Pandemi Covid-19 mengingatkan masyarakat Punan Tubu di Kabupaten Malinau akan kelapit, penyakit menular yang jadi momok di masa lalu. Namun, tradisi mufut, masuk ke hutan untuk menghindarinya, tidak mudah dilakukan.
Oleh
Ahmad Arif
·6 menit baca
Saat pandemi Covid-19 baru merebak pada awal 2020, para tetua Punan Tubu telah mengingatkan, penyakit ini mirip dengan kelapit. Kalau mau selamat, harus mengindar ke dalam hutan. ”Penyakit (Covid-19) beginilah yang membuat mamak moyang dulu lari jauh ke dalam hutan. Orangtua kami menyebutnya kelapit. Diceritakan orangtua, kalau terjadi kelapit, orang sehat hari ini, besok bisa sakit dan mati,” kata Toni Ucang (43), tokoh adat dan Ketua RT 005 Desa Respen Tubu, Malinau Utara, Kalimantan Utara.
Respen, kependekan dari resettlement penduduk, merupakan program di era Orde Baru untuk memindahkan masyarakat adat yang hidup di hutan ke perkampungan. Pemindahan Punan Tubu, yang semula tinggal di hulu Sungai Tubu ke pinggiran Kota Malinau pada 1970-an, merupakan bagian dari program ini.
Kajian Lars Kaskija dari Center for International Forestry Research (2002), hingga tahun 1990 sekitar 1.200 orang Punan Tubu telah pindah ke Respen Tubu, sekitar 600 orang bertahan di sekitar aliran Sungai Malinau, sekitar 500 orang tinggal di bagian hulu Sungai Malinau, termasuk Sungai Ran dan Hong, serta 450 orang lainnya di hulu Sungai Tubu. Keluarga Toni termasuk yang pindah ke Desa Respen Tubu di awal program ini.
Penyakit (Covid-19) beginilah yang membuat mamak moyang dulu lari jauh ke dalam hutan. Orangtua kami menyebutnya kelapit. Diceritakan orangtua, kalau terjadi kelapit, orang sehat hari ini, besok bisa sakit dan mati.
Sebelum wabah, sebagian warga Desa Respen Tubu sebenarnya mengalami dilema. Studi Patrice Levang (2009) menunjukkan, pemindahan masyarakat ke Respen Tubu memberikan perbaikan ekonomi dan pendidikan. Namun, generasi tua kecewa dengan hilangnya kebudayaan Punan, seperti tidak ada lagi tradisi berbagi daging hasil buruan dan hilangnya akses terhadap hutan yang jadi penyangga kehidupan.
Selain itu, anak-anak yang telah mendapatkan pendidikan belum tentu bisa mendapatkan pekerjaan. Situasi ini dipersulit dengan munculnya banyak kasus sengketa dengan masyarakat lokal lain. Lahan garap yang dulu diberikan pemerintah ketika awal pindah ke Desa Respen saat ini digugat oleh masyarakat Dayak lain. Keinginan untuk kembali ke pedalaman pernah disuarakan para tokoh Punan Tubu dalam pertemuan adat pada 21-25 Mei 2018.
Munculnya wabah Covid-19 membuat banyak warga kembali masuk hutan. ”Kalau ada wabah, kami diajarkan segera menjauh. Mereka yang sakit akan ditinggalkan di satu tempat. Di jalan menuju yang sakit ini diberi ranting tanda X,” katanya.
Komunikasi dengan ranting merupakan salah satu pengetahuan lokal yang dipraktikkan di kelompok suku Punan, atau di Malaysia disebut suku Penan. Guy Arnold dalam laporannya di jurnal Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society pada 1958 telah menyebutkan, orang suku Penan di Serawak juga menggunakan ranting untuk berkomunikasi.
Salah satu bahasa simbol itu, jika ada orang yang sakit, di jalan menuju goa tempat tinggal mereka akan ditaruh ranting dengan daun yang telah diberi lubang yang menandai identitas pasien guna memperingatkan kelompok mereka agar tidak mendekat. Cara yang sama, dengan simbol berbeda, dibuat jika mereka membutuhkan bantuan, khususnya makanan.
Masuk hutan
Toni mengatakan, jika ada wabah besar seperti kelapit, orang Punan Tubu akan berpindah tempat tinggal. Hal itu pula yang dilakukan mereka di Desa Respen Tubu. ”Tradisi masuk hutan karena menghindari kelapit ini kami sebut mufut,” kata Toni. ”Namun, saat ini tak mudah lagi kembali tinggal di hutan. Kami sudah kehilangan hutan adat.”
Meili Meatius (39), istri Toni, mengisahkan perjuangan keluarga mereka yang mengungsi ke hutan sejak Maret 2020. Sebelumnya, mereka harus membeli lahan hutan 2 hektar seharga Rp 20 juta dari orang Abai Subuak di hulu Sungai Warot, sekitar 4 jam berperahu dari rumahnya di Respen Tubu.
Meili membawa ketiga anaknya, termasuk ayam dan babi piarannya, ke hutan. Mereka kemudian membuat pondok kayu, membuka ladang dan menanam singkong, ubi, jagung, dan sayur-mayur. ”Anak-anak terpaksa berhenti sekolah,” ujarnya.
Meili menambahkan, untuk memenuhi kebutuhan keluarga, mereka juga masih harus turun ke kota. ”Kami ini kesulitan hidup seperti dulu karena sudah tergantung gula-garam. Malam biasanya lelaki turun belanja, menunggu sepi,” ucapnya.
Tradisi mufut ini dijalani Toni dan keluarga hingga akhir 2020. Memasuki awal tahun baru 2021, Toni dan sebagian besar penduduk kembali ke Respen Tubu. ”Anak-anak mulai tidak tahan. Lagi pula, di hutan tidak banyak hewan buruan, apalagi baru-baru ini ada penyakit yang menyebabkan ternak babi mati,” kata Toni.
Meski demikian, begitu mereka kembali ke Respen Tubu, wabah Covid-19 kembali menguat dan mencapai puncaknya sejak pertengahan Juli 2021. ”Keluarga kami akhirnya terkena juga. Awalnya istri saya menjenguk saudara yang sakit, lalu dia juga sakit, kemudian menular ke saya, mertua, anak-anak, dan ipar,” kata Toni.
Toni mulai merasakan gejala sakit sejak 27 Juli 2021. ”Selama hidup tidak pernah merasakan sakit begini. Awalnya demam dan lemas. Lalu makan tidak berasa, penciuman juga hilang. Paling parah seminggu, tetapi sampai sekarang penciuman belum pulih,” tuturnya.
Sebagaimana mayoritas warga Respen Tubu, Toni takut memeriksakan diri dan berobat ke rumah sakit. Dia lebih mengandalkan obat-obatan dari ramuan tradisional. ”Orang sini rata-rata takut ke rumah sakit. Banyak orang ke rumah sakit meninggal. Makanya, kami takut,” ucapnya.
Selain bias informasi ini, banyak orang lebih mengandalkan pengobatan tradisional karena memang tak memiliki akses ke fasilitas kesehatan. ”Sekarang wabah ini sudah terjadi jauh di pedalaman. Orang-orang Punan Tubu di hulu sungai, seperti di Desa Rian (sekitar 10 jam berperahu dari Malinau) juga sudah banyak kena. Kami mau mufut juga bingung, ke mana yang aman? Sekarang tinggal yang kuat dan sehat saja yang selamat,” tuturnya.
Jauh ke pedalaman
Sebaran wabah Covid-19 memang telah mencapai jauh ke pedalaman yang terbatas fasilitas kesehatannya. Kepala Puskesmas Long Sule Tri Bekti mengatakan, sebanyak 44 warga di desanya baru-baru ini terkonfirmasi Covid-19 melalui tes antigen. ”Semuanya bergejala dan 27 orang sudah sembuh, satu meninggal. Lainnya masih isolasi mandiri,” ucapnya.
Long Sule di Kecamatan Kayan Hilir, Kabupaten Malinau, merupakan desa yang dihuni sekitar 1.000 masyarakat adat Punan Aput. Desa ini hanya bisa ditempuh dengan pesawat perintis atau jalan darat disambung perahu selama seminggu lebih, tergantung cuaca.
Seperti Punan Tubu, leluhur Punan Aput dulu hidup berpindah-pindah di dalam hutan dan baru mulai menetap di satu desa sekitar tahun 1970-an. Sekalipun terisolasi, penyakit modern seperti Covid-19 ternyata mencapai ke sana.
Penambangan emas, yang bisa dicapai sekitar dua hari jalan kaki dari Long Sule, diduga menjadi titik awal masuknya wabah. Di lokasi tambang ini berkumpul banyak orang dari berbagai daerah. ”Mereka yang baru tiba dengan pesawat kami terapkan karantina dan hari kelima wajib tes antigen. Dugaan kami Covid-19 ini awalnya dari warga yang pulang diam-diam dari lokasi tambang,” kata Tri.
Tri kini hanya bisa berharap agar kasus Covid-19 tidak meluas dan pasien sudah terpapar tidak mengalami perburukan. Selain karena keterbatasan alat tes, oksigen, dan obat-obatan, di puskesmasnya juga tidak ada dokter. Sementara itu, membawa pasien ke kota jelas tidak mungkin.
Maka, seperti disampaikan Toni, bagi masyarakat Punan yang tinggal di pedalaman, wabah penyakit ini akan menjadi ujian bagi daya tahan tubuh. ”Semoga kami bisa menghadapi kelapit ini...,” kata Toni.