Kejadian Ekstrem akibat Perubahan Iklim Diprediksi Akan Semakin Meningkat
Hasil Laporan Penilaian Keenam IPCC memprediksi, kejadian ekstrem akibat dampak perubahan iklim akan semakin meningkat dan berpengaruh bagi wilayah Indonesia.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Intensitas kejadian ekstrem yang mulai muncul tahun 1950 sampai saat ini tercatat semakin meningkat oleh aktivitas manusia. Salah satu contohnya adalah badai siklon tropis di wilayah Pasifik sebelah barat yang akan sangat berpengaruh terhadap wilayah Indonesia, khususnya Papua dan Kalimantan.
Analisis dampak perubahan iklim tersebut tertuang dalam paket Laporan Penilaian Keenam (Sixth Assessment Report/AR6) Kelompok Kerja I Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC). Laporan penilaian IPCC segmen pertama dari total tiga segmen utama tersebut dirilis pada Senin (9/8/2021).
Dalam sosialisasi Laporan Penilaian Keenam IPCC secara daring, Selasa (31/8/2021), Wakil Ketua Kelompok Kerja I IPCC Edvin Aldrian menyampaikan, proses penyusunan laporan IPCC melibatkan 234 peneliti dari 65 negara. Laporan ini disusun melalui proses tinjauan dan penilaian hingga 14.000 publikasi ilmiah.
Dari proses tinjauan tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa konsentrasi gas rumah kaca periode saat ini merupakan yang tertinggi selama 2 juta tahun terakhir. Bahkan, saat ini telah terjadi percepatan laju tinggi muka air laut selama 3.000 tahun terakhir dan penurunan tutupan es atau gletser di berbagai wilayah yang belum pernah terjadi selama 2.000 tahun terakhir.
”Perbuatan manusia tidak dapat disangsikan telah menyebabkan perubahan iklim. Kejadian ekstrem, termasuk gelombang panas, hujan deras, dan kekeringan, juga semakin meningkat frekuensi serta intensitasnya,” ujar Edvin.
Penulis utama Bab 11 Laporan Penilaian Keenam IPCC, Iskhaq Iskandar, mengatakan, Bab 11 memaparkan penilaian kejadian ekstrem akibat perubahan iklim, yakni kenaikan temperatur ekstrem, hujan lebat, banjir, kekeringan, badai siklon tropis, dan kejadian gabungan lainnya. Dari hasil analisis dan penilaian, intensitas kejadian ekstrem yang mulai muncul tahun 1950 sampai saat ini semakin meningkat oleh aktivitas manusia.
Perbuatan manusia tidak dapat disangsikan telah menyebabkan perubahan iklim. Kejadian ekstrem, termasuk gelombang panas, hujan deras, dan kekeringan, juga semakin meningkat frekuensi serta intensitasnya.
”Badai siklon tropis semakin meningkat satu dekade terakhir khususnya di wilayah Pasifik sebelah barat atau di utara Papua. Hal ini juga akan sangat berpengaruh bagi wilayah Indonesia khususnya Papua dan Kalimantan,” ujar Iskhaq yang juga guru besar di Departemen Fisika Universitas Sriwijaya.
Menurut dia, peningkatan pemanasan global akan sangat memengaruhi perubahan temperatur, curah hujan, ataupun aspek terkait cuaca lainnya. Sejumlah analisis menunjukkan kenaikan suhu global 1 derajat celsius juga akan meningkatkan terjadinya suhu panas ekstrem, gelombang panas laut, hujan lebat, kekeringan pertanian, hingga badai siklon tropis.
Selain itu, lanjut Iskhaq, peningkatan pemanasan global akan memicu kejadian ekstrem yang tidak pernah terdeteksi sebelumnya. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan terdapat kejadian ekstrem baru yang akan muncul dalam beberapa tahun ke depan. Persentase kemunculan kejadian ekstrem langka dengan siklus puluhan tahun juga semakin tinggi.
”Dari observasi, wilayah Indonesia tercatat mengalami peningkatan cuaca panas ekstrem, curah hujan tinggi, dan kondisi kekeringan secara netral. Namun, kondisi kekeringan netral ini terjadi karena terbatasnya kesepakatan dalam literatur sehingga kami tidak bisa menyampaikan secara pasti apakah ada peningkatan atau penurunan,” katanya.
Penulis utama Bab 9 Laporan Penilaian Keenam IPCC yang juga Peneliti Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Intan Suci Nurhati, menambahkan, laporan IPCC menyingkap pemanasan laut yang makin cepat. Namun, tingkat pemanasan laut ini memiliki perbedaan di setiap regional.
”Daerah di Samudra Hindia tercatat pemanasannya lebih tinggi. Namun, terdapat juga daerah laut yang pemanasannya lebih rendah karena adanya sirkulasi laut di wilayah tersebut. Secara umum, diproyeksikan 83 persen wilayah laut dunia akan memanas selama abad ke-21 di semua skenario,” tuturnya.
Emisi Indonesia
Direktur Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan Monitoring Pelaporan Verifikasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Syaiful Anwar mengatakan, untuk mengetahui komitmen penurunan emisi setiap negara perlu melakukan inventarisasi gas rumah kaca. Hal ini sekaligus menyediakan informasi pencapaian penurunan emisi dari kegiatan mitigasi perubahan iklim nasional.
Saat ini, Indonesia telah menginventarisasi emisi gas rumah kaca (GRK) nasional tahun 2018. Sementara untuk tahun 2019 masih dalam proses kalkulasi. Tren emisi GRK nasional selama 18 tahun sejak 2000 hingga 2018 fluktuatif. Peningkatan emisi yang signifikan terjadi pada 2010-2015. Emisi mulai turun pada 2016, tetapi kembali naik pada 2017 dan 2018.
Emisi GRK pada 2018 tercatat 1.637 megaton setara karbon dioksioda (MtonCO2e) atau 12,13 persen di bawah pemodelan business as usual (BAU). Nilai emisi BAU 2018 mencapai 1.863 MtonCO2e. Namun, penurunan terhadap BAU ini masih belum mencapai target kontribusi nasional penurunan emisi sesuai Kesepakatan Paris (NDC) 2018 yang sebesar 24 persen.