Harga Tes PCR Turun, tetapi Tes dan Lacak Tidak Membaik
Penurunan harga tes PCR mesti diimbangi dengan peningkatan pemeriksaan dan pelacakan kasus Covid-19. Tanpa upaya itu, situasi pandemi di sejumlah daerah sulit dikendalikan.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penurunan harga pemeriksaan dengan metode reaksi berantai polimerase (PCR) tidak secara otomatis bisa memutus rantai penularan Covid-19. Pemerintah harus memperbanyak tes gratis dan mempercepat prosesnya dalam rangka pelacakan dan upaya penemuan kasus.
”Kami menerima banyak keluhan warga terkait tes PCR. Untuk tes mandiri masih terlalu mahal, sedangkan tes gratis oleh puskesmas amat terbatas, lama pelaksanaannya, dan hasilnya juga lama keluar,” kata Amanda Tan dari LaporCovid-19, di Jakarta, dalam diskusi daring, Jumat (20/8/2021).
Menurut Amanda, banyak warga yang memiliki kontak erat dan bahkan bergejala Covid-19 meminta tes PCR melalui puskesmas tetapi tidak mendapatkan respons seperti yang dilaporkan warga dari Sukabumi dan Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 19 Juni 2021. Bahkan, situasi ini juga dialami warga di Jakarta, sebagaimana dilaporkan pada 7 Juli 2021.
”Ini hari ketujuh saya isoman (isolasi mandiri). Belum kunjung dihubungi oleh satgas (satuan tugas) untuk jadwal tes PCR,” sebut salah satu pelapor, sebagaimana dipresentasikan Amanda. Padahal, sebelumnya pelapor ini sudah menjalani tes antigen mandiri dengan hasil reaktif dan melaporkan hasilnya beserta identitas dan nomor kontak ke puskesmas terdekat.
Laporan yang diterima LaporCovid-19 dari warga Kota Surabaya, Jawa Timur, 15 Juli 2021, menyebutkan, hasil tes belum keluar setelah seminggu menjalani tes. Padahal, warga tersebut telah menjalani isolasi mandiri dan membutuhkan hasilnya untuk kepentingan pelacakan riwayat kontak ke keluarganya. ”Saya memiliki bayi dan khawatir pada kondisi bayi saya, sedangkan hasil tes PCR dari puskesmas belum juga keluar,” tulis pelapor.
Lamanya hasil pemeriksaan PCR ini, lanjut Amanda, mempersulit upaya memutus rantai penularan dan bisa membahayakan pasien. Seorang pelapor di Kota Bekasi, misalnya, tak bisa pergi ke rumah sakit padahal sudah sesak napas karena harus menunggu hasil tes yang sudah lima hari belum keluar.
”Penurunan harga tes PCR mandiri tidak otomatis meningkatkan tes untuk kepentingan pelacakan kasus. Pemerintah harus meningkatkan kapasitas pemeriksaan gratis bagi masyarakat untuk memenuhi janji Menteri Kesehatan melakukan tes 400.000 per hari,” katanya.
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, jumlah kasus Covid-19 di Indonesia bertambah 20.004 kasus pada Jumat (20/8). Jumlah kasus aktif turun 7.466 orang sehingga total menjadi 327.286 kasus. Namun, angka kematian harian masih tinggi, yaitu bertambah 1.348 korban jiwa, sehingga total menjadi 123.981 orang.
Penambahan kasus harian ini didapatkan dari pemeriksaan terhadap 113.847 orang dan hanya 38.095 orang yang diperiksa dengan PCR dan tes cepat molekuler (TCM). Dengan jumlah pemeriksaan ini, tingkat kepositifan mencapai 35.69 persen.
Penurunan harga tes PCR mandiri tidak otomatis meningkatkan tes untuk kepentingan pelacakan kasus. Pemerintah harus meningkatkan kapasitas pemeriksaan gratis bagi masyarakat.
Epidemiolog Griffith University, Dicky Budiman, mengatakan, rendahnya kasus harian, namun angka kematian tetap tinggi menunjukkan adanya masalah dalam pendataan dan menjadi sinyal banyaknya kasus yang tidak ditemukan karena keterbatasan tes dan lacak. Kondisi ini juga bisa dilihat dari masih tinggi tingkat kepositifan dari pemeriksaan.
Apalagi saat ini wabah menyebar ke luar Jawa yang kapasitas tes dan lacak semakin terbatas. Ini bisa berisiko meningkatkan angka kematian secara nasional walaupun kasus seolah-olah sudah turun. Angka kematian yang tidak terdata juga bisa lebih banyak,” tuturnya.
Kepentingan bisnis
Dalam diskusi ini, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah, mengatakan, tingginya biaya tes Covid-19 dengan metode PCR sangat menguntungkan pelaku usaha, tetapi memberatkan masyarakat.
Dia mempertanyakan besarnya keuntungan yang diperoleh penyedia tes PCR sebelum penurunan harga. Sebelumnya, berdasarkan Surat Edaran Nomor HK.02.02/I/3713/2020 yang ditandatangani Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Abdul Kadir, 5 Oktober 2020, tarif tes PCR tertinggi Rp 900.000.
Pemerintah kemudian memberlakukan tarif baru tes PCR Rp 495.000 untuk Pulau Jawa dan Bali serta Rp 525.000 di luar Pulau Jawa dan Bali sesuai Surat Edaran Nomor HK.02.02/I/2845/2021 yang ditandatangani Abdul Kadir pada 16 Agustus 2021.
”Kami mohon agar semua fasilitas kesehatan, seperti rumah sakit, laboratorium, dan fasilitas pemeriksaan lainnya yang telah ditetapkan menteri, dapat memenuhi batas tertinggi tersebut. Hasil pemeriksaan real time PCR memakai besaran tarif tertinggi itu dikeluarkan dengan durasi maksimal 1 x 24 jam dari pengambilan swab,” ujar Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Abdul Kadir di Jakarta, Senin (16/8/2021).
Perubahan batas atas tarif tes PCR ini, kata Kadir, disebabkan adanya penurunan harga reagen dan bahan aktif yang digunakan dalam tes tersebut. Besaran tersebut juga sudah menghitung total biaya operasional, seperti pembelian alat, harga reagen, biaya sumber daya manusia, depresiasi alat, dan pengeluaran tambahan yang diperlukan (Kompas.id, 16 Agustus 2021).
Dalam rentang waktu pemberlakuan tarif tertinggi tersebut yakni bulan Oktober 2020 hingga Agustus 2021 terdapat 25.840.025 spesimen yang diperiksa di sejumlah laboratorium. ”Perhitungan secara kasar atau jika kita mengalkulasi jumlah spesimen yang diperiksa oleh laboratorium dikalikan dengan tarif pemeriksa Rp 900.000, hasilnya kita melihat setidaknya ada perputaran uang dalam konteks pemeriksa PCR sekitar Rp 23,2 triliun,” ujarnya.
Wana menambahkan, sekalipun biaya tes PCR sudah diturunkan, nilainya masih relatif mahal dibanding negara lain, seperti India, China, Jepang, Yunani, Italia, Turki, Vietnam, dan Sri Lanka. Di India, biaya tes mandiri untuk PCR hanya sekitar Rp 190.000. ”Seharusnya ada informasi mengenai batasan keuntungan yang dapat diperoleh oleh penyedia jasa layanan,” kata Wana.