TPL Sebut Mengedepankan Upaya Damai dengan Masyarakat Sihaporas
PT Toba Pulp Lestari Tbk mengatakan lahan yang diklaim masyarakat adat Desa Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumut merupakan konsesi mereka yang sudah empat periode ditanam eukaliptus.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
MEDAN, KOMPAS – PT Toba Pulp Lestari Tbk mengatakan lahan yang diklaim masyarakat adat Desa Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, merupakan konsesi mereka yang sudah empat periode ditanam eukaliptus. Perusahaan hutan industri itu menyebut mengedepankan upaya damai dan mediasi dalam menyelesaikan konflik.
Konflik telah berujung ditangkapnya dua orang masyarakat adat oleh Kepolisian Resor Simalungun atas dugaan penganiayaan dalam perkelahian dengan karyawan perusahaan. Di sisi lain masyarakat adat juga melaporkan dugaan penganiayaan yang dilakukan karyawan perusahaan TPL terhadap masyarakat adat.
“Kejadian ini sendiri telah dilaporkan perseroan kepada pihak berwenang sebagai salah satu tanggung jawab perseroan sebagai pemegang izin pengelolaan konsesi yang diberikan negara,” kata Direktur PT Toba Pulp Lestari (TPL), Tbk Mulia Nauli dalam jawaban tertulis yang disampaikan tim humas TPL kepada Kompas, Kamis (26/9/2019).
Lahan yang diklaim masyarakat adat Desa Sihaporas merupakan konsesi perusahaan yang sudah empat periode ditanam eukaliptus. (Mulia Nauli)
Menurut Mulia, pemukulan terhadap personil humas dan keamanan TPL pada Senin (16/9) menyebabkan seorang karyawan TPL luka berat dan delapan lainnya luka ringan. Ketika itu, karyawan TPL mendatangi sekitar 100 orang warga Desa Sihaporas yang sedang menanam jagung di lahan bekas eukaliptus yang telah dipanen perusahaan.
Mulia mengatakan, humas TPL melakukan upaya dialog dan menyampaikan kepada warga agar kegiatan penanaman jagung diberhentikan dulu. TPL juga mengajak warga untuk bermusyawarah dan berbicara secara baik-baik. Namun, suasana memanas hingga terjadi pemukulan.
Mulia mengatakan, areal di Desa Sihaporas itu merupakan konsesi TPL yang telah memiliki izin dan telah memasuki rotasi tanam eukaliptus yang ke-empat. Perusahaan memiliki Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman - Hutan Tanaman Industri melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 493/KPTS II/1992 junto SK 179/Menlhk/Sedjen/HPL.0/4/2017. Konsesi itu tersebar di beberapa kabupaten di Sumut.
Sebelumnya, anggota Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) Baren Ambarita menyampaikan perkelahian antara masyarakat adat dengan karyawan TPL dimulai dari perampasan cangkul. “Perkelahian itu bermula dari sikap karyawan Humas TPL yang merampas cangkul dan mendorong masyarakat adat saat dialog berlangsung. Seorang anak berusia tiga tahun dipukul. Selain itu, ada beberapa orang warga yang dipukul oleh karyawan TPL,” kata Baren.
Baren mengatakan, perkelahian tidak terelakkan karena dialog antara masyarakat adat dengan TPL memanas. Masyarakat juga telah melaporkan pemukulan yang dilakukan karyawan TPL kepada mereka.
Baren mengatakan, masyarakat adat sangat menyesalkan langkah kepolisian yang menangkap dua orang warga mereka pada Selasa (24/9). Mereka pun telah berunjuk rasa ke Kepolisian Resor Simalungun agar dua orang masyarakat dilepaskan dan agar polisi bersikap netral. “Namun, hingga Kamis ini dua warga kami masih ditahan,” katanya.
Tersangka
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Simalungun Ajun Komisaris Muhammad Agustiawan mengatakan, dua warga Desa Sihaporas ditangkap atas dugaan penganiayaan yang dilaporkan TPL. Dua warga itu telah ditetapkan sebagai tersangka yakni Thomson Ambarita dan Jonni Ambarita. “Kami masih terus memroses kasus ini,” kata Agustiawan.
Agustiawan mengatakan, Polres Simalungun bersikap netral dalam menangani kasus tersebut. Mereka juga sedang memproses laporan dari masyarakat atas dugaan pemukulan terhadap masyarakat desa. Polisi pun telah memeriksa karyawan TPL dan masyarakat desa untuk mendalami kasus tersebut.
Baren menjelaskan, masyarakat adat Lamtoras mengklaim lahan seluas 2.000 hektar yang selama ini telah ditanami TPL adalah tanah ulayat mereka. Nenek moyang mereka yang bermigrasi dari Pulau Samosir ke Simalungun mengusahakan lahan sejak tahun 1800-an. Lahan tersebut ketika itu menjadi areal pertanian dan pemanfaatan hasil hutan. Pemakaman masyarakat juga dibuat di sana.
Namun, pada 1910, penjajah Belanda mengambil lahan tersebut dari masyarakat adat dan menanam pinus di sana. “Ketika itu Belanda menjanjikan akan mempekerjakan masyarakat di hutan industri pinus dan membagi hasil dengan masyarakat,” kata Baren.
Ketika Indonesia merdeka, lahan itu dimasukkan sebagai kawasan hutan. Masyarakat adat tidak memprotes karena mereka masih mendapatkan hasil hutan dari wilayah itu. Mereka juga mengatur pengelolaan dan pemanfaatan kawasan dengan hukum adat. Namun, pada tahun 1990-an, pemerintah memberikan lahan itu sebagai konsesi TPL.
Sejak saat itu, konflik antara masyarakat adat dengan TPL terus terjadi. Pada 2002 dan 2004, tiga orang warga Sihaporas ditangkap terkait konflik lahan dengan TPL.