Ekosistem di Indonesia masih belum mendukung kemajuan riset dan inovasi. Kondisi itu mengakibatkan kegiatan riset belum terarah dan kurang efisien dalam menghasilkan karya inovasi yang bermutu.
Oleh
Tim Kompas
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Riset dan inovasi menjadi penentu kemajuan bangsa sehingga patut menjadi landasan pembangunan. Namun, data sejumlah lembaga global menyatakan, RI tertinggal dalam membangun ekosistem pengetahuan dan inovasi.
Meski Indonesia memiliki banyak periset bermutu, itu belum didukung ekosistem yang baik, salah satunya sistem penganggaran yang kaku. Akibatnya, sebagian peneliti memilih berkarya di luar negeri, sedangkan yang bertahan di Indonesia kesulitan menghasilkan karya riset kelas dunia.
”Kita perlu lahan subur dan ekosistem yang baik agar para peneliti kita yang sebenarnya bibit unggul tumbuh baik di negeri sendiri,” kata Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Satryo Soemantri Brodjonegoro di Jakarta, Minggu (8/8/2021). Hari Kebangkitan Teknologi Nasional tiap 10 Agustus diharapkan menjadi momentum membenahi ekosistem riset nasional.
Kita perlu lahan subur dan ekosistem yang baik agar para peneliti kita yang sebenarnya bibit unggul tumbuh baik di negeri sendiri.
Menurut Rencana Induk Riset Nasional 2017-2045, pada 2045 ditargetkan jumlah periset 8.600 orang per 1 juta penduduk, anggaran riset 1,26 persen dari produk domestik bruto, dan pengeluaran domestik bruto untuk riset 5,04 persen. ”Ini sama dengan riset di Korea Selatan pada 2015,” kata Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko, Jumat (6/8).
Ia memaparkan, problem mendasar riset adalah dominasi penelitian oleh pemerintah, bukan swasta. Dari total belanja litbang, 80 persennya pemerintah. Selain itu, belanja litbang tersebar setidaknya di 48 kementerian-lembaga. Karena itu, perlu konsolidasi sumber daya manusia, infrastruktur riset dan anggaran, demi riset yang lebih efisien dan optimal.
Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Anhar Riza Antariksawan menambahkan, pengembangan riset masih parsial di tiap lembaga sehingga menghambat perwujudan ekosistem riset nasional unggul.
Sistem penganggaran
Aspek lain yang berpengaruh adalah penganggaran yang tak memungkinkan riset jangka panjang. Pada akhir tahun ada pertanggungjawaban dan komponen dana terlarang diubah. ”Padahal, riset di bidang apa pun rata-rata jangka panjang karena bisa berhasil atau belum berhasil, hingga ketemu hasilnya bertahun-tahun,” kata Satryo.
AIPI mengusahakan dana hibah bagi periset di Indonesia, hingga pada 2016 lahir Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia (DIPI). Namun, pemerintah belum menyiapkan dana.
Astrid Irwanto, ilmuwan Indonesia yang bekerja di Fakultas Sains National University of Singapore, menuturkan, banyak skema pendanaan bisa diakses peneliti di Singapura. Sekitar 15 tahun lalu, Singapura merekrut banyak peneliti dari luar negeri, termasuk peraih Nobel, untuk memperkuat iklim riset.
Handoko berharap BRIN mampu menyatukan dan mengintegrasikan riset agar hasil inovasi lebih tajam. (AHMAD ARIF/DEONISIA ARLINTA/PRADIPTA PANDU/ESTER LINCE NAPITUPULU)