Warga Berjalan Kaki 1.700 Kilometer Protes Perusahaan Bubur Kertas
Dengan beraksi jalan kaki sejauh lebih dari 1.700 kilometer dari Toba Samosir ke Jakarta, masyarakat mendesak agar Presiden menutup aktivitas TPL.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aksi jalan kaki dari kawasan Danau Toba, Sumatera Utara, menuju Istana Merdeka, Jakarta, dilakukan sebelas warga untuk meminta Presiden Joko Widodo menutup PT Toba Pulp Lestari. Perusahaan bubur kertas yang telah beroperasi selama lebih dari tiga dekade ini dinilai telah merusak lingkungan dan merenggut kesejahteraan masyarakat adat dan lokal lainnya.
Guna menyampaikan aspirasi langsung kepada Presiden, sebelas warga Sumatera Utara melakukan aksi jalan kaki sejauh lebih dari 1.700 kilometer dari Makam Sisingamangaraja XII di Toba Samosir ke Istana Merdeka. Perjalanan tersebut ditempuh selama 44 hari sejak 14 Juni dan tiba di Jakarta pada Selasa, 27 Juli 2021.
Togu Simorangkir, salah satu peserta aksi jalan kaki tersebut, menyampaikan, aksi untuk meminta penutupan PT Toba Pulp Lestari (TPL) merupakan reaksi atas perlakuan semena-mena perusahaan ini terhadap masyarakat adat. Tercatat sejumlah konflik antara perusahaan dan masyarakat sudah terjadi sejak beberapa tahun yang lalu.
AMAN mencatat, terdapat 40 kasus kriminalisasi dan kekerasan terhadap masyarakat adat sepanjang tahun 2020. Dari 40 kasus tersebut, sebanyak 39.069 orang masyarakat adat atau 18.372 keluarga juga telah mengalami kerugian ekonomi, sosial, ataupun moral.
”Jadi, visi dari aksi tutup TPL ini adalah kelestarian Danau Toba untuk kesejahteraan generasi mendatang. Sedangkan misinya, yaitu penyadaran dan kampanye ke publik bahwa Danau Toba sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja,” ujarnya dalam konferensi pers secara daring, Jumat (30/7/2021).
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengatakan, penutupan PT TPL merupakan amanat dari reformasi. Sebab, sejak tahun 1999, perusahaan yang dulunya bernama PT Inti Indorayon Utama ini sudah ditutup karena desakan rakyat. Akan tetapi, pada 2003 perusahaan ini beroperasi kembali dan berganti nama menjadi TPL.
”Masih adanya amanat bagi kita semua bagaimana menegakan amanat reformasi yang sudah dikhianati tersebut dengan cara memperjuangkan penutupan PT TPL. Sebab, sudah tidak terhitung perjuangan dan kekerasan yang dialami masyarakat adat akibat konflik agraria yang diciptakan pemerintah dan perusahaan,” ucapnya.
Dewi menegaskan, pemerintah perlu mendengar aspirasi rakyat di tengah krisis kesehatan, sosial, dan ekonomi yang tengah dihadapi saat ini akibat pandemi. Ketegasan pemerintah dalam mengakui hak-hak masyarakat Toba atas sumber agrarianya akan memberikan keberlanjutan dan semangat ke depan.
”Aksi jalan kaki selama 44 hari ini seharusnya menjadi cerminan bahwa situasi agraria di Indonesia masih belum berpihak kepada rakyat. Padahal, Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang Pokok Agraria mengamanatkan bahwa seluruh sumber tanah dan air harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi mengatakan, perampasan lahan dan pencemaran lingkungan oleh industri merupakan salah satu permasalahan yang dialami seluruh masyarakat adat di Indonesia. Padahal, Undang-Undang Dasar 1945 telah mengakui keberadaan dan hak masyarakat adat.
”Tetapi, sampai detik ini Undang-Undang Masyarakat Adat belum disahkan sehingga pemerintah tidak punya petunjuk bagaimana mengidentifikasi wilayah adat dan memenuhi hak sebagai masyarakat adat. Sedangkan yang terjadi saat ini, berbagai undang-undang lahir sebagai alat untuk menargetkan wilayah-wilayah adat,” katanya.
Menurut Rukka, puluhan kasus perampasan lahan dan kriminalisasi masyarakat adat terus terjadi, bahkan selama pandemi. AMAN mencatat, terdapat 40 kasus kriminalisasi dan kekerasan terhadap masyarakat adat sepanjang tahun 2020. Dari 40 kasus tersebut, sebanyak 39.069 orang masyarakat adat atau 18.372 keluarga juga telah mengalami kerugian ekonomi, sosial, dan moral.
Ketika dikonfirmasi, jajaran PT TPL belum memberikan keterangannya. Namun, dari keterangan resmi melansir kompas.com, Direktur PT TPL Jandres Silalahi mengatakan, semua kegiatan operasional perusahaan telah patuh terhadap aturan yang ditetapkan. PT TPL juga hanya mengalokasikan 42 persen area yang ditetapkan untuk tanaman produksi dan sisanya untuk tanaman kehidupan serta kawasan lindung.