Kesejahteraan Petani Bukan Alasan Menunda Revisi Aturan Pengendalian Tembakau
Dampak kesehatan yang makin nyata dari tingginya konsumsi rokok di Indonesia memperkuat urgensi revisi regulasi pengendalian produk tembakau. Pemerintah perlu membuktikan komitmen melindungi warga dari ancaman rokok.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tidak kunjung usai. Sejumlah pihak menentang penguatan aturan pengendalian produk tembakau itu dengan alasan antara lain dampak ekonomi bagi petani tembakau dan buruh pabrik rokok. Padahal, dampak kesehatannya lebih membebani keuangan negara.
Ekonom Faisal Basri menilai, revisi PP No 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan mutlak dilakukan. Aturan saat ini tidak mampu menekan konsumsi rokok di masyarakat. Bahkan, perokok usia muda mulai dari 10 tahun terus meningkat.
”Harus ada tindakan luar biasa untuk melawan penetrasi industri rokok. Sampai kini pemerintah belum berani menunjukkan komitmen dan totalitas untuk melindungi masyarakat dari ancaman rokok. Sementara penyakit terkait rokok terus meningkat. Jumlah perokok juga bertambah,” katanya di Jakarta, Selasa (15/6/2021).
Harus ada tindakan luar biasa melawan penetrasi industri rokok. Sampai kini pemerintah belum berani menunjukkan totalitas melindungi masyarakat dari ancaman rokok.
Menurut Faisal, salah satu cara menekan konsumsi rokok di masyarakat yaitu menaikkan harga rokok sampai tidak terjangkau bagi anak serta kelompok masyarakat tidak mampu. Itu dapat melalui peningkatan cukai tembakau. Kenaikan yang dilakukan sampai sekarang dinilai belum optimal.
Ia juga berpendapat, kenaikan harga rokok yang dapat merugikan petani tembakau merupakan mitos. Pasalnya, produksi tembakau lokal secara nasional sekitar 200.000 ton, sedangkan kebutuhan pabrik sekitar 300.000 ton. Artinya, seluruh produksi tembakau nasional pasti akan diserap oleh industri.
Alih tanam
Selain itu, petani tembakau yang sudah berhasil melakukan alih tanam bisa mendapatkan keuntungan yang lebih besar daripada menanam tembakau.
Istanto, mantan petani tembakau asal Magelang, Jawa Tengah, mengungkapkan, dalam satu hektar lahan yang sebelumnya ditanami tembakau biasanya menghasilkan keuntungan sekitar Rp 1,5 juta dalam sekali panen. Namun, setelah ia melakukan alih tanam menjadi ubi jalar, keuntungan yang bisa didapat mencapai Rp 8 juta.
Selain ubi jalar, ia menanam tanaman kopi, bawang merah, bawang putih, dan sayur-mayur. Panen dari tanaman tersebut lebih cepat. Potensi pengelolaannya pun jauh lebih besar. Sebagian ubi jalar yang tidak laku kemudian diolah oleh petani menjadi produk siap makan, seperti keripik ubi kemasan. Harga jual dari produk pun lebih tinggi.
”Yang jadi kendala para petani yaitu pemasarannya. Sekarang penjualan untuk produk siap makan baru di skala lokal karena kami masih bingung bagaimana memasarkannya,” kata Istanto.
Karena itu, Faisal menyampaikan, dana bagi hasil cukai hasil tembakau yang didapatkan seharusnya bisa dimanfaatkan untuk mendukung upaya alih tanam yang dilakukan petani. Selain itu, dana bagi hasil cukai ini bisa untuk menambah keterampilan buruh pabrik rokok agar bisa bekerja di bidang lain.
Dengan begitu, kesejahteraan petani tembakau dan buruh pabrik rokok tidak bisa menjadi alasan untuk segera memperkuat upaya pengendalian tembakau.
Analisis Kebijakan Ahli Madya Koordinator Pengendalian Penyakit Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Rama Prima Syahti Fauzi, menyampaikan, revisi PP No 109/2012 tidak kunjung diterbitkan karena masih ada ketidaksepakatan antar-kementerian.
Sejumlah kementerian yang berada di bawah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyatakan tidak setuju dengan revisi ini. Padahal, seluruh kementerian di bawah Kemenko PMK terus mendorong agar aturan tersebut segera direvisi.
”Ini seperti ada deadlock. Namun, kita terus dorong agar revisi peraturan ini bisa terus dilanjutkan karena jelas ada kesenjangan dari PP No 109/2012 sehingga urgensi revisi peraturan pemerintah ini sangat tinggi,” kata Rama.
Menurut dia, kekosongan regulasi tersebut menyebabkan kesenjangan dalam upaya pengendalian produk tembakau. Itu meliputi antara lain pembatasan produk dan akses warga, terutama anak, pada rokok lemah, tayangan iklan produk tembakau melalui internet yang masif, serta konsumsi jenis rokok baru, seperti rokok elektrik yang tidak bisa dikendalikan.
Jika hal itu dibiarkan, angka perokok pemula yang ditargetkan bisa menurun menjadi 8,7 persen pada 2024 justru meningkat menjadi 16 persen pada 2030.