Kebutuhan akan peraturan atau pedoman pelaksanaan jaminan perlindungan bagi pejuang lingkungan di Indonesia mendesak untuk diterbitkan karena sampai saat ini aturan anti-SLAPP belum terlaksana dengan baik.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perlindungan terhadap hak asasi bisa berelasi dengan kondisi lingkungan. Ini karena perlindungan pada hak asasi, terutama masyarakat terdampak, aktivis, pembela, dan pejuang lingkungan, akan turut mengerem potensi kerusakan lingkungan.
Guru Besar Hukum Lingkungan Universitas Indonesia Andri G Wibisana mengemukakan, kerusakan lingkungan menjadi lebih buruk ketika terjadi di negara dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM) yang rendah. Kerusakan lingkungan dapat dianggap pelanggaran HAM dan dalam praktiknya kerap disertai pelanggaran lainnya.
”Perlindungan hukum terhadap HAM bisa menjadi cara yang efektif untuk mewujudkan perlindungan lingkungan. Dalam konteks ini, perlindungan lingkungan dimasukkan sebagai bagian dari HAM yang tidak bisa dihilangkan,” ujarnya dalam webinar ”Penguatan Mekanisme Anti-SLAPP dalam Sistem Hukum Indonesia”, Senin (30/8/2021).
Menurut Andri, saat ini sudah banyak ketentuan di Indonesia yang mengatur perlindungan lingkungan dan para pembelanya, mulai dari konstitusi, undang-undang, hingga peraturan menteri. Namun, ketentuan tersebut belum terlaksana dengan baik, khususnya terkait peradilan pidana.
Dia mencontohkan kasus perusakan pagar saat menentang rencana perusahaan membuat proyek yang mengubah waduk di Surabaya. Ada juga kasus menentang rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara di Indramayu dan penolakan izin pertambangan di Surabaya.
Intimidasi pidana
Pengajar Hukum Lingkungan Universitas Gadjah Mada, I Gusti Agung Wardana, mengatakan, kajian yang dilakukan pada 55 kasus intimidasi hukum selama 2011-2021 menemukan 95 persen menggunakan prosedur pidana dan 5 persen memakai perdata. Kasus intimidasi hukum terbanyak berada di Jawa (37 persen), Sumatera (25 persen), dan masing-masing 17 persen di Kalimantan dan Sulawesi.
”Para pembela lingkungan dijerat mulai dari kejahatan terhadap keamanan dan simbol negara, ketertiban umum, pemalsuan surat, pencurian, hingga keimigrasian. Kejahatan terhadap ketertiban umum menjadi kejahatan yang paling banyak dituduhkan karena sebagian besar tuduhan tersebut terjadi saat pembela lingkungan melakukan protes dengan jalan demonstrasi atau blokade,” katanya.
Berkaca dari beberapa kasus tersebut, baik Andri maupun Wardana menegaskan sangat mendesak untuk menerbitkan peraturan atau pedoman pelaksanaan jaminan bagi pembela lingkungan di Indonesia. Sebab, secara hukum internasional, hal ini diminta dalam beberapa deklarasi, laporan spesial, hingga pedoman Program Lingkungan PBB (UNEP).
Secara hukum nasional, perlindungan ini memiliki landasan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Secara eksplisit, perlindungan bagi pembela lingkungan ini pun telah dinyatakan dalam Pasal 66 UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH).
”Dalam UUPLH secara eksplisit terdapat jaminan bahwa pembela lingkungan tidak bisa dipidana atau digugat yang tertuang dalam Pasal 66. Jadi, sebenarnya pedoman ini seharusnya sudah secepatnya kita buat,” ungkap Andri.
Lanjutkan pembahasan
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Lingkungan Hidup Indonesia (ICEL) Raynaldo Sembiring mengatakan, aturan tentang pembungkaman masyarakat (SLAPP) bukan hanya menyangkut pembela lingkungan saja. Namun, aturan ini juga menyangkut seluruh masyarakat yang ingin menggunakan haknya yang sudah dijamin konstitusi dan peraturan perundang-undangan.
”Dalam beberapa kali advokasi yang telah dilakukan ICEL, sudah banyak perkembangan yang terjadi terkait ketentuan SLAPP. Terdapat juga putusan pengadilan pidana yang sudah mengakamodasi anti-SLAPP dan memberikan perlindungan hukum bagi korban atau pejuang lingkungan,” katanya.
Ia pun menegaskan, aturan anti-SLAPP memiliki urgensi besar dalam hukum pidana dan perdata di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah perlu memperjuangkan aturan anti-SLAPP mengingat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sudah memiliki agenda untuk meningkatkan dan melindungi partisipasi publik.
”Pemerintah sudah sejak lama ada rancangan peraturan anti-SLAPP. Kami berharap pemerintah bisa terus melanjutkan pembahasan dan segera disahkan agar peraturan menteri tentang anti-SLAPP ini bisa menjadi satu fondasi baru bagi perlindungan partisipasi publik dan demokrasi lingkungan di Indonesia,” ucap Raynaldo.