Proyek Lumbung Pangan Mengancam Kehidupan Orang Asli Papua
Hutan bagi masyarakat Papua tidak hanya tempat untuk memperoleh pangan, tetapi juga tempat interaksi sosial dan tumbuhnya kearifan lokal yang menjadi identitas budaya.
Oleh
Pradipta Pandu
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Proyek lumbung pangan atau food estate yang akan dikerjakan di sejumlah wilayah di Papua dinilai berpotensi mengancam kehidupan orang asli Papua. Pemerintah didesak untuk menghentikan program lumbung pangan dan memastikan orang asli Papua dapat mengelola hutan atau wilayahnya tanpa intervensi pihak luar.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Papua Aiesh Rumbekwan mengemukakan, program lumbung pangan bukanlah sebuah pembangunan, melainkan ancaman baru yang akan memarjinalkan orang Papua kembali di wilayah yang berbeda. Hal ini berkaca dari kegagalan program serupa di masa lalu, seperti Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).
Menurut Aiesh, MIFEE merupakan program lumbung pangan masa lalu yang berimplikasi terhadap ekologis serta kehidupan masyarakat sekitar. Alih-alih meningkatkan perekonomian dan ketahanan pangan, proyek MIFEE justru membuat masyarakat adat di Papua semakin jauh dari kata sejahtera.
Semangat otonomi khusus untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat juga tidak tecermin dalam berbagai kebijakan yang memayungi program lumbung pangan.
”Suku Marind paling terdampak dari kebijakan nasional ini. Mereka hidup dalam keterpurukan sampai hari ini karena merasa dibohongi. Tidak ada tanggung jawab negara maupun rehabilitasi atau penghormatan terhadap mereka. Seharusnya ini menjadi pembelajaran,” ujarnya dalam konferensi pers secara daring, Senin (28/6/2021).
Aiesh mengatakan, pemerintah hanya melihat hutan sebagai komoditas. Sebaliknya, masyarakat lokal menjadikan hutan sebagai tempat menggantungkan kehidupan. Hutan bagi masyarakat Papua tidak hanya tempat untuk memperoleh pangan, tetapi juga tempat interaksi sosial dan tumbuhnya kearifan lokal yang menjadi identitas budaya.
Manajer Kajian Kebijakan Walhi Boy Even Sembiring menambahkan, program lumbung pangan akan bertentangan dengan semangat global untuk memerangi perubahan iklim. Sebab, program lumbung pangan dinilai akan mengakselerasi kerusakan lingkungan dan memperparah krisis iklim yang tengah dihadapi dunia.
Menurut Boy, pemerintahan yang baik seharusnya bisa belajar dari kegagalan program MIFEE yang saat itu menimbulkan kerusakan lingkungan dan konflik sosial. Namun, faktanya, pemerintah justru tidak berkaca dari kegagalan tersebut dan bersikap oportunis karena memanfaatkan kekhawatiran masyarakat Indonesia terhadap krisis pangan.
”Dalam dua tahun ini, negara juga sedang menyalahgunakan hukum. Contohnya saat ada persoalan keterbatasan lahan untuk memulai proyek lumbung pangan, pemerintah justru menerbitkan peraturan lain agar persoalan tersebut teratasi,” ucapnya.
Guna memberikan argumentasi kritis dan ilmiah terkait proyek ini, Walhi juga menerbitkan kertas posisi berjudul ”Food Estate di Papua: Perampasan Ruang Berkedok Ketahanan Pangan?”. Kertas posisi ini memuat catatan dan kritik terhadap rencana program food estate melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate.
Kertas posisi ini menekankan bahwa program lumbung pangan ini kembali menaruh orang asli Papua sebagai obyek pembangunan. Orang asli Papua dan pemerintah otonomi khusus sama sekali tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Di sisi lain, program ini berpotensi mengakibatkan dampak ekologis dan sosial yang besar di Papua.
Di akhir catatan tersebut, Walhi menegaskan penolakannya terhadap proyek lumbung di Papua. Sebab, program lumbung pangan dari rezim ke rezim selalu mengalami kegagalan dan menjauhkan orang asli Papua dari lingkungan hidup dan alamnya. Semangat otonomi khusus untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat juga tidak tecermin dalam berbagai kebijakan yang memayungi program lumbung pangan.
Berdasarkan catatan Dinas Kehutanan Provinsi Papua, rencana lokasi terbaru program lumbung pangan di Papua mencapai 2,68 juta hektar dan berada di kawasan hutan di Kabupaten Merauke, Mappi, Boven Digoel, dan Yahukimo. Rencana ini juga akan mengurangi hutan lindung seluas 243.000 hektar.
Kepala Bidang Rencana Kehutanan Dinas Kehutanan Provinsi Papua Estiko Tri Wiradyo sebelumnya menyampaikan, kajian lumbung pangan yang dilakukan tetap memperhatikan aspek ekologi, ekonomi, teknis, dan sosial. Aspek ekologi tetap menjadi hal utama agar fungsi hidrologi tetap terjaga sekaligus melindungi kawasan konservasi beserta tumbuhan satwa liar.
Selain itu, akan dilakukan juga pemetaan wilayah adat sebelum proyek lumbung pangan dijalankan. Pemetaan ini bertujuan untuk menjaga ruang berburu dan meramu bagi suku atau masyarakat adat di Papua sehingga semua lahan tidak akan dibuka dalam proyek lumbung pangan tersebut.