Selama masa transisi pembentukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) tidak ada perubahan signifikan yang terjadi dalam proses pengembangan dan riset di bidang ketenaganukliran.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Amanat undang-undang untuk mengintegrasikan seluruh lembaga penelitian diharapkan bisa terealisasi dengan baik. Meski bukan perkara mudah, upaya tersebut perlu segera dijalankan. Melalui integrasi, ekosistem riset di Indonesia diharapkan bisa berkelanjutan sehingga mampu mendukung kemajuan bangsa.
Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Anhar Riza Antariksawan saat diwawancarai secara virtual di Jakarta, Selasa (10/8/2021), mengatakan, pembentukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Dalam kebijakan tersebut dinyatakan seluruh kegiatan pengembangan, pengkajian, penerapan, dan inovasi akan diintegrasikan.
Bersamaan dengan kebijakan tersebut, Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2013 tentang Badan Tenaga Nuklir Nasional pun dicabut. Batan pun tidak lagi menjadi badan pelaksana ketenaganukliran. Badan pelaksana saat ini langsung berada di Kepala BRIN sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2021 tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional.
”Dalam proses transisi ini tidak akan banyak yang berubah karena pasti akan berat. Para peneliti pun pada prinsipnya akan tetap pada tempatnya. Pusat-pusat penelitian di Batan pun akan tetap kita pertahankan. Namun terkait kepegawaian sudah ada di Kepala BRIN,” katanya.
Anhar menyampaikan, aspek dasar dari teknologi nuklir juga akan dipertahankan. Itu terkait keselamatan (safety), perlindungan (safeguards), serta security (keamanan) dari bahan nuklir dan fasilitas nuklir. Selama ini, pemegang izin untuk penggunaan bahan nuklir ada di Batan. Dengan integrasi lembaga penelitian, kepastian akan hal tersebut perlu segera ditentukan.
Saat ini, pemetaan akan sumber daya manusia di Batan juga masih berlangsung. Kegiatan pengembangan varietas unggul yang sudah berjalan juga tetap perlu dipertahankan. Dengan integrasi yang dilakukan, diharapkan kegiatan iptek nuklir tidak justru menurun.
Dalam proses transisi ini tidak akan banyak yang berubah karena pasti akan berat. Para peneliti pun pada prinsipnya akan tetap pada tempatnya. Pusat-pusat penelitian di Batan pun akan tetap kita pertahankan.
Selain itu, Anhar menambahkan, kerja sama internasional yang melibatkan Batan pun masih dilanjutkan. Kerja sama tersebut antara lain kerja sama bilateral safeguards dengan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA).
”Kami sekarang tinggal menunggu kepastian dari tata laksana dan kelembagaan (TLK) dari BRIN. Itu termasuk pada aturan terkait OPL (organisasi pelaksana litbangjirap/organisasi riset) yang akan dibentuk,” ujarnya.
Fokus riset
Anhar mengungkapkan, fokus riset yang dijalankan pasca-pembentukan BRIN tidak akan berubah. Prioritas riset akan tetap mengacu pada Prioritas Riset dan Inovasi Nasional (PRIN) 2020-2024. Setidaknya ada tiga bidang yang terkait dengan Batan, yakni bidang energi khususnya pembangkit listrik tenaga nuklir, bidang pembangunan sistem pemantau radiasi lingkungan, serta bidang radioisotop dan radiofarmaka.
Ditargetkan pula akan ada satu fasilitas iradiator tambahan yang dibangun. Saat ini baru ada satu iradiator, yakni iradiator gama merah putih.
Anhar menyampaikan, pembentukan BRIN memberikan harapan besar untuk menyinergikan kekuatan riset nasional, baik dari sisi anggaran maupun sumber daya. Diharapkan pula fasilitas riset bisa semakin diperbaiki dan diperbanyak. Target-target riset pun bisa lebih fokus sesuai dengan yang dibutuhkan untuk pembangunan nasional.
”Dengan disatukan dalam satu komando di BRIN, seharusnya penelitian dan pengembangan riset menjadi lebih baik. Selain itu, cita-cita untuk mewujudkan nuklir untuk Indonesia berdaya saing dan sejahtera juga bisa segera dicapai,” katanya.
Secara terpisah, Kepala BRIN Laksana Tri Handoko mengatakan, secara umum, riset yang dikembangkan akan lebih difokuskan pada hal yang memberikan nilai tambah yang tinggi, terutama yang berasal dari sumber daya alam lokal dan keanekaragaman di Indonesia. Itu seperti keanekaragaman biodiversitas, geografis, laut, observasi angkasa, juga kesenian dan budaya. Itu penting untuk mendukung perekonomian yang lebih maju.
Sementara itu, prioritas riset yang akan dijalankan tetap mengacu pada prioritas riset dan inovasi nasional (PRIN) serta rencana induk riset nasional (RIRN). Untuk jangka menengah, ada sembilan bidang yang akan dijalankan sesuai PRIN, yakni pangan dan pertanian, energi baru dan terbarukan, transportasi, kesehatan dan obat-obatan, teknologi pertahanan, teknik rekayasa, kelautan dan perikanan, sosial humaniora, serta ilmu multidisiplin.
Untuk jangka panjang juga sesuai dengan RIRN, antara lain dengan menargetkan jumlah periset yang bisa mencapai 8.000 periset per 1 juta penduduk dan belanja litbang nasional bisa meningkat sampai 5 persen pada 2045.
”Dalam RIRN kita juga sudah targetkan setidaknya pada 2045, kondisi riset kita sudah seperti Korea Selatan pada 2015,” kata Laksana.
UU Ketenaganukliran
Ihwal ketenaganukliran menjadi salah satu alasan Laksana meminta Perpres Nomor 33 Tahun 2021 tentang BRIN diganti. Ini karena perpres tersebut belum memuat amanat UU Nomor 10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Alasan kedua, perpres belum memuat amanat UU No 21/2013 tentang Keantariksaan.
”Khusus untuk Batan dan Lapan (Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional) ada UU-nya. Diamanatkan di UU itu harus ada operator negara untuk nuklir dan operator negara untuk keantariksaan,” katanya.
Dengan dasar kedua UU tersebut, BRIN menjadi lembaga pemerintah yang akan menjadi operator nuklir dan antariksa. Fungsi operator ini tak bisa diserahkan kepada swasta.