Kasus Kematian Meningkat, Tingkatkan Kesiapan Layanan Kesehatan
Peningkatan kasus kematian Covid-19 mulai terjadi di luar wilayah Jawa dan Bali. Antisipasi perlu dilakukan dengan meningkatkan kapasitas layanan kesehatan yang juga diiringi dengan penguatan upaya pencegahan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peningkatan kasus kematian akibat Covid-19 terus terjadi di Indonesia, termasuk di luar wilayah Jawa dan Bali. Penguatan fasilitas pelayanan kesehatan mutlak diperlukan untuk mencegah kematian yang lebih banyak lagi.
Dari data Satuan Tugas Penanganan Covid-19, penambahan kasus kematian semakin cepat. Pada akhir Mei 2021, penambahan 10.000 kasus kematian terjadi dalam periode dua bulan. Namun, mulai awal Juli 2021, penambahan kasus kematian hanya berjarak 12 hari. Bahkan, pada satu pekan terakhir, penambahan 10.000 kasus kematian terjadi dalam delapan hari.
Juru bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, di Jakarta, Kamis (29/7/2021), mengatakan, tingginya kematian akibat Covid-19 tidak hanya terjadi di wilayah Jawa dan Bali, tetapi juga di luar wilayah tersebut. Dari 10 provinsi dengan tingkat kematian tertinggi, lima wilayah di antaranya merupakan wilayah luar Jawa-Bali.
”Meski Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DKI Jakarta masih menjadi penyumbang tertinggi kenaikan kematian, kita perlu waspada dengan wilayah Kalimantan Timur, Riau, Sulawesi Selatan, Kalimantan Tengah, dan Sumatera Selatan yang turut menyumbang kasus kematian tertinggi,” tuturnya.
Kondisi tersebut, menurut Wiku, perlu menjadi alarm bagi setiap pemerintah daerah untuk meningkatkan kesiapan fasilitas pelayanan kesehatan agar risiko kematian bisa dicegah. Antisipasi kenaikan kasus pun perlu dilakukan, antara lain, dengan menambah tempat isolasi terpusat, menambah rumah sakit lapangan, memantau tingkat keterisian rumah sakit, serta memastikan ketersediaan obat-obatan, tempat tidur, dan tenaga kesehatan.
Terkait hal itu, warga yang terinfeksi Covid-19 diimbau agar memilih lokasi isolasi terpusat sebagai tempat perawatan, terutama warga yang mengalami gejala, berusia di atas 45 tahun, dan memiliki komorbid atau penyakit penyerta.
”Perawatan di tempat isolasi terpusat diawasi dan dipantau langsung oleh tenaga kesehatan, baik terkait tanda vital, gejala, pola makan, maupun obat-obatan. Dengan begitu, jika terjadi perburukan bisa langsung ditangani,” kata Wiku.
Terkait dengan antisipasi kenaikan kasus di luar wilayah Jawa dan Bali, ia menyampaikan, upaya pengendalian dengan 3T atau tes, lacak, dan isolasi terus dimasifkan. Peningkatan aksesibilitas pada distribusi alat kesehatan juga dilakukan secara nasional.
Meski Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DKI Jakarta jadi penyumbang tertinggi kenaikan kematian, kita perlu waspada dengan wilayah Kalimantan Timur, Riau, Sulawesi Selatan, Kalimantan Tengah, dan Sumatera Selatan yang menyumbang kasus kematian tertinggi.
Pada wilayah yang masuk dalam program pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 3 dan level 4, perluasan cakupan pemeriksaan Covid-19 bisa dengan menggunakan tes cepat antigen. Tes tersebut bisa digunakan sebagai bukti klaim Covid-19 jika terjadi keterbatasan pada alat diagnostik.
”Terkait peningkatan aksesibilitas alat dan material kesehatan, pemerintah mendorong upaya impor untuk daerah perbatasan dan pemenuhan kebutuhan jangka pendek serta memasifkan industri dalam negeri yang nantinya akan didistribusikan sesuai prioritas,” tutur Wiku.
Vaksinasi Covid-19
Secara terpisah, Sekretaris Perusahaan PT Bio Farma sekaligus juru bicara Bio Farma untuk vaksinasi Covid-19, Bambang Heriyanto, mengklaim, stok vaksin Covid-19 di tingkat pusat masih aman. Percepatan distribusi vaksin Covid-19 ke seluruh pelosok daerah terus dilakukan.
Saat ini, total vasin bulk atau bahan baku produksi yang diterima Bio Farma dari Sinovac sebanyak 144,7 juta dosis. Dari jumlah itu diperkirakan akan menjadi 117,3 juta dosis vaksin bentuk jadi. Menurut rencana, pada Agustus 2021, Indonesia akan kembali kedatangan vaksin Covid-19 sebanyak 45 juta dosis dari Sinovac, AstraZeneca, Moderna, dan Pfizer.
Dalam rilis resmi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi menyampaikan, syarat nomor induk kependudukan (NIK) dalam pelaksanaan vaksinasi Covid-19 dapat menghalangi akses bagi masyarakat adat dan kelompok rentan. Pasalnya, masih banyak masyarakat adat yang tinggal di pedalaman ataupun pulau terluar yang belum memiliki NIK.
”Masyarakat adat perlu dilindungi. Pemerintah perlu mengambil langkah diskresi karena ini adalah masalah nyawa orang,” kata Rukka.
Ia menuturkan, pada tahun pertama pandemi terjadi, tempat tinggal di lokasi yang terpencil dan relatif terisolasi membuat masyarakat adat relatif aman dari Covid-19. Namun, seiring perkembangan varian virus yang mudah menular, pertahanan masyarakat adat pun mulai jebol.
Peningkatan angka positif Covid-19 masyarakat adat signifikan. Itu terutama pada warga yang tinggal di Aru Kayau, Kalimantan Utara; Lamandau, Kalimantan Tengah; Tana Toraja dan Toraja Utara, Sulawesi Selatan; Sigi, Sulawesi Tengah; dan Kepulauan Aru, Maluku. ”Detail jumlah yang (kasus) positifnya belum ada karena test and tracing tidak berjalan baik,” kata Rukka.
Kendala pada akses vaksinasi juga dialami pada masyarakat rentan lainnya. Ketua Umum Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Maulani Rotinsulu menuturkan, kelompok disabilitas, anak-anak dalam berbagai kondisi yang tak memiliki akta kelahiran, petani, warga lansia, buruh, transpuan, dan tunawisma banyak yang tidak memiliki NIK.
Selain itu, keterbatasan pada akses layanan kesehatan yang memadai juga menjadi kendala untuk mengakses vaksinasi. Kendala tersebut seperti lokasi tinggal yang terlalu jauh dari fasilitas kesehatan, ketiadaan infrastruktur, dan adanya keterbatasan fisik.
Direktur Eksekutif Filantropi Indonesia Hamid Abidin menilai, terbatasnya akses terhadap fasilitas pemeriksaan kesehatan membuat kelompok rentan dan masyarakat adat tidak memahami riwayat kesehatan mereka. Hal ini ditemui saat sejumlah lembaga filantropi menjadi sentra vaksinasi masyarakat yang juga melayani masyarakat adat dan kelompok rentan.
”Mereka butuh penapisan (screening) kesehatan tambahan juga mobilisasi karena ada keterbatasan bagi disabilitas untuk mendatangi layanan kesehatan. Hal yang mungkin kami lakukan yakni membawa vaksin kepada mereka atau membawa mereka ke lokasi vaksinasi,” katanya.
Kondisi ini mendorong Koalisi Masyarakat Sipil mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo untuk Akses Vaksinasi bagi Masyarakat Adat dan Kelompok Rentan. Dalam surat terbuka tersebut disampaikan agar pemerintah mengambil kebijakan bagi masyarakat adat, penyandang disabilitas, petani, buruh, dan kelompok anak tanpa akta agar mendapat vaksin tanpa syarat NIK.
Pemerintah juga diminta untuk memastikan tersedianya fasilitas pemeriksaan kesehatan awal untuk masyarakat adat dan kelompok rentan, termasuk anak, sebelum mereka mendapatkan vaksin. Layanan kunjungan ke rumah atau lokasi tinggal kelompok disabilitas, panti-panti, atau penyediaan sarana transportasi penjemputan ke lokasi fasilitas juga perlu dipastikan.