Tingkatkan Asupan Pangan Lokal untuk Atasi Kekurangan Gizi
Kekurangan nutrisi pada anak balita di daerah prioritas penurunan tengkes dapat diatasi dengan meningkatkan asupan pangan lokal padat gizi dari protein hewani, sayur, dan buah.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anak balita di daerah prioritas penurunan tengkes atau stunting mayoritas mengalami kekurangan nutrisi atau zat gizi berupa besi, seng, kalsium, dan folat. Masalah ini dapat diatasi dengan meningkatkan asupan pangan lokal padat gizi dari protein hewani, sayur, dan buah.
Peneliti di Southeast Asian Ministers of Education Organization Regional Center for Food and Nutrition (Seameo-Recfon), Umi Fahmida, mengatakan, sejak 2005 Seameo-Recfon sudah mengembangkan panduan gizi seimbang berbasis pangan lokal (PGS-PL). Pendekatan ini dapat mengoptimalkan asupan gizi dengan ketersediaan pangan dan pola konsumsi.
”Pada Februari hingga Agustus 2020, Seameo-Recfon, didukung Kementerian Kesehatan dan mitra akademik, bersama-sama melakukan penyusunan PGS-PL di 37 kabupaten prioritas tengkes. Kami menyusunnya dengan menggunakan data pemantauan gizi dari Kemenkes,” ujarnya dalam diskusi tentang pemanfaatan pangan lokal untuk sistem pangan berkelanjutan, Selasa (24/8/2021).
Berdasarkan hasil pemetaan, anak balita di 37 kabupaten prioritas tengkes mayoritas mengalami kekurangan zat gizi berupa besi, seng, kalsium, dan folat. Setelah dikelompokkan, kekurangan nutrisi pada anak balita ini juga terjadi di daerah yang masuk kategori tahan pangan. Artinya, potensi lokal daerah tersebut yang memungkinkan dimanfaatkan untuk memenuhi asupan nutrisi anak balita belum dioptimalkan.
Kekurangan nutrisi pada anak balita bisa dipenuhi dengan pangan lokal padat gizi yang tersedia di daerah tersebut. Nutrisi untuk protein, zat besi, seng, kalsium, dan folat dapat dipenuhi lewat asupan daging unggas atau sapi, ikan atau hasil laut, telur, hati, kacang hijau, bayam, dan pepaya.
”Sudah semakin banyak bukti ilmiah yang menyatakan bahwa daerah atau negara dengan konsumsi protein hewani tinggi relatif lebih rendah prevalensi stunting-nya. Protein hewani tidak hanya dapat mencegah tengkes secara fisik, tetapi juga kognitif,” katanya.
Selain itu, Seameo-Recfon juga telah mengidentifikasi sejumlah resep padat gizi sesuai pangan lokal yang kaya akan nutrisi. Resep tersebut antara lain pliek-u hati ayam atau udang dan daun melinjo (Aceh Timur, Aceh), gehu hati ayam (Majalengka, Jabar), pecel tumpang (Kediri, Jatim), binte biluhuta ikan (Parigi Moutong, Sulteng), nasi lapola ikan (Kepulauan Aru, Maluku), dan aunu senebre teri (Mamberamo Tengah, Papua).
Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah mengatakan, kedaulatan pangan harus dimulai dari desa karena sampai saat ini masih banyak wilayah yang masih krisis pangan bernutrisi. Di sisi lain, ketahanan pangan lokal juga dapat menjadi solusi ketika terjadi kendala distribusi seperti saat pandemi.
”Indonesia salah satu negara yang beruntung karena memiliki keragaman pangan dan sistem pangan yang luar biasa. Di setiap wilayah dengan sosial budaya yang berbeda memiliki pangan khas masing-masing. Negara yang memiliki keragaman pangan dan tidak bergantung pada pangan global terbukti tahan dari pandemi atau bencana,” ucapnya.
Sudah semakin banyak bukti ilmiah yang menyatakan bahwa daerah atau negara dengan konsumsi protein hewani tinggi relatif lebih rendah prevalensi stunting-nya.
Menurut Said, kedaulatan pangan di tingkat lokal hingga pusat seharusnya dimulai dari terpenuhinya akses para produsen pangan pada lahan, teknologi, sarana dan prasarana, hingga pemasaran. Kedaulatan pangan tidak hanya sekadar mengejar peningkatan produksi, tetapi juga harus ada dimensi keberlanjutan dari sisi ekonomi, sosial, dan lingkungan.
”Agar memiliki kedaulatan, petani perlu menguasai dan memiliki posisi yang kuat dari sisi pasar. Jadi, konsep pasar berbasis hak seharusnya mulai muncul dan ditegakkan. Selain produksi, arah konsumsi pangan lokal dan beragam juga harus terus didorong,” katanya.
Konsumsi pangan
Kepala Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian Andriko Noto Susanto mengatakan, situasi konsumsi pangan khususnya pola pangan harapan (PPH) Indonesia selama lima tahun terakhir masih belum optimal. Meski setiap tahun cenderung naik, konsumsi pangan hewani belum mencapai angka 100 persen.
”Konsumsi beras saat ini sudah menurun dan harus diikuti peningkatan konsumsi pangan lokal seperti talas, pisang, kentang, sagu, dan jagung. Namun, setelah kami hitung, produksi pangan lokal tidak mencukupi saat terjadi peningkatan konsumsi. Oleh karena itu, produksi perlu ditingkatkan,” ungkapnya.
Guna mencapai kedaulatan, saat ini BKP telah menjalankan sejumlah program peningkatan ketersediaan pangan, antara lain peningkatan kapasitas produksi, diversifikasi pangan lokal, penguatan cadangan dan sistem logistik, pengembangan pertanian modern, serta gerakan tiga kali ekspor.