Biaya PCR di India Hanya Sepersembilan di Indonesia
Tarif tes PCR yang terjangkau akan membantu penanganan pandemi Covid-19 secara umum. Sayangnya, komponen alat tes yang masih impor membuat tarif tes PCR di dalam negeri tergolong tinggi.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Pemerintah diminta melakukan intervensi terkait lebih mahalnya biaya tes polimerase rantai ganda atau PCR dan antigen untuk Covid-19 di laboratorium swasta dibandingkan di negara tetangga. Untuk kepentingan penelusuran epidemiologis, tes PCR dan antigen gratis perlu diperbanyak cakupannya.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, Tjandra Yoga Aditama, di Jakarta, Sabtu (14/8/2021), mengatakan, dibandingkan India, biaya tes PCR di Indonesia jauh lebih mahal.
”Pada September 2020, ketika akan pulang ke Jakarta dari New Delhi, saya melakukan tes PCR sebelum terbang, petugasnya datang ke rumah saya dan biayanya 2.400 rupee atau Rp 480.000. Waktu itu tarif tes PCR di negara kita masih lebih dari Rp 1 juta,” katanya.
Menurut Tjandra, pada November 2020 Pemerintah Kota New Delhi menetapkan harga baru yang jauh lebih rendah lagi, yaitu 1.200 rupee atau Rp 240.000, turun separuhnya dari tarif di September 2020. Pada November 2020, tarif PCR adalah 800 rupee atau Rp 160.000 untuk pemeriksaan di laboratorium dan RS swasta.
Tjandra menambahkan, pada awal Agustus 2021, Pemerintah Kota New Delhi kembali menurunkan lagi patokan tarifnya, menjadi 500 rupee atau Rp 100.000. ”Kalau pemeriksaannya dilakukan di rumah klien, tarifnya adalah 700 rupee atau Rp 140.000. Sementara itu, tarif pemeriksaan rapid antigen adalah 300 rupee atau Rp 60.000,” katanya.
Selain lebih murah, menurut Tjandra, pemeriksaan PCR di India juga jauh lebih cepat dengan hasil maksimal satu kali 24 jam. Hasil pemeriksaan juga langsung dilaporkan ke portal pemerintah yang dikelola oleh Indian Council of Medical Research (ICMR). ”Datanya segera dikompilasi di tingkat nasional dan mencegah keterlambatan pelaporan,” katanya.
Menurut Tjandra, kemungkinan ada subsidi dari pemerintah India untuk menekan biaya tes sebagai bagian dari penanggulangan pandemi. ”Kalau harga tes lebih murah, jumlah tes di negara kita juga dapat lebih banyak sehingga lebih mudah mengendalikan penularan di masyarakat,” katanya.
Dibandingkan Indonesia, menurut Tjandra, harga obat-obatan di India juga jauh lebih murah. ”Kemungkinan lain ada fasilitas keringanan pajak, selain juga lebih murahnya bahan baku untuk industri dan setersediaan tenaga kerja yang besar jumlahnya,” katanya.
Bisa lebih murah
Pada Oktober 2020, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah menetapkan batas atas pemeriksaan PCR di laboratorium swasta sebesar Rp 900.000. Namun, dalam praktiknya, masih banyak yang mematok tarif di atas Rp 1 juta, terutama jika hasilnya bisa diterima dalam waktu 24 jam.
Praktisi laboratorium tes PCR di Jakarta Ungke Anton Jaya mengatakan, mahalnya biaya tes Covid-19 di Indonesia karena semua komponennya impor. ”Bahkan ujung pipet plastik untuk menyedot reagen saja impor. Setahu saya tidak ada komponen untuk tes PCR yang dibuat di dalam negeri,” katanya.
Dengan jumlah pemakai tes yang sudah jauh lebih banyak, biaya tes PCR di Indonesia sebenarnya masih bisa diturunkan. ”Dulu Rp 900.000 saya kira masih wajar karena awal pandemi semua terbatas dan suplai kurang. Sekarang kondisi sudah berbeda,” katanya.
Namun, menurut Ungke, biaya tes PCR di Indonesia tetap tidak akan bisa semurah India yang bisa Rp 150.000-Rp 200.000. India punya produksi sendiri, banyak reagen dan berbagai peralatan laboratorium dari plastik,” katanya.
Bahkan ujung pipet plastik untuk menyedot reagen saja impor. Setahu saya tidak ada komponen untuk tes PCR yang dibuat di dalam negeri.
Peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan di Papua Hana Krismawati mengatakan, harga reagen dan komponen lainnya di Jakarta bisa Rp 200.000. Di Bali bisa 300.000. Sementara untuk ekstraksi paling murah sekitar Rp 80.000. Selain itu, ada biaya tenaga kerja, termasuk komponen alat perlindungan diri (APD) staf.
”Selain karena hampir semua bahan impor, di Indonesia ada mekanisme lelang dan pengadaan yang menuntut pihak ketiga. Jadi tidak bisa beli langsung dari suplier pertama, itu ada undang-undangnya. Sudah tiga tahun berkutat dengan pengadaan reagen penelitian menghadapi masalah ini,” katanya.
Septian Hartono, praktisi kesehatan Indonesia yang bekerja di Singapura dan menjadi Kolaborator KawalCovid-19 mengatakan, Indonesia harus mengombinasikan penggunaan antigen dan PCR untuk meningkatkan pemeriksaan. ”Kalau untuk penelusuran epidemiologis di Singapura, misalnya orang punya riwayat kontak atau tinggal di area yang ada kasusnya, pasti akan dites PCR gratis,” katanya.