Tingginya ketergantungan Indonesia pada produk kesehatan luar negeri disebabkan oleh rendahnya budaya riset dan inovasi kesehatan dan kedokteran di kalangan dokter.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Riset dan inovasi di kalangan profesi dokter di Indonesia masih minim karena sebagian besar dokter masih berfokus pada pelayanan di fasilitas kesehatan. Oleh karena itu, kegiatan riset dan inovasi di bidang kesehatan dan kedokteran perlu didorong agar perbaikan layanan kesehatan dan kemandirian bangsa bisa segera terwujud.
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Daeng M Faqih menyatakan, pandemi Covid-19 semakin menyadarkan masyarakat bahwa Indonesia masih jauh tertinggal dari sejumlah negara lain dalam riset dan inovasi di bidang kesehatan dan kedokteran. Akibatnya, ketergantungan pada alat kesehatan pun sangat tinggi.
”Untuk mengejar ketertinggalan ini, kita harus mendorong kemandirian di bidang pelayanan kesehatan. Mau tidak mau, kita harus menjadikan riset dan inovasi sebagai budaya,” katanya dalam acara peluncuran kegiatan Medical Innovation and Research Award in Hygiene yang diselenggarakan secara virtual dari Jakarta, Sabtu (12/6/2021).
Kegiatan ini merupakan inisiasi dari PB IDI bersama Unilever Indonesia untuk mendorong peningkatan riset dan inovasi di kalangan dokter. Program ini memberikan dana hibah dengan total Rp 250 juta untuk lima penelitian. Semua dokter yang menjadi anggota PB IDI memiliki kesempatan mendapatkan dana penelitian ini melalui kompetisi yang diadakan. Pendaftaran dibuka mulai 4 Juli sampai 3 September 2021.
Daeng menuturkan, selain membentuk budaya riset dan inovasi, kolaborasi dari berbagai kalangan juga perlu diperkuat. Menurut dia, kolaborasi dibutuhkan untuk memfasilitasi para periset dalam melakukan riset dan inovasi. Selain itu, kolaborasi ini juga penting agar riset yang dihasilkan bisa sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan bisa diproduksi secara massal.
Namun, Daeng mengingatkan, sekalipun riset dan inovasi terus digenjot, kaidah dan standar yang berlaku tetap harus dipatuhi. Aturan dan etika dalam penelitian juga menjadi hal penting yang perlu diperhatikan.
Untuk mengejar ketertinggalan ini, kita harus mendorong kemandirian di bidang pelayanan kesehatan. Mau tidak mau, kita harus menjadikan riset dan inovasi sebagai budaya.
”Sesuai kode etik, dokter yang juga menjadi peneliti diminta untuk berhati-hati dalam menyampaikan suatu riset ataupun inovasi, khususnya ketika masih dalam tahap pengujian. Ketika menyampaikan penelitian, juga jangan sampai overclaim,” ujarnya.
Mahadata kesehatan
Wakil Direktur Indonesian Medical Education and Research Institute (IMERI) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Budi Wiweko menyampaikan, para peneliti di Indonesia bisa memanfaatkan berbagai data terkait kesehatan dalam melakukan riset dan inovasi yang akan dilakukan. Data yang diintegrasikan menjadi mahadata ini menjadi dasar untuk mengetahui persoalan yang terjadi di masyarakat.
Ia mencontohkan, Taiwan telah berhasil mencegah kejadian luar biasa Covid-19 di lingkup rumah sakit dengan mengintegrasikan mahadata yang dimiliki serta menganalisisnya dengan baik. Sejumlah data yang diintegrasikan, antara lain, data administrasi asuransi kesehatan nasional, data imigrasi, dan data pengendalian penyakit.
”Kita bisa memanfaatkan data yang dimiliki oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Itu dapat dimanfaatkan untuk riset-riset di ranah preventif, promotif, diagnostik, kuratif, dan rehabilitatif. Diharapkan ini bisa mendukung ketahanan kesehatan nasional,” ucap Wiweko.
Deputi Direksi Bidang Jaminan Pembiayaan Pelayanan Primer BPJS Kesehatan Ari Dwi Aryani mengatakan, data biaya yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional bisa digunakan dalam riset dan inovasi di bidang kesehatan dan kedokteran. Beban biaya untuk penyakit katastropik sangat besar.
Jumlah biaya penyakit katastropik terus meningkat, terutama untuk pembiayaan penyakit jantung (Rp 9,8 triliun), stroke (Rp 2,6 triliun), dan gagal ginjal (Rp 2,2 triliun). Karena itu, upaya preventif harus lebih digalakkan lagi agar beban biaya kesehatan untuk penyakit ini tidak terus bertambah.
”Penyakit dengan biaya tertinggi tersebut merupakan penyakit yang bisa dipicu oleh penyakit diabetes melitus. Biaya untuk diabetes melitus juga terus meningkat sekitar 13 persen setiap tahun di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL),” ujarnya.