan yang tinggi, hingga sekarang pemerintah Banjarmasin belum mempersiapkan upaya penanganan yang spesifik.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kota Banjarmasin (2008-2011) hanya disebut, Banjarmasin sebagai kawasan dengan kepadatan sedang dan rendah perlu dikendalikan secara hati-hati karena kondisi lahan kota yang berada dalam ekosistem rawa dan dipengaruhi pasang surut sungai/laut.
Air pasang sampai ke tengah kota melalui Sungai Barito. kondisi elevasi sungai Barito yang curam, memudahkan air pasang laut sampai di tengah kota.

Jakarta
Jakarta juga masuk kota dengan kerentanan tinggi. Hampir separuh wilayahnya diprediksi akan terdampak kenaikan air laut dan banjir rob pada 2050 mendatang.
Wilayah tersebut dihuni oleh sekitar 4,5 juta jiwa (46 persen). Dari jumlah penduduk yang terdampak, kerugian ekonomi diperkirakan mencapai Rp 1.186 triliun. Nilai ini tertinggi dibandingkan kota lainnya.

Dari hasil simulasi pada 2050, seluruh wilayah Jakarta Utara akan tergenang banjir rob, termasuk kawasan reklamasi. Genangan diperkirakan juga akan sampai di Jakarta Pusat, hingga Bundaran HI. Di sisi Barat, genangan akan sampai batas Jalan Tol Kebon Jeruk dan di sisi timur, hingga Pulogadung Trade Centre.
Jakarta juga masuk kota dengan kerentanan tinggi. Hampir separuh wilayahnya diprediksi akan terdampak kenaikan air laut dan banjir rob pada 2050 mendatang.
Bahkan, ada sejumlah daerah di Jakarta Utara, seperti Koja dan Tanjung Priok, yang pada 2050 sudah akan berada di bawah permukaan laut. Secara total ada sekitar 4 persen wilayah DKI Jakarta yang akan berada di bawah permukaan laut.
Tanjung Pinang
Kota selanjutnya yang masuk kerentanan tinggi adalah Tanjung Pinang. Dari hasil simulasi tahun 2050 nanti, kenaikan air laut dan banjir rob akan menggenangi pesisir Tanjung Pinang. Proporsinya mencapai hampir setengah luas ibu kota provinsi Kepri tersebut. Bahkan seperempatnya diproyeksikan akan ada di bawah permukaan laut.
Baca juga: Kenaikan Air Laut Mengancam Warga Tanjung Pinang
Air pasang laut diperkirakan menggenangi hampir setengah luas kawasan permukiman kota yang dihuni 37.877 jiwa. Dengan memperhitungkan PDRB per kapita, hal tersebut akan menimbulkan kerugian ekonomi sekitar Rp 3,4 triliun.
Banjir rob pernah terjadi Januari lalu. Dampaknya, sejumlah warga pesisir yang tinggal di kawasan pesisir, seperti Kelurahan Senggarang dan Kampung Bugis, tergenang air. BPBD Tanjung Pinang mencatat, ada 5 lokasi rawan rob. Diantaranya, Pasar Baru Tanjungpinang, Kampung Kolam, dan Jalan Anggrek Merah Batu 4.

Kota Gorontalo
Kota berkerentanan tinggi berikutnya adalah Gorontalo. Hitungan Kompas genangan rob diperkirakan akan menggenangi 23 persen bagian kota. Hasil simulasi ”Climate Central”, air akan merendam bagian kota mulai pinggir Sungai Bone ke arah utara melalui sungai Bone hingga mencapai Danau Limboto di Kabupaten Gorontalo.
Nilai kerentanan semakin tinggi saat genangan tersebut mencakup 47 persen bagian permukiman masyarakat. Wilayah genangan tersebut dihuni oleh sekitar 179.555 jiwa atau separuh warga kota. Banyaknya jumlah penduduk yang bakal terdampak tersebut diperkirakan akan menimbulkan kerugian ekonomi sekitar Rp 6,8 triliun.

Kerentanan sedang
Beberapa kota dengan nilai kerentanan sedang di antaranya Surabaya, Denpasar, Mataram, Semarang, dan Medan. Persentase wilayah yang terdampak berkisar 17-37 persen. Mayoritas sudah mulai mempersiapkan upaya penanganan, meski pada tahap proses pembangunan.
Kota Semarang masuk dalam kategori kerentanan menengah. Luas wilayah yang terendam mencapai 14,6 persen. Wilayah tersebut mencakup 18 persen area permukiman.

Dari hasil perhitungan, diperkirakan lahan permukiman dihuni oleh sekitar 313.642 jiwa. Penduduk yang terdampak ini memberikan kontribusi pada kerugian ekonomi hingga Rp 32,2 triliun.
Salah satu wilayah yang diterjang rob setiap hari adlah kampung nelayan Tambak Lorok, Kelurahan Tanjung Emas. Sejumlah warga sudah meninggikan rumah dan jalan beberapa kali tapi tetap terendam saat air mulai naik di pagi hari.
Kerentanan rendah
Dari 21 ibu kota, hanya 5 yang masuk dalam kategori kerentanan rendah. Mayoritas kota yang masuk dalam kerentanan rendah, memiliki luas terdampak lebih rendah dari wilayah lainnya. Sebagian besar juga belum mempersiapkan diri untuk menghadapi dampak perubahan iklim tersebut.

Salah satunya Kota Manado. Kenaikan air laut diperkirakan akan berdampak pada 2.576 hektar atau 3,4 persen wilayah kota. Genangan tersebut akan berdampak pada 28.910 jiwa (7,4 persen).
Selain ibu kota provinsi, dalam kajian Kompas juga ditemukan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, NTB akan terdampak kenaikan air laut 2050. Hasil perhitungan, luas genangan mencapai 940,4 Hektar atau 70 persen dari luas KEK. KEK Mandalika ditetapkan sebagai KEK pariwisata yang salah satu daya tariknya adalah kompetisi olahraga internasional seperti MotoGP.
Baca juga: Manado Rentan Terendam Banjir Rob
Penurunan Tanah
Ancaman masuknya air laut ke daratan bahkan di sejumlah kota pun diperparah oleh penurunan muka tanah.
Menurut pakar geodesi ITB Heri Andreas, sejumlah kota besar di pantai utara Jawa yang berdiri di atas tanah aluvial atau dari endapan—seperti Jakarta, Pekalongan, dan Semarang—mengalami penurunan tanah yang dahsyat, hingga lebih dari 10 cm per tahun.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F06%2F73af64bd-9426-45ba-836e-6a282d074d9c_jpg.jpg)
Buruh membawa tanah uruk yang akan digunakan untuk meninggikan rumah di perkampungan nelayan Muara Angke, Jakarta Utara, Jumat (11/6/2021). Cepatnya penurunan muka tanah seiring naiknya muka air laut di kawasan tersebut menyebabkan warga secara rutin meninggikan bangunan rumah dengan cara menguruknya.
Hal ini akibat dari sifat alami tanah aluvial yang akan terus mengalami kompaksi, beban kota, dan utamanya ekstraksi air tanah. Penurunan muka tanah akan membuat kenaikan air laut kian membahayakan bagi warga daerah tersebut.
”Kalau tanah ini terus turun, pesisir yang landai ini bisa jadi sudah berada di bawah permukaan laut ketika pasang tinggi atau bahkan pasang normal. Bahkan, bisa jadi juga sudah di bawah permukaan laut. Efeknya ya banjir rob permanen,” kata Heri.
Kesadaran
Pakar perencanaan kota Universitas Diponegoro, Rukuh Setiadi, menilai, kesadaran bagi pemerintah daerah dan warganya mengenai kenaikan air laut sebagai ancaman di wilayah mereka memang belum mendalam. Sifat ancaman yang berlangsung secara perlahan membuat masyarakat tidak merasa fenomena kenaikan air dan penurunan tanah sebagai bencana yang mengancam.
Menurut dia, baru sepuluh tahun terakhir ini sejumlah kota di Indonesia mulai menganggap perubahan iklim sebagai bencana yang harus dihadapi. Padahal, di sejumlah negara maju, diskursus kenaikan air laut sudah mulai mengarus-utama sejak 1990-an.

Alat berat digunakan untuk membangun dan memperbaiki tanggul laut di Pelabuhan Nizam Zachman, Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara, Minggu (26/1/2020). Sebagian tanggul yang masuk dalam proyek National Capital Integrated Coastal Development sempat jebol pada awal Desember 2019 lalu.
Proyek pintu air raksasa di Venesia, Italia, yang dikenal sebagai MOSE (Modulo Sperimentale Elettromeccanico), meski baru beroperasi untuk pertama kali pada akhir 2020, megaproyek ini telah dimulai perancangannya sejak akhir 1987 dan mulai dibangun pada 2003. MOSE diharapkan dapat melindungi laguna dan kota Venesia dari air pasang yang dapat mencapai 3 meter.
Oleh karena itu, menurut Rukuh, langkah pertama yang harus dilakukan oleh pemda adalah memahami bahwa kenaikan muka air laut adalah ancaman nyata dan mulai membuat studi di wilayah masing-masing bagaimana menghadapi bahayanya, termasuk hingga 2050, misalnya.
Deputi Pengelolaan Pengetahuan Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Parid Ridwanuddin juga berpendapat senada. Langkah awal yang perlu dilakukan adalah melakukan riset potensi dampak kenaikan air laut di wilayah masing-masing dalam 10-20 tahun ke depan.
”Secara ekonomi, ongkos ekologis untuk membiayai dampak krisis iklim ini seperti banjir ini akan tinggi sekali, akan lebih mahal dari pada upaya untuk mulai menghitung potensi dampaknya,” kata Parid. (HLN/NDU/JOL/DIT/ESA/OKA)