Melongok ”Food Estate” di Malind Anim
Maraknya pembangunan ”food estate” saat ini mengingatkan pada pionir proyek serupa di Merauke, Papua. Selama turun-temurun masyarakat adat setempat yang menggantungkan hidup dari sumber daya hutan, kini tersingkirkan.
Maraknya pembangunan food estate atau lumbung pangan saat ini mengingatkan pada permasalahan pionir proyek serupa di Merauke, Papua. Apalagi setelah Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara menjadi sasaran lokasi lumbung pangan terbaru, akan disusul daerah lain, yaitu Nusa Tenggara Timur dan Papua.
Soal lumbung pangan, Papua sudah tak asing lagi dengan proyek tersebut. Dari Merauke Integrated Rice Estate (MIRE) hingga menjadi Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) pernah menjadi proyek yang hingga kini masih meninggalkan permasalahan.
Permasalahan tersebut mulai mendasar terkait hak-hak tenurial dan hak adat hingga berbagai kasus lingkungan. Di Papua, selama turun-temurun masyarakat adat setempat yang menggantungkan hidup dari sumber daya alam kini kehilangan ruang hidupnya.
Pada Maret 2020, Kompas mengunjungi Kampung Zanegi di Distrik Animha, Merauke. Di situ, Bonifacius Gepze (60), tokoh yang dituakan di kampung, menceritakan penyesalan terbesarnya dan Suku Malind Anim yang menyerahkan hutannya kepada pengusaha. Iming-iming mencecap kehidupan lebih baik berbuah kemelaratan dan kesusahan.
Kampung Zanegi menjadi salah satu kampung yang terdampak pembangunan proyek MIFEE. Proyek yang diluncurkan sejak Agustus 2010 ini membutuhkan lahan seluas 2,5 juta hektar mencakup dua distrik, yaitu Animha dan Kaptel.
Baca juga: ”Food Estate” Dikhawatirkan Picu Masalah Sosial di Masyarakat Adat
Sejak zaman nenek moyang, suku Malind Anim mengandalkan hutan sebagai sumber hidup utama. Mereka keluar masuk hutan setiap hari untuk pangkur sagu, berburu hewan, memanen sayuran, bahkan mencari obat. Singkatnya, hutan ibarat hypermart penduduk perkotaan.
Bonifacius mengisahkan, berbagai jenis binatang ada di hutan. Pria suku Malind Anim hobi berburu hewan untuk dimakan, seperti burung kasuari, babi hutan, dan saham alias kangguru. Namun, hewan-hewan itu satu per satu hilang dari hutan seiring pembangunan proyek MIFEE.
”Terakhir kali saya berburu di hutan tahun 2008 sebelum perusahaan masuk dan merayu warga kampung. Dulu kalau lapar, kami tinggal masuk hutan,” tutur Bonifacius.
Kehidupan suku Malind Anim di Kampung Zanegi berubah 90 derajat setelah ada proyek MIFEE. Pada 2020, warga mendapat sosialisasi tentang rencana pembangunan MIFEE. Sosialisasi dibuat semenarik mungkin, pengusaha menjanjikan kehidupan yang lebih baik dan modern.
Iming-iming jaminan kehidupan lebih baik justru berbalik. Selama 12 tahun, suku Malind Anim di Kampung Zanegi kesulitan mencari makan karena hutan sebagai sumber penghidupan sudah direnggut. Warga tak bisa lagi keluar masuk hutan karena dipagari kawat dan dipasangi kamera pemantau.
Kampung Zanegi berlokasi di area proyek MIFEE sehingga warga harus melapor kepada petugas keamanan setempat jika keluar kampung. Selain melapor, warga yang akan pergi ke kota mendaftar fasilitas angkutan. Angkutan dari kampung ke kota tersedia setiap hari asalkan daftar terlebih dahulu.
Hidup kini semakin sempit. Perusahaan dan pemerintah tipu-tipu, hanya merayu warga saja. (Bonifacius Gebze)
”Hidup kini semakin sempit. Perusahaan dan pemerintah tipu-tipu, hanya merayu warga saja,” kata Bonifacius.
Ia menuturkan, salah satu janji perusahaan yang hingga kini tak pernah terealisasi adalah pemasangan pipa air bersih dari rumah ke rumah. Sebagai gantinya, warga mendesak adanya pembangunan tiga waduk. Pemanfaatan waduk tak lama karena musim kemarau yang berkepanjangan.
Potret penyesalan masyarakat Kampung Zanegi juga pernah terekam dalam film dokumenter Mama Malind Su Hilang’ yang diproduksi Yayasan Pusaka, SKP Keuskupan Agung Marauke (KAME), dan Gekko Studio, tahun 2012. Mereka merasa ditipu janji-janji palsu pengusaha yang kini membisu.
Direktur SKP Keuskupan Agung Marauke (KAME) Pastor Anselmus Amo menuturkan, berbagai investasi yang masuk sejak MIFEE berdiri sejak 12 tahun lalu menjanjikan warga kehidupan lebih baik. Bahkan, janji-janji itu diumbar sendiri oleh pemerintah daerah untuk semakin yakinkan warga.
Hingga saat ini bukan ketahanan pangan yang diciptakan, tetapi ketahanan kemelaratan. (Anselmus Amo)
”Hingga saat ini bukan ketahanan pangan yang diciptakan, tetapi ketahanan kemelaratan. Warga Kampung Zenegi bertahan dalam kemelaratan itu,” tutur Anselmus.
Sebelum diserahkan ke pengusaha, warga bebas keluar masuk dan ambil apa pun yang ada di hutan. Tidak ada masalah terkait wilayah. Kalaupun ada, masalah itu tidak mencolok dan bisa diatasi sesama warga. Konflik sosial dan ekonomi baru muncul ketika perusahaan masuk membeli tanah-tanah warga.
Menurut Anselmus, yang perlu dilakukan pemerintah saat ini adalah bertanya ke warga apakah mereka membutuhkan investasi masuk. Jangan sampai masuknya investasi hanya untuk menggenjot pendapatan asli daerah, sementara kehidupan warganya sendiri mengalami kemunduran.
Baca juga: Pedang Bermata Dua Ketahanan Pangan
”Pemerintah benahi dulu masyarakat yang sudah lepas tanah dan mengalami kesulitan, mereka dipulihkan dulu. Setelah itu baru dipikirkan apa yang akan dilakukan ke depan,” ujarnya.
Ketua Dewan Nasional Foodfirst Information And Action Network (FIAN) Indonesia Laksmi Savitri, dalam diskusi daring, beberapa waktu lalu, mengatakan, sejumlah proyek lumbung pangan dengan cetak sawah baru tidak maksimal, yaitu MIFEE yang lalu berubah jadi Merauke Food Estate (MFE) di Papua dan Ketapang Food Estate (KFE) di Kalimantan Barat.
Pengelolaan proyek lumbung pangan di kedua wilayah tersebut dikuasai oleh korporasi sehingga tidak ada ruang interaksi sosial budaya warga setempat pada ekonomi baru. Kondisi ini mengakibatkan perubahan lanskap secara masih yang berujung pada masalah ekologis. ”Di semua area food estate, yang paling beruntung adalah broker tanah maupun broker tenaga kerja,” katanya.
Evaluasi MIFEE
Asisten Deputi Penataan Ruang dan Pertanahan Dodi Slamet Riyadi menuturkan, MIFEE menjadi salah satu program prioritas nasional di Provinsi Papua sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
”Selain di Marauke, saat ini pemerintah sedang fokus untuk mempersiapkan program pengembangan Food Estate di lahan bekas PLG di Kalimantan Tengah,” kata Dodi secara tertulis, awal Juni lalu.
Di Merauke, setidaknya ada 10 program/proyek prioritas dalam RPJMN 2020-2024. Kesepuluh program/proyek prioritas itu, antara lain pengembangan ekonomi kawasan perbatasan berbasis komoditas unggulan di Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) Merauke, program penyediaan dan pengembangan prasarana dan sarana pertanian.
Selain itu, program produksi, produktivitas, dan mutu hasil tanaman pangan, program peningkatan daya saing UMKM dan koperasi, program pertumbuhan dan pengembangan industri kecil menengah (IKM), pengembangan Jalan Trans-Papua Marauke-Sorong, serta pengembangan Pelabuhan Marauke.
Dodi mengatakan, pemerintah sudah melakukan evaluasi terkait pelaksanaan proyek MIFEE. Ada ketidaksesuaian rencana tata ruang wilayah (RTRW) provinsi dan kabupaten. Meskipun pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRWN Provinsi Papua difokuskan sebagai Kawasan andalan sektor pertanian, tetapi luas lahan untuk pertanian pada RTRW Provinsi Papua tidak mencukupi untuk pengembangan MIFEE seluas 1,2 juta ha.
”Selain ada ketidaksesuaian RTRW, beberapa di antaranya masih berstatus kawasan hutan baik KSA (kawasan suaka alam)/KPA (kawasan pelestarian alam), hutan lindung, maupun hutan produksi, sehingga dalam implementasinya masih terkendala kawasan hutan,” ujar Dodi.
Arah pengembangan MIFEE juga dinilai tidak fokus. Area pengembangan MIFEE sangat luas sehingga memerlukan upaya yang besar terkait perencanaan dan pelaksanaanya, termasuk sinkronisasi program. Selama ini program kementerian/Lembaga dan pemerintah daerah belum sepenuhnya terpadu dan terintegrasi sehingga menyebabkan belanja pembangunan tidak efektif.
Dodi menuturkan, pengembangan MIFEE menimbulkan potensi konflik lahan dengan masyarakat adat. Pendekatan yang digunakan dalam MIFEE adalah corporate base farming. Pengelolaan bersifat monokultur dan dalam skala yang cukup besar, serta pengusahaannya diserahkan kepada perusahaan.
”Kondisi ini bermuara pada permasalahan penguasaan tanah karena kurangnya keterlibatan masyarakat setempat khususnya masyarakat tradisional papua,” ujar Dodi.
Menurut Dodi, pelibatan dan pemberdayaan masyarakat adat menjadi kunci keberhasilan pelaksanaan proyek-proyek pembangunan di Papua. Mereka acap kali dilibatkan dalam menentukan kebijakan/program pembangunan, seperti dalam musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) provinsi dan kabupaten/kota, serta membuka ruang dialog/konsultasi dalam setiap pelaksanaan pembangunan di Papua.
Di sisi lain, perlu ada pergeseran konsep pengelolaan lahan pertanian dari corporate based farming menjadi family based farming. Pengelola lahan pertanian tidak seluruhnya diserahkan pada mekanisme pasar, tetapi juga melibatkan masyarakat tradisional Papua. Misalnya, dalam konsep sewa lahan antara perusahaan dengan pemilik tanah ulayat.
Konsep sewa lahan dalam membuka lahan sawah membuat masyarakat tradisional tetap memiliki lahan tersebut. (Dodi Slamet Riyadi)
”Konsep sewa lahan dalam membuka lahan sawah membuat masyarakat tradisional tetap memiliki lahan tersebut,” kata Dodi.
Adapun konsep bagi hasil yang sesuai dan disepakati kedua belah pihak antara pengelola dengan pemilik hak ulayat berdasarkan model inti plasma dapat menjadi alternatif. Meski demikian, berbagai ide dan konsep dalam menempatkan masyarakat adat dan masyarakat tradisional Papua masih memerlukan telaah dan kajian yang mendalam.
Bila memang ada ketidaksesuaian, alangkah bijak bila dilakukan koreksi sehingga mengembalikan hak masyarakat Malind Anim maupun komunitas masyarakat di tempat lain yang merasa ”teperdaya” oleh janji manis korporasi dan pemerintah. Ini pun jadi pembelajaran bagi proyek-proyek skala besar serupa lain berupa food estate-food estate yang sedang marak dikerjakan di Kalimantan, Sumatera, maupun daerah lain di Papua. (ICH)